JAKARTA–Nurdin Abdullah adalah gubernur atau orang pertama yang merasakan Operasi Tangkap Tangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2021 ini.
Nurdin diterbangkan ke Jakarta pada pukul 7.00 WITA Sabtu pagi tadi (27/2) menggunakan pesawat Garuda GA 617 dari Gate 2, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar.
Nurdin duduk di seat kabin maskapai pelat merah itu pada seat nomor 36K.
Nurdin tiba di gedung KPK pada pukul 9.30 WIB, pagi tadi.
Hanya saja belum jelas status Nurdin Abdullah saat ini.
Apakah sebagai saksi atau malah sudah ditetapkan Tersangka?
KPK hingga saat ini masih mengunci teka-teki dijemputnya Nurdin Abdullah oleh komisi anti rasuah itu.
Begitupun dengan dugaan kasus yang membelit mantan bupati Bantaeng dua periode itu.
Dalam kasus korupsi yang mana dan peran gubernur dengan tagline “Prof Andalan” itu seperti apa?. Semuanya masih serba remang-remang.
Namun, santer terdengar pada 7 Februari lalu, NA dilaporkan ke KPK oleh Koordinator Fokal NGO Sulawesi dalam dugaan kasus KKN mega proyek Makassar New Port.
Proyek perluasan pelabuhan itu dikelola oleh PT Pelindo IV dengan nilai investasi mencapai Rp80,57 triliun.
Berikut ulasan mendalam mega proyek tersebut, yang dilansir Koran Seruya dari Tempo.co, dengan judul tulisan: Jalur Kilat Tim Andalan.
Ini petikannya:
Orang-orang dekat gubernur Sulawesi Selatan diduga mendapat karpet merah untuk memperoleh izin usaha pertambangan pasir.
Bayangkan. Pemeriksaan dua bundel dokumen setebal lebih dari 1.000 halaman itu tuntas hanya dalam waktu sekitar tujuh pekan.
Diajukan pada 29 Oktober 2019, dokumen itu berisi kerangka acuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diajukan PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur.
Pada 16 Desember, Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyetujui dokumen itu menjadi amdal.
Kecepatan keluarnya amdal itu menimbulkan kecurigaan dari Wahan Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan.
Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amien, mengatakan proses persetujuan andal mengacu pada tahapan pengurusan amdal di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5 Tahun 2012. “Paling cepat 120 hari,” kata Amien, Jumat, 18 September lalu.
PT Banteng dan PT Nugraha memperoleh izin usaha penambangan pasir di Blok Supermonde, di barat perairan Sulawesi Selatan yang berada di kawasan Kabupaten Takalar.
Totalnya mencapai hampir 1.300 hektare lokasi tambang keduanya terbilang strategis karena cadangan pasirnya tinggi dan dikelilingi pulau-pulau kecil.
Hasil penambangan itu digunakan untuk melanjutkan proyek reklamasi Makassar New Port (MNP) di kota Makassar.
MNP yang ditetapkan sebagai proyek strategis nasional digadang-gadang menjadi pelabuhan terbesar di timur Indonesia dengan total luas 1.428 hektare. Pelabuhan ini dioperasikan dan dibangun oleh PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) bekerja sama dengan PT Pembangunan Perumahan dengan nilai investasi mencapai Rp80,57 triliun.
“Hingga akhir tahun ini masih dibutuhkan 2 juta kubik pasir,” ujar Direktur Teknik PT Pelindo IV Prakosa Hadi Takariyanto.
Proyek ini ditargetkan rampung pada 2022.
Sejak 13 Februari lalu, kontraktor pertambangan PT Boskalis International Indonesia mulai mengeruk pasir. Mereka menggunakan kapal keruk bernama Queen of Netherlands.
Panjangnya mencapai 230 meter dan memiliki daya tampung 24 ribu kubik pasir.
Salah satu kawasan yang digarap oleh Boskalis merupakan kawasan yang menjadi konsesi PT Banteng dan Nugraha.
Penambangan itu berdampak terhadap kehidupan nelayan, khususnya yang bermukim di sekitar Pulau Kodingareng Lompo. Mereka merupakan nelayan tradisional yang mengandalkan metode memanah, memancing, dan menggunakan bagang untuk menangkap ikan.
Setelah penambangan berjalan, air laut mengeruh. Pengambilan pasir pun dituding merusak habitat Pulau Kodingareng yang berpenghuni sekitar 5.000 orang.
Bersama komunitas lain di sekitar pulau, para nelayan dan keluarganya rutin mendemo kapal penyedot pasir di lokasi tambang sejak Juni 2020 lalu. Puncaknya mereka berunjukrasa di lokasi tambang pada Sabtu, 12 September lalu.
Seusai demonstrasi, tujuh nelayan dan empat aktivis ditangkap polisi karena dituduh merusak kapal pengeruk pasir. Namun mereka bebas keesokan harinya,
“Kami sedang mencocokan dengan bukti lain untuk menentukan siapa pelaku perusakan,” kata Direktur Polisi Perairan dan Udara Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Komisaris Besar Hery Wiyanto.
Gubernur Nurdin Abdullah mengatakan keterlibatan mantan anggota tim suksesnya bukanlah pelanggaran hukum.
Ia juga mempertanyakan relevansi kedekatan para pemilik saham perusahaan itu dengan anak kandungnya.
“Dia bukan pemilik saham, bukan juga anggota direksi. Coba lihat saja akta perusahaan itu,” ujar Nurdin Abdullah.
Ia juga membantah mengistimewakan perizinan PT Banteng Laut Indonesia dan FT Nugraha Indonesia Timur.
“Kami berkomitmen mempermudah proses administasi. Selama itu sesuai dengan aturan dan perundang-undangan, semua kami percepat,” kata mantan Bupati Bantaeng dua periode ini.
KAPAL Queen of Netherlands terapung di perairan Kabupaten Takalar, Rabu siang, 15 September 2020 lalu.
Menggunakan kapal ketinting sepanjang enam meter, Tempo mencoba menengok aktivitas kapal baja itu dari dekat.
Lokasinya ditempuh sekitar dua jam berlayar dari Pulau Kodingareng Lompo.
Satu kilometer mendekati kapal, air laut terlihat keruh dan berwarna kecokelatan.
Kedua lambung kapal milik perusahaan asal Belanda itu menjulurkan dua pipa ke dalam laut. Dua orang terlihat mengawasi proses penyedotan pasir tersebut. “Kedalaman perairan ini 15-20 meter,” tutur Ismail, yang menemani Tempo.
Menurut dia, para nelayan kini dihantui perasaan khawatir setiap mendekati perairan ini. Ombak di sana bisa mencapai 3 meter akibat penambangan.
Sejumlah nelayan pernah mengalami kecelakaan khususnya jika berada di sekitar kapal pengeruk pasir tersebut.
Ismail turut serta dalam demonstrasi menentang pengerukan pasir itu, Sabtu 12 September 2020. Tapi ia tak ikut ditangkap.
Sejak kejadian itu, kata dia, polisi kerap berpatroli menjaga aktivitas kapal Queen of Nederland lengkap dengan senjata laras panjang.
“Kami merasa terteror,” ujarnya.
Polisi masih menyelidiki kerusakan pipa kapal seusai demonstrasi itu.
Direktur Kepolisian Perairan Polda Sulawesi Selatan Komisaris Besar Hery Wiyanto menduga ada nelayan yang merusak pipa kapal menggunakan bom molotov.
“Masih kami pelajari siapa pelaku pelemparan bom molotov itu,” katanya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mempersoalkan sikap polisi dalam mengusut dugaan kerusakan kapal.
Sebab, diduga terjadi penganiayaan terhadap beberapa demonstran dan dalam proses interogasi sebagian dari tujuh nelayan yang sempat ditahan mengaku mengalami kekerasan. “Kami meminta polisi bertindak profesional” tutur Wakil Direktur LBH Makassar, Edy Kurniawan yang juga pengacara para nelayan.
Tak hanya dihantui kecemasan, penduduk pulau Kodingareng juga medapat masalah baru sejak penambangan pasir dimulai.
Area yang semula menjadi tempat penangkapan ikan tak lagi mendatangkan hasil. Kesulitan ekonomi pun menimpa para nelayan. “Saya selalu bertengkar dengan istri karena pulang tak pernah lagi membawa hasil (ikan),” kata Syahril Kilo, 35 tahun, nelayan pemancing cumi-cumi dari Pulau Kodingareng.
Kondisi nelayan jauh berbeda dengan keuntungan yang diperoleh PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur sebagai pemilik konsesi tambang pasir.
Analisis tim Walhi Sulawesi Selatan menyebutan keuntungan yang didapatkan keduanya berkisar Rp1.1 miliar per hari. Mereka tinggal terima uang dari kontraktor dan pemegang proyek reklamasi tanpa harus kerja,” ucap Direktur Walhi Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amien.
Sekretaris Perusahaan PT Pelindo IV Dwi Rahmad Toto membantah kerusakan lingkungan terjadi akibat eksploitasi pasir laut. Menurut dia, penambangan sudah dilakukan sesuai dengan prosedur dan aturan yang ditetapkan pemerintah pusat ataupun daerah.
Ia juga mengklaim proyek Makassar New Port tak akan menimbulkan masalah lingkungan karena sudah melewati kajian. “Proyek ini sudah mengantongi Amdal dan sejumlah perizisan lain” katanya.
(*/Tempo)