Bersama Istri Mendaki Puncak Tertinggi Sulawesi: Bertemu Kembali Haji Majonni (1)

443
Istri penulis,
ADVERTISEMENT

 

Mbah Marijan abadi bersama Merapi. Di jalur timur melalui Desa Tolajuk, pendakian Gunung menuju puncak tertinggi Sulawesi, Rantemario, Haji Majonni telah didaulat jadi juru kunci. Dialah tetua kampung yang wajib dikunjungi sebelum mendaki.

*****

ADVERTISEMENT

CATATAN: Muh Nursaleh*

Subuh. Pukul 05.15 WITA. Usai melaksanakan salat subuh, kuperiksa kembali semua perlengkapan pendakian. Jangan-jangan masih ada yang tertinggal. Dari pakaian, ransum, penerangan hingga obat-obatan. Istriku yang untuk pertama kali mendaki selama kurang lebih 20 tahun hobi ini kugeluti, turut membantu. Ia tergolong manusia teliti.

ADVERTISEMENT

Setelah memastikan semuanya telah ada, kami bergegas. Mulai membelah ujung subuh menuju Desa Tolajuk Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu. Desa inilah yang menjadi tempat awal menuju puncak Nenemori(3397 mdpl) dan puncak tertinggi Sulawesi, Rantemario (3478 mdpl) melintasi jalur timur dengan medan yang sangat ekstrim. Sengaja kami berangkat lebih awal. Ini untuk memudahkan perjalanan dengan target pos 2 sebagai lokasi membangun camp pada hari pertama.

Hujan sedari tadi meliuk-liukkan ban. Jalanan becek berat. Berkali-kali motor berhenti, mencari celah jalan untuk dilewati. Sesekali istriku turun, meringankan beban motor dengan berat tas carrier setinggi satu meter lebih ditambah satu tas day pack. Dingin mulai tandang ketika melintasi tanjakan di tengah perkampungan.

Sesuai target. Kami akhirnya tiba jam 09. 11 Wita di rumah panggung Haji Majonni di Desa Tolajuk. Ketika kami datang, beliau bersama istrinya sedang berada di teras. Bercengkrama menikmati dingin pagi. Senyum khas Haji Majonni menyambut uluran tangan kami berdua dan menyilahkan kami naik untuk duduk bersama istrinya.

Ini adalah perjumpaanku yang ketiga kalinya pasca pembukaan jalur dan pendakian bersama menandai peresmian Jalur Timur menuju Rantemario, Agustus 2019 lalu. Haji Majonni sejenak bernostalgia mengenang masa-masa kampung Tolajuk yang ramai oleh para pendaki yang menjajal jalur timur. Selain menyebut namaku, sejumlah nama pendaki lain masih tersimpan baik di memori otaknya. Ada Fadly, pendaki cilik Zalfa, Ballak, Takdir dan lain-lain. Pantaslah Haji Majonni mengingatnya. Mereka adalah para perintis jalur timur menuju Nenemori-Rantemario kala itu.

Seperti biasa suguhan kopi khas Latimojong terhidang. Cukup menghangatkan badan dihantam hujan berjam-jam. Istri Haji Majonni bersama istriku terlihat berbincang ringan. Istriku menerangkan keempat anaknya, profesinya sebagai perawat sementara istri Haji Majonni bercerita tentang sakit yang dialaminya belakangan ini. Termasuk keadaan cucunya yang ikut dalam pendakian bersama satu orang temannya. Jadilah kami berempat.

Hanya kurang lebih setengah jam waktu yang kami pakai untuk saling bertukar cerita. Kami memutuskan untuk memulai perjalanan menjelang siang. Kembali kubenahi tas carrier, memperhatikan istriku yang juga telah berbenah diri hingga perlengkapan cucu Haji Majonni bersama temannya yang begitu ingin memijakkan kakinya di Puncak Rantemario.
Sebelum berangkat, Haji Majonni menitip beberapa pesan termasuk memimpin doa keselamatan berharap pendakian ini tidak menemui hambatan. Kami berjabat tangan tanda pelepasan.

Perjalanan di awali melintasi tanjakan jalan rabat beton menuju kebun kopi warga Tolajuk. Jalur ini cukup menguras tenaga. Berkali-kali istriku berhenti berjalan, terlihat kesulitan mengatur pernafasan. Kuingatkan untuk mengatur ritme langkah kaki berjalan. Hitung-hitung sebagai salah satu upaya memberinya semangat di awal pendakian. Ini adalah hal yang baru baginya. Aku maklum bila ia lekas lelah.

Kami menikmati makan siang di ujung lintasan kebun kopi. Serantang nasi dan sambal ikan kering buatan istriku enak nian. Sangat pas dengan keadaan. Tak lupa secangkir kopi hangat dan menutupnya dengan salat.

Perjalanan sesungguhnya telah dimulai saat telah memasuki kawasan hutan setelah sebelumnya meninggalkan pos 1 berdekatan perkampungan. Gelap hutan menyambut. Cahaya kecil hanya terlihat di balik celah rimbun daun pepohonan. Binatang pengisap darah, lintah mulai menyerang. Terutama jenis lintah medis (Hirudo medicinalis). Lintah ini sangat cepat melekatkan pengisapnya di kaki-kaki kami. Sangat singkat, mereka membesar. Kenyang darah.

Di ujung sore, jelang mencapai pos 2, hujan deras menghantam. Rain coat (jas hujan) diabaikan. Hujan leluasa mengguyur tubuh. Langkah kaki istriku mulai membaik. Ia cekatan melintasi akar-akar pepohonan, cepat berpindah dari satu tanjakan ke tanjakan lain. Ia mulai pandai mengatur nafasnya.

Jelang magrib, kami pun tiba. Di tengah tubuh yang mulai menggigil, tenda kupasang yang di atas kubentang flysheet sebagai anti hujan. Kami memilih camp hanya sejarak dua meter dari lintasan aliran air sungai. Sesuatu yang sebenarnya menyalahi SOP pendakian, khususnya dalam penentuan lokasi inap.

Malam ini hujan menderas. Mengurung kami berdua di dalam tenda. Istriku sedari tadi telah merebahkan badan. Menahan dingin. Untuk menjaga suhu tubuhnya, gegas kubuatkan susu dan melumuri tubuhnya dengan minyak kayu putih.

Dini hari. Jam menunjukkan pukul 02.00 pas. Suara air cukup mengganggu telinga. Ditambah mataku yang susah diajak kompromi. Pengaruh pikiran. Membayakan medan yang akan dihadapi esok hari. Medan yang dikenal dengan lintasan tanjakannnya yang menantang. Kami akan memijak di ketinggian 2130 mdpl. Melintasi punggungan Bukit Katapu yang disebut sebagai ‘jembatan langit’ jalur timur.

Jika ingin tanpa hambatan, istriku harus bebas dari beban tas. Artinya, beban cerrierku akan bertambah ! Alamak ! (***/bersambung)

ADVERTISEMENT