Luwu Utara–Sagu adalah tanaman istimewa yang populasinya sebagian besar tumbuh di wilayah Indonesia Timur, seperti Sulawesi, Maluku dan Papua. Selain sebagai salah satu penyedia karbohidrat terbesar, sagu juga disebut sebagai tanaman serba guna karena mulai batang, daun dan buahnya dapat diolah menjadi bahan makanan atau kerajinan tangan.
Produksinya pun mencapai 15 ton/hektar. Jauh lebih tinggi daripada padi (7), jagung (5), dan ubi kayu (12). Melihat potensi sagu yang begitu besar, maka kewajiban pemerintah adalah melestarikannya.
Nah, Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan misalnya. Daerah ini adalah salah satu penghasil sagu terbesar di Sulsel. Itulah kemudian, tidak sedikit peneliti dari berbagai perguruan tinggi melakukan penelitian di Bumi La Maranginang tersebut.
Meski begitu, Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Utara juga tidak tinggal diam dalam upaya pelesatarian tanaman sagu. Berbagai forum diskusi selalu dihadirkan oleh pemerintah daerah.
Kerannya dibuka, kemudian peneliti, perguruan tinggi dan NGO lainnya dilibatkan. Tujuannya, bagaimana mencari solusi agar keberadaan sagu bisa memperkuat ketahanan pangan.
Nah, Tim Riset Pengembangan Inovatif Kolaboratif (RPIK) Kementerian Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan Pemda Luwu Utara, menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang bertema “Revitalisasi Peran Sagu di Tana Luwu untuk Ketahanan Pangan, Rabu (9/6/2021) di Aula La Galigo Kantor Bupati Luwu Utara.
FGD ini dibuka oleh Bupati melalui Asisten Ekonomi dan Pembangan, Alauddin Sukri, serta dihadiri Koordinator BPP di tiga kecamatan (Malbar, Malangke dan Tanalili), perwakilan Petani Produsen Sagu Basah, para Peneliti dari berbagai disiplin ilmu rumpun pertanian (agronomi, pascapanen dan sosial ekonomi), serta beberapa pejabat di Dinas Ketahanan Pangan.
Dalam FGD tersebut, ada tiga tantangan yang mengemuka, yaitu: (1) perlu adanya aksi nyata untuk menekan laju pengurangan populasi sagu, sekaligus melakukan upaya ekstensifikasi tanaman sagu; (2) kehadiran intervensi Pemda bagi pelaku usaha berbasis sagu; dan (3) perlunya pengawalan pendaftaran jenis sagu unggul untuk produksi bibit.
“Kita berharap FGD ini menjadi wadah untuk merembukkan beberapa tantangan, bagaimna sagu itu menjadi komoditi dalam rangka memperkuat ketahanan pangan,” kata Alauddin yang juga Kadis Ketahanan Pangan ini. Untuk itu, kata dia, perlu ada aksi nyata untuk melakukan upaya ekstensifikasi, sehingga kelestariannya tetap terus terjaga,” terang dia.
(Vk/LH)