OPINI: Pandangan bahwa desa (atau sebutan lain : gampong, nagari, kampong, marga, dan sebagainya) sering kali terabaikan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah sebuah kenyataan yang sulit terbantahkan.
Desa dan masyarakatnya masih berada pada kondisi serba kekurangan dan tertinggal dibandingbkondisi masyarakat kota di berbagai aspek kehidupan, khususnya social/ekonomi. Kota dipandang lebih sejahtera daripada desa dari ukuran ekonomi.
Ada anggapan bahwa pembangunan nasional justru menciptakan kesenjangan antara desa dan kota. Pembangunan yang bias perkotaan semaikin memperbesar disparitas antara kota dan desa. Negara berkembang termasuk Indonesia, lebih mengonsentrasikan pembangunan ekonomi pada sector industri untuk mengejar pertumbuhan. Akibatnya, sector lain seperti sektor pertanian yang berada di pedesaan dan menjadi mata pencaharian utama masyarakat desa dikorbankan. Konsekuensinya, pembangunan hanya terpusat di kota dan kepentingan masyarakat desa dikesampingkan.
Selama ini pembangunan cenderung berorientasi pada pertumbuhan dan bias kota. Sumber daya ekonomi yang tumbuh di kawasan desa diambil oleh kekuatan yang lebih besar, sehingga desa kehabisan sumber daya dan menimbulkan arus urbanisasi penduduk desa ke kota. Kondisi ini menciptakan ketidakadilan, kemiskinan dan keterbelakangan yang senantiasa melekat pada desa (Ditjen PMD, 2007: 16).



Laporan Bank Pembangunan Asia dalam Inequality in Asia memuat kecenderungan naiknya kesenjangan di kawasan Asia, mencakup kesenjangan desa-kota, antar rumah tangga terutama disebabkan perbedaan tingkat pendidikan, serta antar sektor pertanian dengan industry dan jasa.
Kesenjangan desa-kota antara lain dapat dilihat dari adanya peningkatan kesenjangan pemilikan lahan di sektor pertanian ( kepemilikan lahan rata-rata lahan petani gurem turun dari 0,26 hektar pada 1983 menjadi 0,14 hektar di tahun 2003), juga terjadi kesenjangan akses memasuki aktivitas ekonomi, dan kesenjangan mendapat akses pelayanan dasar (Mustasya, 2008).
Dalam mendikotomikan desa-kota, Chambers (1987 : 6) seperti melihat ada dua kelompok dalam kutub yang berbeda. Di satu sisi, terkandung unsur kaya, kota industrialisasi, status yang tinggi; di sisi lain miskin, desa, pertanian, dan status pinggiran yang rendah. Di lingkungan yang pertama, terdapat daya tarik-menarik dan mengukuhkan kekuatan, kekuasaan, prestise, sumber daya, latihan yang professional serta latihan untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan.
Tingkat kesejahteraan penduduk, ketersediaan prasarana dan tingkat produktivitas pertanian, pendidikan, dan derajat kesehatan, memperlihatkan daerah pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan daerah perkotaan. Padahal sekitar 65% jumlah penduduk hidup di daerah pedesaan, sedangkan jumlah penduduk yang menetap di daerah perkotaan hanya kurang lebih 35% (Adisasmita, 2006 : 1). Sebagian besar masyarakat desa tertinggal(73%) harus menempuh 6-10 km dari desanya ke pusat pemasaran (pusat kecamatan) sedangkan desa-desa sisanya bahkan harus menempuh > 10 km dengan konndisi jalan yang memprihatinkan berupa jalan tanah. Penduduk yang terlayani air minnum perpipahan baru mencapai 9%, selebihnya masih mengambil langsung dari sumber yang tidak terlindungi (Kirmanto, 2006).
Data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menyebutkan, terdapat 38.232(54,14%) kategori desa maju, yang terdiri dari 36.793 (52,03%) kategorimajudan 1.493(2,11%) kategori sangat maju. Sementara itu, desa tertinggal berjumlah 32.379(45,86%)nyang terdiri dari 29.634(41,97%) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89%) kategori sangat tertinggal. Fakta tentang desa tertinggal menyebutkan bahwa desa belum dapat dilalui mobil sebanyak 9.425 desa, desa belum ada sarana kesehatan sejumlah 20.435 desa, desa belumm ada pasar permanen sebanyak 29. 421 desa, dan desa belum ada listrik sebanyak 6.240 desa (Edy, 2008).
Masyarakat Desa juga masih dirundung tingkat kesejahteraan yang relative rendah. Kesejahteraan penduduk itu berhubungan erat dengan persoalan kemiskinan. Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar di Negara manapun karena berpotensi menjadi akar masalah lain. Isu kemiskinan tersebut hingga kini masih menghantui masyarakat Desa. Desa sampai dengan sekarang tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (basic needsapparoach). Mengacu pendekatan ini, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
*)Penulis:Mudzakkar NB.
(Dosen Administrasi Pemerintah Desa ,FISIP UNANDA Palopo)