MAKASSAR – Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendiskualifikasi Trisal Tahir sebagai peraih suara terbanyak pada Pilkada Palopo 2024, semakin menguatkan indikasi ijazah digunakan dalam pencalonan adalah palsu.Bahkan kondisi tersebut membuat Trisal Tahir terancam dijerat pidana atas dugaan pemalsuan ijazah. Apalagi Polres Palopo kembali membuka kasus itu dengan
memeriksa dua komisioner KPU Palopo yang masih aktif. Hanya saja, kasus tersebut terkesan jalan di tempat. Pakar Hukum Pidana Universitas Muslim Indonesia (UMI), Prof. Hambali Thalib menerangkan, putusan MK bisa menjadi dasar pidana dugaan pemalsuan ijazah.
Guru Besar Fakultas Hukum UMI ini menyebut, dugaan pemalsuan ijazah ini, Trisal bisa terjerat beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan surat otentik.
” Dalam pemidanaan ada beberapa (pasal) di situ, ada di 266, 263, 244. Kalau ijazah itu masuk pada pemalsuan surat otentik,” ungkapnya.
Adapun pasal yang mengatur tentang membuat dan menggunakan ijazah palsu adalah Pasal 263 ayat (1), Pasal 272 ayat (1), dan Pasal 69 ayat (1) KUHP dan UU Sisdiknas.

Kemudian Pasal 263 ayat (1) KUHP berbunyi, menyatakan bahwa manipulasi data ijazah adalah membuat ijazah palsu atau mengubah ijazah, dan membuktikan bahwa seseorang yang menjadi pemilik ijazah tersebut secara tidak sah.
Lalu pada Pasal 272 ayat (1) KUHP, menyatakan bahwa setiap orang yang memalsukan atau membuat palsu ijazah atau sertifikat kompetensi dan dokumen yang menyertainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Sementara Pasal 69 ayat (1) UU Sisdiknas, menyatakan bahwa setiap orang yang menggunakan ijazah yang terbukti palsu, dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.
Selain itu, praktik jual beli ijazah juga merupakan perbuatan yang melanggar hukum yaitu Pasal 263 KUHP dan Undang-Undang no. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sehingga proses pidananya ini, kata Prof. Hambali, putusan MK dapat menjadi alat bukti yang kuat. Sebagaimana putusan Perdata yang dapat dijadikan bukti pada pengadilan pidana.
“Sama dengan ini, jadi pelapor yang merasa dirugikan kepentingannya dengan pemalsuan ini, dia bisa dasar alat buktinya itu adalah putusan MK,” katanya.
Dia menilai, potensi Trisal Tahir untuk terjerat pidana sangat besar. Hanya saja tinggal bagaimana putusan MK yang sudah final dan mengikat ini dibawa ke dalam proses pidana oleh pelapor yang merasa dirugikan.
“Kita junjung asas praduga tak bersalah, tapi menurut saya sebagai pengamat hukum besar peluangnya itu kalau dilaporkan dugaan adanya pemalsuan ijazah. Besar peluangnya bisa dibuktikan,” tukas Prof. Hambali.
Sementara, Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Anti-Korupsi Sulawesi Selatan (PUKAT) Sulsel, Farid Mamma, SH., MH., mengatakan, dengan adanya putusan MK ini, pihak kepolisian tidak akan terlalu repot melakukan penyelidikan.
Sebab, putusan tersebut juga diambil setelah mendengar keterangan dari berbagai saksi. Apalagi kasus tersebut sudah diproses di Polres Palopo. “Jadi polisi tidak terlalu berat kerjanya. Harusnya si Trisal ini sudah jadi tersangka sebenarnya semenjak adanya putusan ini,” ucapnya. (*)