WOTU — Beberapa daerah di indonesia menjadikan sagu sebagai salah satu bahan pokok yang digunakan untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Termasuk warga Luwu Raya. Sagu adalah tepung atau olahan yang diperoleh dari pemrosesan teras batang rumbia atau pohon sagu. Tepung sagu memiliki karakteristik fisik mirip dengan tepung tapioka.
Jika Papua memiliki Papeda, maka di Luwu Raya memiliki panganan tradisional yang diolah dari sagu yaitu Dange. Makanan ini terbuat dari sagu dan dijadikan kudapan pilihan bagi masyarakat sekitar.
Makanan ini sangat khas karena proses pembuatannya masih tergolong tradisional, hanya menggunakan tungku dan belanga yang terbuat dari tanah liat. Namun, seiring berjalannya waktu proses pembuatannya pun sudah menggunakan bantuan kompor gas.
Dange dibuat dari tepung sagu yang telah diayak dan dimasukkan kedalam cetakan kemudian dibakar. Dengan mempertahankan ciri khas dari proses pembuatan serta alat-alat masak yang digunakan, dipercaya dapat menjaga kualitas rasa dari dange dengan terbuat dari 100 persen sagu tanpa campuran.
Dange sendiri berbentuk persegi panjang dan pipih, memiliki tebal sekitar satu centimeter dan berwarna putih. Makanan ini lebih enak disantap ketika masih panas karena teksturnya lebih lembut.
Saat dingin tekstur dange akan berubah menjadi lebih keras. Meski begitu, kudapan ini juga cocok disajikan sebagai menu pendamping kapurung, kuah ikan, sambel atau lawa khas sulawesi.
Kombinasi dari berbagai macam rasa yang diciptakan dari bahan dasar yang dicampur, membuat kudapan yang satu ini menciptakan rasa tersendiri ketika mendarat di lidah para penikmatnya.
Salah satu pembuat dange yang saat ini masih tekun mengelola makanan khas sulawesi ini yakni Nenek Semmi, warga Dusun Jambu-jambu, Desa Lampenai, Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur. Nenek berusia 63 tahun ini membuat dange di rumahnya. Selama 7 tahun lamanya Nenek Semmi melanjutkan usaha keluarganya ini. Mulai 2017 hingga saat ini.
Ia menceritakan, pada saat sang ibunda meninggal dunia 2016 lalu, ia memutuskan untuk menggantikan almarhum sang ibunda untuk membuat dan menjual dange. Dirinya mengatakan bahwa proses pembuatan dange memakan waktu dua jam bahkan sehari. Dalam sehari ia mampu membuat sampai ratusan lembar. Dange kemudian dikemas dalam kantongan plastik kecil berisi 14 lembar dengan harga Rp 4 ribu.
Nenek semmi juga menjualkan hasil olahan dangenya ke beberapa pasar tradisional dan modern. Ia mengaku bahwa dalam waktu 2 – 3 hari terkadang jualannya ini tidak ludes terbeli. Namun ia tak khawatir karena Dange buatannya mampu bertahan hingga 2 minggu lamanya. (*)