OPINI : Expert

296
Nurdin. (Foto : Istimewa)
ADVERTISEMENT

Oleh : Nurdin

Saat menyaksikan perdebatan hukum di televisi, membaca di media cetak maupun media elektronik, sering kita mendengar atau membaca penamaan “saksi ahli” baik oleh masyarakat umum bahkan tidak sedikit penegak hukum mengucapkannya.

ADVERTISEMENT

Padahal, jika membuka kemudian membaca hukum pidana formil (KUHAP) sebagai pedoman dalam beracara pidana, maka sampai robek buku itu tidak akan ditemukan penamaan saksi ahli sebab memang tidak ada.

Kalau masyarakat umum yang mengucapkan saksi ahli, kita maklum sebab mungkin tidak sempat membaca KUHAP namun ketika penegak hukum yang mengucapkannya akan menjadi lucu kedengarannya. Oleh karena, seorang penegak hukum harus memahami perbedaan alat-alat bukti yang sah.

ADVERTISEMENT

Saksi dan ahli (jadi bukan saksi ahli) diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, keduanya merupakan bagian dari 5 (lima) alat bukti yang sah selain dari Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa.

Saksi dalam memberikan keterangan tidak boleh beropini sebab dia harus memberi keterangan sesuai apa yang dia lihat, alami dan ketahui (telah diperluas oleh putusan MK) sementara Ahli (expert) dalam memberikan keterangan, boleh beropini berdasarkan pemahamannya terkait dengan keahlian yang dimiliki.

Selain itu, ahli dalam memberikan keterangan, namanya keterangan ahli bukan kesaksian ahli kemudian pada pasal 120 KUHAP didefenisikan bahwa Ahli adalah yang mempunyai keahlian khusus, tidak dijelaskan bahwa harus sarjana atau ahli ilmu pengetahuan.

Boleh meminta bantuan pada orang yang berpengalaman dan kurang berpendidikan namun menguasai bidangnya, misalnya ; tukang kayu, pembuat senjata, dan seterusnya. Jadi, tidak ada terminologi saksi ahli sebab antara saksi dan ahli memiliki perbedaan yang sangat prinsipil. (*)

ADVERTISEMENT