DALAM perjalanan sejarah panjang, Kedatuan Luwu adalah kerajaan tertua di atas teritorial Pulau Sulawesi yang dulunya dikenal sebagai Celebes. Di bidang Kesusastraan, Tana Luwu telah menyumbangkan warisan epik yakni I La Galigo, yang kemudian diakui oleh dunia oleh UNESCO menjadi Memory of the World karena mengandung literatur dan ingatan kolektif dunia.
Jumlah baris dan halamannya melebihi karya Mahabarata dan Ramayana dari India, serta Syair Homerus dari Yunani. Dalam perjalanan panjang epos dan rangkaian sejarah Luwu yang kemudian menempatkannnya sebagai Kerajaan Tertua di Pulau Sulawesi. Bukan orang yang mengaku-aku sebagai raja dan ratu, yang tiba-tiba saja muncul di era kekinian.
Kisah yang tersirat dan tersurat dalam Epik I La Galigo ini menceritakan kisah leluhur orang Luwu, awal manusia atau Mula Tau’/ItoE. Dimana berkisah tentang eksistensi timbulnya manusia pertama yang diturunkan dari kahyangan bernama Batara Guru. ia putra tertua dari Mahadewa Langit To Palanrowe (sang pencipta) Patotoe La Lapatigana Sangkuruwira dan istrinya Datu Palinge. Turun ke alle Luwu/onto Luwu yang wilayahnya masuk dalam administratif kabupaten Luwu Timur sehingga dijuluki Bumi Batara Guru.
Periode Manurung selanjutnya di era Datu Simpurusiang atau bergelar Pua Modala Salassae. Pasca vakum Pitupariyama (kekosongan pemerintahan di Luwu selama 7 masa pariama/kemarau) yang kemudian menjadi patron yang disepakati dalam Tudang Ade’ yang digelar di kota Palopo pada tahun 1994, yang dihadiri oleh para pemangku hadat, veteran, tokoh agama, para cendekiawan Luwu dan sejarawan sebagai Hari Jadi Luwu.
Kemudian ditetapkan pula Hari Perlawanan Rakyat Luwu (HPRL) pada tanggal 23 Januari yang mengacu pada perlawanan rakyat Luwu semesta di Kota Palopo pada tanggal 23 Januari 1946.
Momentum dimana Amarah Rakyat Luwu yang tidak terbendung lagi ketika dua Simbol (Agama dan Adat) dalam falsafah “Patuppui ri Ade’E Mufasandre ri Zara’E diinjak-injak oleh penjajah Belanda dalam peristiwa di Bua, dimana Belanda saat itu, masuk masjid merobek-robek Alquran dan memukuli Doja, kemudian menggerebek rumah Maddika Bua yang disinyalir tempat bersembunyi pemuda belia yakni Andi Sultani mereka anggap pelaku penikaman Kopral Seerov beberapa hari sebelumnya, dalam perjalanan menuju Bajo.
Kejadian penggrebekan rumah Maddika Bua dan pemukulan Doja (pemelihara masjid) disertai merobek-robek Al’quran (kejadian di Bua) itu teramat disesalkan Pappoatae Datu Luwu Andi Djemma dan seluruh masyarakat Tana Luwu saat itu.
Semangat perlawanan semakin memuncak dan tak bisa kompromi lagi, hal ini adalah siri’ yang harus dibayar mahal bahkan dengan nyawa sekalipun.
Maka, pada tanggal 21 Januari 1946, dikeluarkan ultimatum yang ditujukan kepada Tentara Sekutu, yang ditandatangani oleh Andi Djemma atas nama Rakyat Luwu dan HM Ramli atas nama Ummat Islam, serta M Yusuf Arief sebagai perwakilan Pemuda, saat itu.
Tindak lanjut dari ultimatum tersebut adalah dengan membentuk komando pertempuran dibawah Tiga Serangkai yaitu :
Andi Tenriadjeng – Yusuf Arief – M Landau Daeng Mabbate.
Tanpa menunggu waktu yang lama, masing masing komandan pasukan itu segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk menindak perilaku tentara Penjajah yang melanggar dari hasil keputusan yang tersirat di dalam ultimatum. Landau pun menuju Lasussua menjemput pasukan M. Badewi.
Sementara itu, sekitar 10 km dari istana tepatnya di Bua (Selatan Kota Palopo), sebelum Andi Tenriadjeng beserta pasukanya menuju ke Palopo, beliau berorasi memberi semangat kepada pasukannya dengan mengangkat badiknya sambil berkata, ”Saya tidak akan pernah memasukkan badik ini ke sarungnya jika Penjajah belum pergi meninggalkan Luwu dan andai kelak kita ditakdirkan oleh Allah SWT mati di medan perjuangan, maka Insya Allah “Mate Ri Santanggi Manengki” (Kita semua mati syahid) dalam memperjuangkan agama Allah, dan kembali ke sisi-NYa dalam keadaan yang Mulia!!”
Ucapan Andi Tenridjeng atau lebih dikenal dengan nama Pejuang beliau yakni “Bung Batti” disambut dengan teriakan “Allahu Akbar” dan “Merdeka”.
Lalu dengan semangat Nasionalisme yang berkobar-kobar maka pasukan dari Palopo Selatan menuju ke istana Datu Luwu di kota Palopo. Setelah menyampaikan perihal kesiapan pasukannya pada Andi Ahmad, Andi Tenriadjeng kemudian mengarahkan pasukannya untuk mengatur posisi sekitar RS Umum Palopo. Mendengar kesiapan pasukan dari Selatan Andi Djemma sedikit lega, namun beliau (Andi Djemma) masih cemas dan menanyakan kabar berita kepada Sanusi Dg Mattata tentang pasukan dari Lasussua/Tenggara Luwu (sekarang wilayah Kabupaten Kolaka Utara) yang belum tiba di Kota Palopo.
Sangat perlu diakui bahwa pertempuran 23 Januari di Palopo, selain kekuatan pemuda pejuang dari Palopo sendiri ada dua kekuatan besar yang sangat dibutuhkan atau diandalkan, yaitu pasukan Andi Tenriadjeng dari selatan (sekarang Kabupaten Luwu) dan pasukan pimpinan M Badewi dari Tenggara/Lasussua (sekarang Kolaka Utara).
Malampun semakin larut. Kota Palopo dalam suasana sangat mencekam, angin seolah enggan berembus, hanya ada suara jangrik dan binatang malam lainnya yang samar terdengar.
Wajah-wajah nampak cemas menanti kedatangan pasukan Lasussua. Dan akhirnya penantian itu berujung saat seorang muncul dengan membawa kabar bahwa pasukan Lasussua telah tiba.
Pasukan dari arah tenggara wilayah kedatuan Luwu akhirnya muncul dan masuk ke istana Datu Luwu disambut dengan senyum rindu dan salam merdeka oleh Datu Luwu Andi Djemma. Sembari merangkul satu-satu pejuang Lasussua, Andi Djemma menjamu mereka dengan makan malam karna kelelahan berlayar dan didera rasa lapar.
Setelah rehat, pasukan dari Tenggara itu koordinasi dengan pimpinan pasukan yang ada di Kota Palopo yang sudah mempersiapkan serangan. Waktu terus berjalan, dan waktu yang tertuang dalam ultimatum berakhir bersamaan dengan ucapan Andi Tenripadang (permaisuri muda Andi Djemma) yang berkata: ’’Saya dan Datu kalian sudah ingin mendengar suara letusan senjata”.
Bersambung………
(iys)