Oleh; MUH NURSALEH*i
Di ranjang. Tetiba saya membayangkan wajah Krisdayanti usai membaca artikel yang dimuat sebuah situs ternama. Seorang teman mengirimkannya. Pagi-pagi. Tak tahu apa maksudnya. Saya merasa bukan bagian dari serpihan sekalipun.
Saya bukan “Anggota Dewan Yang Terhormat” sebagaimana kaitan artikel yang dikirim itu. Isinya tentang fasilitas dan gaji yang diperoleh para Anggota DPR di Negara Swedia. Wow ! Antara langit dan bumi bila benang perbandingan ditarik ke Indonesia.
Wajar bila Krisdayanti satu-satunya sosok yang singgah di kepala saya. Wajahnya belakangan ini berkali-kali mondar-mandir di televisi. Ia menjadi santapan lezat media dan membuat publik terbelah di simpang kesimpulan setelah mendengar nyonya Raul Lemos blak-blakan mengungkap besaran gaji serta tunjangan yang ia peroleh sebagai anggota DPR RI. Nilainya fantastis.
Ada yang menilai pernyataan Krisdayanti momennya kurang pas. Menambah luka baru di hati yang telah telanjur sakit selama ini karena ditubruk pandemi. Banyak juga yang memberi apresiasi. Krisdayanti dianggap jujur. Dianggap orang paling sukses membongkar isi dapur DPR. Disanjung seolah penulis prolog hebat untuk sebuah buku rahasia yang tersembunyi di “gedung kura-kura” selama ini.
Sementara partai Krisdayanti, PDI-P berada di antara garis abu-abu. Pasca Krisdayanti bicara, partainya memanggil, katanya sekadar “ngobrol-ngobrol” bukan dimarahi. Usai dipanggil, mantan istri Anang itu minta maaf. Krisdayanti seketika diragukan. Jujur atau bohong.
Krisdayanti kemungkinan awalnya seperti Chidi Anagonye, seorang profesor filsafat etika dan moral di serial TV The Good Place. Chidi menghadapi sebuah dilema ketika seorang rekannya meminta pendapat tentang sepatu bot barunya. Chidi sebenarnya tidak suka. Tetapi untuk menjaga perasaan rekannya, ia mengatakan bahwa ia menyukainya.
Belakangan Chidi menyesal karena telah berbohong. Sekali pun pacar Chidi terus memberi keyakinan dengan mengatakan ; terkadang kita harus diam, berbohong untuk bersikap sopan.”
Pada akhirnya, Chidi tak lagi merasa bersalah. Ia berani mengungkapkan hal yang sebenarnya kepada sang rekan bahwa : Sepatu bot itu buruk. Jelek dan saya membencinya. Sang rekan lantas tersinggung atas perkataannya.
Jikalau ia benar-benar jujur, tak ada salahnya PDI-P mengajak Krisdayanti jalan-jalan ke Swedia. Sebagai bentuk apresiasi tak sekadar diajak “ngobrol” lalu disuruh klarifikasi. Ya, minimal setelah dari Swedia, Krisdayanti mendapatkan dua hal. Pertama, malu. Dan kedua semoga Krisdayanti banyak-banyak mengucap syukur kepada tuhan atas rezeki yang ia peroleh sebagai anggota DPR di Indonesia.
Di Swedia, pejabat negara dan anggota parlemen tak ada bedanya dengan warga sipil biasa. Gaji dan fasilitas untuk anggota DPR Swedia jauh dari kata mewah. Meskipun dikenal sebagai negara yang menghasilkan merk mobil mewah Volvo, ternyata DPR Swedia hanya menyediakan 3 unit mobil dinas yang diperuntukkan bagi 1 orang ketua dan 2 orang wakil ketua DPR. Mobil dinas itu hanya boleh dipakai untuk tugas-tugas kenegaraan, tak boleh digunakan untuk antar jemput sang pejabat dari rumah ke kantor.
Anggota DPR biasa, negara hanya memberi fasilitas gratis naik bis umum. Tak punya rumah dinas seperti perumahan anggota DPR RI di Kalibata. Anggota DPR Swedia hanya diberikan fasilitas apartemen yang luasnya hanya 46 m². Di dalamnya hanya ada satu unit TV, sofa dan tempat tidur.
Tidak disediakan staf ahli atau tenaga ahli. Gaji anggota DPR Swedia sekitar 98 juta rupiah per bulan. Apakah besar ? Tentu tidak. Rata-rata penghasilan rakyat di sana 40 juta rupiah perbulan, hanya 2 kali lipat dari rata-rata penghasilan rakyat di sana.
Bandingkan dengan Indonesia. Rata-rata penghasilan rakyat Indonesia 3 juta sebulan. Gaji dan tunjang anggota DPR menurut Krisdayanti 60 juta rupiah sebulan. Itu berarti sudah 20 kali lipat dari penghasilan rata-rata orang Indonesia. Belum termasuk dana aspirasi sebanyak 450 juta.
Pagi sudah meninggi. Saya buru-buru ke kamar mandi. Di dalam, saya tidak lagi membayangkan wajah Krisdayanti. Sumpah !
Belopa, 22 September 2021. (***)
Tentang Penulis; Nama Muh Nursaleh, akrab disapa Ale. Mantan jurnalis media lokal di Palopo, penulis beberapa buku, PNS Pemkab Luwu tinggal di Kota Belopa, Luwu, Sulsel.