INDONESIA merupakan negara yang memiliki berbagai suku bangsa, bahasa, serta agama yang beragam. Keberagaman masyarakat Indonesia tidak terlepas dari budaya dan bahasa pada masing-masing daerah tertentu, yang tetap dipertahankan oleh masyarakat untuk generasi berikutnya. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, merupakan bukti kemajemukan Indonesia. Salah satu cara untuk mempertahankan hal tersebut didukung oleh pertimbangan hukum, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambing negara serta lagu kebangsaan.
Secara khusus, penetapan penggunaan bahasa diatur pada Bab I sebagai ketentuan umum pasal 1 ayat (2) Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; ayat (6) Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga Negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; ayat (7) Bahasa asing adalah bahasa selain Bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Hal tersebut sejalan dengan slogan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yakni utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. Indonesia sangat kaya dengan bahasa daerah.
Kekayaan itu di satu sisi merupakan kebanggaan, di sisi lain menjadi tugas yang tidak ringan, terutama apabila memikirkan bagaimana cara melindungi, menggali manfaat, dan mempertahankan keberagamannya. Dalam Ethnoloque (2020), disebutkan bahwa terdapat 718 bahasa di Indonesia. Sebagian masih akan berkembang, tetapi tidak dapat diingkari bahwa sebagian besar bahasa itu akan punah. Menurut UNESCO, seperti yang tertuang dalam Atlas of the World’s Language in Danger of Disappearing, di Indonesia terdapat lebih dari 640 bahasa daerah (2008), yang di dalamnya terdapat kurang lebih 154 bahasa yang harus diperhatikan, yaitu sekitar 139 bahasa terancam punah dan 15 bahasa yang benar-benar telah mati.
Bahasa yang terancam punah terdapat di Kalimantan (1 bahasa), Maluku (22 bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera (67 bahasa), Sulawesi (36 bahasa), Sumatera (2 bahasa), serta Timor-Flores dan Bima-Sumbawa (11 bahasa). Sementara itu, bahasa yang telah punah berada di Maluku (11 bahasa), Papua Barat dan Kepulauan Halmahera, Sulawesi, serta Sumatera (masing-masing 1 bahasa).
Pengaturan tentang bahasa daerah dalam peraturan perundang-undangan menjadi kunci dalam mempertahankannnya.

Pengaturan penggunaan bahasa daerah menjadi pelengkap pengaturan tentang Bahasa Indonesia atau bahasa negara. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional – termasuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 yang menjadi cikal bakal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Penggunaan bahasa daerah diatur sebagai pelengkap penggunaan Bahasa Indonesia yang diwajibkan dalam penyelenggaraan Pendidikan Nasional di Indonesia.
Bahasa daerah boleh digunakan pada tahap awal pendidikan untuk menyampaikan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Senada dengan itu, bahasa asing dapat pula digunakan sebagai bahasa pengantar untuk mendukung pemerolehan kemahiran berbahasa asing peserta didik. Baik bahasa daerah maupun bahasa asing mempunyi fungsi pendukung Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar utama dalam Sistem Pendidikan Nasional.
Perlindungan terhadap bahasa daerah didasarkan pada amanat Pasal 32 Ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan ayat itu, negara memberi kesempatan dan keleluasaan kepada masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan bahasanya sebagai bagian dari kebudayaannya masing-masing.
Selain itu, negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaannya. Kebebasan yang diberikan UUD 1945 bukan berarti kebebasan yang tanpa pembatasan, karena hingga pada batas tertentu pengembangan dan penggunaan bahasa daerah pasti akan berbenturan dengan ketentuan lain.
Untuk keperluan bernegara, kebebasan penggunaan bahasa daerah yang diamanatkan akan terbentur dengan batas penggunaan bahasa negara. Untuk keperluan hidup dan pergaulan sosial, keleluasaan penggunaan satu bahasa daerah harus juga menghormati penggunaan bahasa daerah lain.
Dengan kata lain, keleluasaan penggunaan dan pengembangan bahasa daerah dalam banyak hal juga tidak boleh melanggar norma sosial dan norma perundang-undangan yang ada. Dinamisasi kebudayaan serta perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh modernisasi yang sangat menonjol, dan tantangan dalam mempertahankan eksistensi kebudayaan lokal. Kini modernisasi telah mengancam eksistensi budaya lokal termasuk bahasa.
Bahasa daerah semakin terpinggirkan oleh berbagai bahasa yang mempengaruhi eksistensinya. Pengklasifikasian bahasa di Indonesia meliputi, Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Eksistensi bahasa daerah sudah mulai tergerus oleh pengaruh bahasa luar, bahasa luar yang dimaksud adalah bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia dan bahasa asing yang secara struktural sudah mempengaruhi keorisinilan sebuah bahasa daerah. Sosiolinguistik sangat berpengaruh dalam masalah ini.
Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat. Kridalaksana dalam (Chaer 2016).
Keadaan ini disadari oleh pemerintah Indonesia. Makanya, pemerintah melalui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode Ketujuh Belas: Revitalisasi Bahasa Daerah, pada tanggal 22 Februari 2022.
Menurutnya Sebagian besar dari 718 bahasa daerah di Indonesia kini kondisinya terancam punah dan kritis, hal tersebut terjadi karena saat ini para penutur jati bahasa daerah banyak yang tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasa ke generasi berikutnya, sehingga khazanah kekayaan budaya, pemikiran, dan pengetahuan akan bahasa daerah terancam punah.
Untuk mencegah kepunahan tersebut. revitalisasi bahasa daerah perlu dilakukan dan program yang diluncurkan menekankan prinsip dari program revitalisasi bahasa daerah ini yaitu dinamis, adaptif, regenerasi dan merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya.
“Dinamis, berorientasi pada pengembangan dan bukan sekedar memproteksi bahasa. Adaptif dengan situasi lingkungan sekolah dan masyarakat tuturnya. Regenerasi dengan fokus pada penutur muda di tingkat sekolah dasar dan menengah, serta merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya.
Pendidikan Indonesia abad 21 ini sepertinya sudah melupakan satu klasifikasi bahasa, yaitu bahasa daerah yang seharusnya tetap ada dalam pelajaran muatan lokal, namun realitas sangat jauh dari harapan, nilai historis terhadap bahasa daerah kian berkurang potensinya terhadap generasi selanjutnya.
Di sekolah menengah atas (SMA), muatan lokal telah dihilangkan dari kurikulum pendidikan SMA, ini berarti nilai bahasa lokal kini mulai tergeser eksistensinya, akibatnya para peserta didik juga mulai meninggalkan bahasa daerah dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Dampak dari masalah ini, banyak masyarakat yang notabene adalah peserta didik tidak peduli lagi akan eksistensi bahasa daerah dan nilai historisnya. Secara sosiolinguistik, ini disebut sebagai pergeseran bahasa (language shift) yang menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur, yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain (Chaer, 2018).
Bahasa merupakan alat komunikasi antara sesama anggota masyarakat guna mengungkapkan maksud, pikiran, dan perasaan baik secara lisan maupun secara tertulis. Melalui komunikasi, manusia dapat menyampaikan semua yang dirasakan, dipikirkan, dan diketahui kepada orang lain (Keraf, 1980). Suwito (1983), menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan informasi, berupa lambang yang mengandung arti atau makna sampai menjadi milik bersama.
Keraf (1980), menyatakan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi dalam mengekspresikan diri, yang diwujudkan dalam bentuk interaksi dan adaptasi sosial, dan juga sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial. Bahasa berfungsi sebagai komunikasi, maka setiap tuturan dan tulisan selalu diarahkan kepada anggota masyarakat lain. Peristiwa yang berkelanjutan yang ditandai dengan membangun pola-pola budaya komunikasi verbal, sebagai salah satu wujud komunikasi, yang berkaitan pula dengan norma-norma dan tata nilai budaya masyarakat penutur bahasa itu. Setiap bahasa senantiasa berpola, dalam arti selalu berulang secara teratur, maka bentuk-bentuk komunikasi verbal tersebut dapat ditelusuri sehingga dapat diketahui pula sistem dan dinamika yang ada diantara peristiwa bahasa itu.
Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa bahasa merupakan salah satu kebutuhan utama manusia dalam bermasyarakat. Bahasa tidak terlepas dari sistem . sosial budaya masyarakat (Siregar, 1988). Bahasa dapat dipandang sebagai suatu indikator untuk menjelaskan hubungan antara bahasa dengan masyarakat.
Lewat bahasa, suatu ide atau gagasan dari individu disampaikan kepada individu lain dalam berinteraksi. Pemerintah daerah sudah seharusnya memperhatikan kebijakan bahasanya secara cermat sehingga pergeseran bahasa daerah bisa diminimalisir sehingga paradigma pemerintah atau masyarakat harus memandang bahwa, bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi dan interaksi saja, tetapi merupakan suatu peninggalan budaya yang harus dijaga dan dipelihara keberadaan dan penggunaannya dalam komunikasi sehari-hari.
Keberadaan bahasa daerah di Indonesia menjadi salah satu perhatian lembaga internasional saat banyak bahasa lokal di dunia sudah mulai punah. Dalam rilisnya pada 21 Februari 2019, UNESCO mengungkapkan bahwa sekitar 2.500 bahasa di dunia terancam punah, termasuk lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia. UNESCO pun menyebutkan, sebanyak 200 bahasa mengalami kepunahan dalam 30 tahun terakhir dan 607 bahasa dalam status tidak aman.
Selain itu, diperkirakan sekitar 3.000 bahasa lokal akan punah di akhir abad ini. Untuk di Indonesia, bahasa lokal sama dengan bahasa daerah karena seseorang menggunakan bahasa tersebut sehari-hari sejak kecil atau menjadi bahasa pertama yang dikuasainya. UNESCO telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari bahasa ibu internasional. Hal ini masih dirasa belum optimal seperti penjelasan di awal bahwa, penggunaan bahasa asing di Indonesia masih sangat fulgar digunakan dalam media tulis ataupun elektronik.
Hal ini tentunya berimplikasi terhadap penggunaan bahasa daerah, yang ditandai dengan para pemakai bahasa akan berpikir penggunaan bahasa asing lebih dianggap prestige, dibandingkan bahasa daerah. Jika yang berubah adalah masyarakat bahasa yang berskala kecil, mungkin itu bisa dimaklumi. Akan tetapi imbas dari kebijakan bahasa yang belum cermat, juga cukup mempengaruhi penutur bahasa jawa, bugis, batak dan juga Bahasa Tae’ yang notabene sebagai masyarakat terbesar di Indonesia dalam pemakaian bahasa daerah dengan berbagai jenis dialeknya.
Bahasa daerah sangat terancam eksistensinya, ditandai dengan banyaknya masyarakat sudah mulai meninggalkan bahasa daerah, karena telah terkontaminasi oleh berbagai macam bahasa termasuk bahasa asing. Bahasa asing dianggap lebih penting daripada bahasa daerah, lihat saja dunia pendidikan kita hari ini, betapa takjub terhadap bahasa asing sehingga banyak peserta didik yang lebih memilih belajar bahasa asing daripada belajar bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Pemertahanan bahasa juga dipengaruhi oleh faktor bahasa pertama. Bahasa pertama yang dimaksud adalah bahasa ibu. Bahasa ibu di masa sekarang bergeser bukan lagi bahasa daerah melainkan Bahasa Indonesia, inilah salah satu indikator mengapa begitu sulit mempertahankan bahasa daerah. Keberadaan bahasa daerah di Indonesia kian hari makin tersisihkan. Bahkan beberapa bahasa daerah terancam punah karena sepi penutur. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun mencatat, setidaknya ada 11 bahasa daerah yang punah (2021).
Semuanya berasal dari Indonesia bagian timur, yakni Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Kepunahan suatu bahasa memang tak terjadi secara langsung, melainkan melalui proses yang panjang. Sebelum akhirnya dinyatakan punah, sebuah bahasa akan melalui tahapan mulai dari berpotensi terancam punah, terancam punah, sangat terancam punah, sekarat, dan punah.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cece Sobarna (2021), yang mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang memicu suatu bahasa daerah di Indonesia dapat terancam punah. Kepunahan suatu bahasa memang tak terjadi secara langsung, melainkan melalui proses yang panjang.
Sebelum akhirnya dinyatakan punah, sebuah bahasa akan melalui tahapan mulai dari berpotensi terancam punah, terancam punah, sangat terancam punah, sekarat, dan punah. Sementara untuk kalangan muda, seringkali lahir persepsi tidak gaul saat seseorang menggunakan bahasa daerahnya. Anggapan itu tentu mengkhawatirkan jika terjadi terus menerus karena akhirnya bahasa daerah akan ditinggalkan oleh penuturnya.
Faktor lain yang dapat menyebabkan bahasa daerah di Indonesia terancam punah adalah anggapan bahwa dwibahasa dapat menghalangi proses pendidikan anak. Anak yang mengenal lebih dari satu bahasa akan menghalangi kemajuan proses pendidikannya. Penyebab bahasa daerah punah yang lain adalah persaingan bahasa daerah dengan bahasa nasional dan bahasa asing.
Hal ini memang tak terelakkan, karena saat ini kita berada di era globalisasi. Namun kecintaan terhadap budaya harus tetap dipertahankan. Sangat dipenelitingkan penamaan sejumlah tempat di Indonesia yang menggunakan istilah asing, seperti ‘market’ untuk pasar, atau ‘park’ untuk taman. Hal tersebut bisa menjadi ancaman terhadap bahasa daerah. Sebetulnya cukup mengkhawatirkan karena gejala itu memang dirasakan perlahan. Tapi jika tak dipertahankan bisa saja bahasa daerah tinggal sebuah artefak. (*)