KORANSERUYA.COM–Pemerintah Pusat kini mengeluarkan berbagai aturan baru bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), terkait penerapan kedisiplinan dan berbagai hal sebagai abdi negara. Berbagai aturan tersebut wajib ditaati oleh PNS. Kalau dilanggar sanksinya bervariasi mulai sanksi tertulis hingga pemecatan.
Salah satu aturan baru bagi PNS tersebut, yakni dilarang membawa uang tunai dalam perjalanan dinas. “Aturan ini dilakukan untuk mengantisipasi kebocoran dana, sekaligus menerapkan sistem digitalisasi,” kata Wakil Menteri Dalam Negeri, John Wempi Wetipo di Jakarta, Rabu (13/7/2022).
Aturan baru PNS tersebut, kata John Wempi Wetipo, sebagai implementasi aturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2021 tentang Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah. Serta Peraturan Menteri Nomor 79 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). “Ke depan Bapak-Ibu yang ingin melakukan perjalanan dinas itu tidak akan dikasih uang cash ya,” katanya.
Pelaksanaan aturan ini nantinya juga akan dilakukan pengawasan secara elektronik dengan penyampaian pelaporan. Maka dari itu, Wempi menyarankan kepada pemerintah daerah untuk memperhatikan implementasi ketersambungan jaringan telekomunikasi. Terutama di daerah terpencil, terluat dan tertinggal.
“Bahwa banyak jaringan yang sudah terpasang tetapi ternyata sinyalnya kurang kuat ya, karena ini yang kita harapkan mohon dukungan pak menteri kominfo untuk proses ini bisa berjalan dengan baik,” tambah Wempi.
Selain pelarangan membawa uang tunai juga terdapat sejumlah aturan baru lain yang jika dilanggar PNS berbuntut sanksi. Sanksi mulai dari ringan hingga berat. Apa saja larangan bagi PNS tersebut? Salah satunya, PNS dilarang selingkuh.
Aturan selingkuh menyelingkuhi untuk PNS tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 tahun 1990 Perubahan Atas PP Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. “Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah,” bunyi Pasal 14 PP Nomor 45 Tahun 1990.
Hidup bersama bisa diartikan sebagai perilaku melakukan hubungan suami istri di luar ikatan perkawinan yang sah yang seolah-olah merupakan suatu rumah tangga.
Masih dalam PP Nomor 45 Tahun 1990, dalam Pasal 15 PP dijelaskan pelanggaran terhadap Pasal 14 yang terkait praktik selingkuh dan kumpul kebo masuk dalam kategori pelanggaran atau hukuman disiplin berat. PP Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS telah diubah menjadi PP Nomor 53 tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin PNS.
Hukuman berat dalam PP Nomor 53 tahun 2010 adalah berupa penurunan pangkat satu tingkat selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan, pembebasan jabatan, dan yang terberat yakni pemberhentian.
Larangan lainnya, PNS diboleh terpapar radikalisme. Pemerintah melakukan langkah tegas untuk mencegah aparatur sipil negara (ASN) dari paham radikalisme. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN tentang Larangan bagi ASN untuk berafiliasi dan mendukung organisasi terlarang serta organisasi kemasyarakatan yang dicabut status badan hukumnya.
“SE Bersama ini ditujukan bagi ASN agar tetap menjunjung tinggi nilai dasar untuk wajib setia pada Pancasila, UUD 1945, pemerintahan yang sah serta menjaga fungsi ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa,” bunyi SE tersebut dikutip merdeka.com dari lama setkab.go.id.
Langkah pelarangan tersebut mencakup tujuh hal. Pertama menjadi anggota atau memiliki pertalian, kedua memberikan dukungan langsung dan tidak langsung,ketiga menjadi simpatisan, keempat terlibat dalam kegiatan, kelima menggunakan simbol serta atribut organisasi.
Selanjutnya keenam menggunakan berbagai media untuk menyatakan keterlibatan dan penggunaan simbol dan atribut, ketujuh melakukan tindakan lain yang terkait dengan organisasi terlarang dan ormas yang dicabut badan hukumnya.
Dalam SE Bersama ini juga disebutkan organisasi terlarang dan ormas yang telah dicabut status badan hukumnya, yaitu: Partai Komunis Indonesia, Jamaah Islamiyah, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Front Pembela Islam (FPI).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah (PP) nomor 94/2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam PP tersebut dijelaskan aturan-aturan terkait kewajiban dan larangan PNS.
Dalam aturan tersebut dijelaskan jika para PNS melanggar aturan dalam PP tersebut akan dijatuhi hukuman disiplin. Terdapat tingkat dan jenis hukuman pertama yaitu tingkat hukuman disiplin terdiri Hukuman Disiplin ringan, sedang dan berat.
Adapun dalam Pasal 5 dijelaskan, PNS Dilarang, diantaranya menyalahgunakan wewenang, menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dengan jabatan, termasuk menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain.
Juga PNS dilarang bekerja pada lembaga atau organisasi internasional tanpa izin atau tanpa ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing kecuali ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga milik negara secara tidak sah.
PNS juga dilarang melakukan pungutan di luar ketentuan, melakukan kegiatan yang merugikan negara, bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan, menghalangi berjalannya tugas kedinasan, enerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan, meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan, melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani.
Yang paling diwanti-wanti, PNS dilarang keras memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara, seperti ikut kampanye, menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain, sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
PNS juga dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; dan/atau, termasuk
memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk.
John Wempi Wetipo berharap, berbagai aturan baru bagi PNS tersebut patut ditaati dan dilaksanakan demi menjaga marwah PNS. “Termasuk larangan PNS memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan berbagai cara,” katanya. (liq)