Oleh : Nurdin
– Dosen IAIN Palopo/Anggota Polres Palopo
PEMBERITAAN dugaan kasus pembunuhan Brigadir J begitu menyita perhatian masyarakat Indonesia, hal itu menjadi lebih menarik dengan omongan para penasihat hukum mereka, yang secara gamblang memaparkan kronologi peristiwa tersebut.
Seolah-olah para penasihat hukum itu, ada di TKP dan melihat secara langsung kejadian. Peran penasihat hukum adalah mendampingi kliennya agar supaya proses hukum berjalan dengan baik sesuai koridor hukum yang berlaku.
Penasihat hukum yang profesional tentu tidak elok mendikte penegak hukum lainnya agar mentersangkakan si x, misalnya. Seperti yang disaksikan belakangan ini sebab seorang yang dijadikan tersangka bukan karena desakan penasihat hukum melainkan terpenuhinya 2 alat bukti yang cukup (vide pasal 184 KUHAP).
Dalam menegakkan hukum tidak boleh melanggar hukum (due process of law), itu merupakan prinsip dasar sebuah negara hukum. Dan yang lebih menarik lagi dari dugaan pembunuhan terhadap korban Brigadir J sebab di media, ada dukun ikut serta menerawang atas kasus itu. Sehingga, peristiwa ini pun menjadi bak telenovela.
Yang diterawang oleh dukun adalah motif dari pembunuhan itu, yang jika dilihat dari perspektif ilmu hukum pidana, pembunuhan dilakukan dengan sadis dalam bahasa hukum pidana disebut gelap mata atau sekonyong-konyong, “noodweer exces”. (vide pasal 49 ayat 2 KUHP).
Itu didasari oleh setidaknya 3 motif atau faktor yang menjadi penyebabnya ; pertama karena dendam kemudian yang kedua harta, dan ketiga adalah cinta (wanita). Pandangan ini dikuatkan oleh pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel.
Nah, dari analisa pakar psikologi forensik di atas, sebagian pengamat dari berbagai disiplin ilmu berpandangan (belum tentu betul), bahwa motif paling mendekati dari kejadian yang didengar dan disaksikan belakangan ini adalah faktor cinta/wanita.
Apapun motif yang melatar belakangi suatu peristiwa pidana dalam teori ilmu hukum pidana bukanlah merupakan syarat atau elemen tindak pidana akan tetapi bagaimanapun juga, motif tentu dipandang perlu sebab dapat memengaruhi pandangan hakim pengadilan dalam memutus suatu perkara pidana.
Sehingga seorang hakim pengadilan dituntut memiliki wawasan dan pengetahuan luas termasuk menilai motif suatu peristiwa pidana. Oleh karena, hakim tentu akan memutuskan suatu peristiwa pidana pencurian dengan putusan yang berbeda antara seseorang yang mencuri karena pekerjaannya dengan yang mencuri sebab sudah 2 hari tidak makan.
Demikian halnya dengan peristiwa pidana pembunuhan, dapat atau bahkan dipastikan memiliki motif, baik itu pembunuhan kategori biasa “doodslag” (vide pasal 338 KUHP) terlebih pada pembunuhan kategori berencana “moord” (vide pasal 340 KUHP.(*)