Waduh! Ini 2 Faktor Penyebab Banjir Bandang di Luwu Utara Versi BNPB

2012
Faktor manusia turut menjadi pemicu banjir bandang di Luwu Utara, tulis BNPB dalam rilis resminya, Jumat (17/7). (Foto: Getty Images/fb)
ADVERTISEMENT

JAKARTA–Selain merilis sejumlah data dan fakta terkait korban dan penanganannya, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Raditya Jati juga merangkum analisis kejadian bencana banjir bandang di Luwu Utara, Senin malam 13 Juli 2020 lalu.

BNPB mengulas, hasil analisis sementara Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat dua faktor penyebab banjir bandang Luwu Utara, Senin malam lalu (13/7) yakni faktor alam dan faktor manusia.

ADVERTISEMENT

“Curah hujan dengan intensitas tinggi di daerah aliran sungai (DAS) Balease menjadi salah satu pemicu banjir bandang tersebut. Termonitor curah hujan lebih dari 100 mm per hari serta kemiringan lereng di bagian hulu DAS Balease sangat curam. Desa Balebo yang dilewati DAS ini berada pada kemiringan lebih dari 45 persen,” kata Raditya Jati.

Selain faktor cuaca, kondisi tanah berkontribusi terhadap terjadinya luncuran material air dan lumpur. Jenis tanah distropepts atau inceptisols memiliki karakteristik tanah dan batuan di lereng yang curam mudah longsor, yang selanjutnya membentuk bending alami atau tidak stabil. Kondisi ini mudah jebol apabila ada akumulasi debit air tinggi.

ADVERTISEMENT

Faktor alam yang terakhir bahwa DTA banjir di Desa Balebo, Kecamatan Masamba berada pada kategori banjir limpasan tinggi sampai ekstrem, sedangkan DTA banjir di Desa Radda Kecamatan Baebunta dan Desa Malangke Kecamatan Malangke sebagian besar berada pada kategori banjir genangan tinggi.

Sedangkan faktor manusia, terpantau di lokasi adanya pembukaan lahan di daerah hulu DAS Balease dan penggunaan lahan massif perkebunan kelapa sawit. Terkait dengan pembukaan lahan ini, salah satu rekomendasi dari KLHK yakni pemulihan lahan terbuka di daerah hulu, pungkas Raditya Jati dalam rilisnya.

Baca Juga: Perencanaan Pembangunan Tidak Ramah Lingkungan Disebut Picu Banjir Bandang di Lutra. Siapa Bertanggungjawab?

Sebelumnya, Pegiat lingkungan hidup, yang juga Direktur Eksekutif Jurnal Celebes, Mustam Arif menilai jika banjir bandang yang melanda Kabupaten Luwu Utara adalah akibat perencanaan pembangunan yang tidak memperhitungkan aspek keberlangsungan lingkungan.

Menurutnya, seperti daerah lainnya di Indonesia yang rentan, banjir bandang di Luwu Utara terjadi akibat degradasi lingkungan, sedangkan curah hujan yang tinggi hanya merupakan faktor pemicu, risiko alamiah dari perubahan iklim lantaran pemanasan global yang juga karena kerusakan lingkungan.

Curah hujan tinggi yang merupakan dampak anomali iklim ini memicu terjadi banjir bandang, karena hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Rongkong dengan berapa sungai di sub DAS Luwu Utara, terutama di Masamba dan sekitarnya tak mampu lagi menahan beban hidrologis di tanah yang tutupan hutannya yang sudah kritis.

Secara topografis, kata Arif mengutip Bisnis.com, Luwu Utara, Luwu Timur, sebagian Toraja sampai ke wilayah Sulawesi Tengah merupakan perpaduan geologis wilayah dataran tinggi Verbeek dengan dataran-dataran rendah yang memiliki tanah subur. Karakteristik tanah subur adalah tanah yang umumnya gembur mestinya tetap direkat oleh tubuhan atau pepohonan.

Tetapi ketika hutan dibuka untuk perkebunan/pertanian dan industri ekstraktif berupa tambang, akan merusak daya dukung ekologis kawasan tanah-tanah yang subur itu.

Menurut pimpinan lembaga yang fokus pada isu lingkungan tersebut, kondisi ini menciptakan kerentanan tinggi di wilayah-wilayah dataran rendah seperti di Masamba.

Masamba itu boleh dikata dikepung sungai. Di bagian selatan ada Sungai Rongkong yang besar, sementara tengah Kota Masamba sendiri berada di dataran rendah, serta kecamatan sekitarnya yang juga dilintasi beberapa sungai.

Kondisi ini membuat Masamba dan sekitarnya tergolong berada di areal yang rentan bencana banjir. Secara topografis, Masamba dan sekitarnya berada di titik terendah yang akan menjadi limpahan air ketika curah hujan melebihi batas ideal.

Saat wilayah ketinggian tidak mampu lagi menyimpan dan menahan air karena rusaknya daya dukung lingkungan, otomatis wilayah rendah akan menerima risiko. Itulah yang memicu banjir bandang di Lutra pada Senin (13/7) lalu.

Di wilayah hulu DAS Rongkong tampak kritis ketika dipantau dari satelit, akibat pembukaan lahan perkebunan dan pertanian. Ketika ini terus berlangsung, ke depan ancaman bencana seperti ini, tidak tertutup kemungkinan akan kembali terjadi.(iys)

ADVERTISEMENT