OLEH: H YASIR (DIRUT PAM TIRTA MANGKALUKU PALOPO)
SALAH satu kendala pengembangan pelayanan air minum oleh badan usaha milik daerah (BUMD) adalah harga jual air atau tarif yang dikenakan pada pelanggan masih dibawa harga pokok produksi, belum mencapai full cost recovery (FCR) dalam kondisi jual rugi, ditambah tidak adanya dukungan dalam bentuk subsidi tarif dari pemerintah daerah, kualitas dan keberlanjutan pelayanan air minum dipertaruhkan.
Para penyelengara sistem penyediaan air minum (SPAM) yang mengeluhkan selalu rugi akibat harga jual air lebih rendah dari biaya produksi tak perlu khawatir tidak bisa menemukan solusi terhadap persoalan ini. Pemerintah, dalam hal ini kementrian dalam negeri, sudah menyiapkan jurus-jurusnya. Tujuannya tidak lain untuk memastikan agar masyarakat mendapatkan pelayanan air minum sebagaimana mestinya berikut ini adalah langka dan jurus tersebut.
Pertama, direksi BUMD mengajukan penyusaian tarif kepada kepala daerah selaku pemilik sebagaimana diatur dalam permendagri Nomor 71 Tahun 2016 tentang perhitungan dan penetapan tarif Air Minum.
Namun, sebelum mengajukan penyusaian tarif, tentu langkah itu harus di dasarkan beberapa aspek, mulai dari keterjangkauan dan keadilan, mutu pelayanan, pemulihan biaya,efisiensi pemakaina air, perlindungan air baku, sampai transparasi dan akuntablitas.
Kedua bila kepala daerah memutuskan tarif lebih kecil dari pada usulan tarif yang diajukan penyelanggara SPAM yang artinya tarif rata-rata tidak mencapai pemulihan biaya secara penuh atau FCR, pemerintah daerah harus menyediakan subsudi untuk menutup kekurangannya melalui APBD. Hal ini diatur dalam permendagri No. 70 Tahun 2016 tentang pedoman pemberian subsidi dari pemerintah Daerah ke BUMD Penyelengara Sistem penyediaan Air Minum.
Permendagri 70/2016 menjelaskan subsidi kepada BUMD Air Minum bertujuan untuk membantu biaya produksi air minum agar tersediah pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga terjangkau bagai masyarakat. Besarnya subsidi dihitung berdasarkan selisih kurang tarif rata-rata dengan harga pokok produsi setelah diaudit.
URUSAN DAN KEWENANGAN PEMDA
Sebagaimana diketahui, pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 mengisyaratkan bahwa air dikuasai oleh negara untuk di pergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Di tingkat pelaksanaan, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerithan Daerah mengamanatkan bahwa penyedian pelayanan kepada masyarakat dibidang air minum menjadi urusan dan kewenangan Pemerinthan Kabupaten/kota.
Amanah UU 23 Tahun 2004 ini ditegaskan kembali dalam satu prinsip dasar pembatasan pengolaan SDA sebagai konsekuensi dibatalkannya UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA dan kembali diperlakukannya UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan oleh Mahkama konstitusi pada Rabu, 7 september 2017. Hal itu juga diucapkan dalam Sidang Pleno MK pada Rabu,18 Februari 2015.
Dalam salah satu prinsip dasar pembatasan pengelolaan SDA, MK menegaskan bahwa prioritas utama pengusahaan atas air diberikan kepada BUMN atau BUMD. Sebagaimana diketahui, prusahaan daerah air minum atau PDAM ialah BUMD yang dimiliki dan digunakan pemerintahan daerah sebagai istitusi penyelanggaraan penyedia pelayanan air minum.
Dengan kata lain, sebgai pemilik sudah sewajarnya bila para kepala daerah memiliki kepedulian yang tinggi pada kinerja dan pelayanan air minum BUMD. Baik atau buruknya pelayanan air minum tentunya mencerminkan seberapa besarnya perhatian dan komitmen pemilik pada BUMD yang menjalankan fungsi sebagai perpanjagan tangan pemerintah daerah.
Jika PDAM belum menerapkan tarif FCR, pemerintah daerah seharusnya melakukan penyesuaian tarif. Jika tidak dapat melakukan penyusaian tarif, pemerintah daerah seharusnya melakukan subsidi tarif , begitu pendapat anggota BPPSPAM, HM. Limbong.
Ia juga berpendapat, perusahaan air minum memang harus bisa mencari keuntungan, tetapi juga harus memberikan pelayanan yang baik bagi pelanggan. Menurut Limbong, hal ini sesuai amanah PP Nomor 122 Tahun 2015 tentang SPAM, bahwa dalam hal pendapatan yang diperoleh dari penjualan air tidak dapat memenuhi biaya operasi dan pemeliharaan, pemerintah daerah harus memberikan subsidi dalam upaya perbaikan peyelengaraan SPAM oleh BUMD. Subsidi diberikan untuk mencapai Keseimbangan antara pendapatan dan biaya operasi serta pemeliharaan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Dalam perseftik kepengusahaan, tarif sangatlah menetukan bagi keberlangsungan dan jalanya roda perusahaan. Meski BUMD air minum tidak sepenuhnya berorientasi bisnis, melainkan juga punya misi sosial, toh faktanya keberlangsungan dan berkelanjutan pelayanan hampir sebagian besar ditopang oleh tarif.
“Bagi PERPAMSI, penetaan tarif yang full cost recovery bukan hanya penting, melaikan juga menetukan bagaimana perusahaan air minum bisa memberikan layanan terbaik kepada masyarakat,” ujar Direktur Eksekutif PERMASI, Ashari Mardiono saat membuka workshop Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum di Hotel Veranda Jakarta, Rabu, 26 Desember 2018.
DASAR PENETAPAN TARIF
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 122 Tahun 2015 tentang sistem Penyedian Air Minum, Penetapan tarif Penyelenggaraan SPAM didasarkan pada prinsip keterjangkauan dan Keadilan, Mutu Pelayanan, Pemulihan Biaya, Efisiensi Pemakaian Air, Transparansi, dan Akuntabilitas serta Perlindungan Air Baku.
Adapun komponen yang diperhitungkan dalam perhitungan tarif air minum meliputi biaya operasi dan pemeliharaaan, biaya depresiasi/amortisasi, biaya bunga pinjaman, biaya lain, serta keuntungan yang wajar.
PP 122 juga mengisyaratkan agar tarif air minum meliputi beberapa kelompok pelanggan yang dicantumkan dalam struktur tarif yang harus mengakomodasi keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan pokok air minum sehari-hari, yakni minum, masak, mandi, cuci, peturasan dan ibadah.
Penjelasan lebih detail mengenai tarif air penyelenggaraan SPAM dituangkan dalam Permendagri no. 71 Tahun 2016 tentang perhitungan dan penetapan tarif air minum.
Keterjangkauan sebagaimana yang dimaksud dalam Permendagri 71, yakni penetapan tarif untuk standar kebutuhan pokok air minum, disesuaikan dengan kemampuan membayar pelanggan yang berpenghasilan sama dengan upah minimum Provinsi ( UMP ). Tarif juga tidak melampau 4% dari pendapatan masyarakat pelanggan. Penetapan tarif untuk standar kebutuhan pokok air minum bagi masyarakat berpenghasilan rendah diberlakukan tarif setinggi-tingginya sama dengan tarif rendah.
Sementara itu, , prinsip keadilan dicapai melalui penerapan tarif Diferensiasi dengan subsidi silang antar kelompok pelanggan. Dan penerapan tarif progresif dalam rangka mngupayakan penghematan penggunaan air minum.
Point selanjutnya adalah mutu pelayanan. Hal ini dilakukan melalui penetapan tarif yang mempertimbangkan keseimbangan dengan tingkat mutu pelayanan yang diterima oleh pelanggan. Sedangkan pemulihan biaya ditunjukkan untuk menutup kebutuhan operasional dan pengembangan pelayanan air minum. Pemulihan biaya untuk menutup kebutuhan Operasional diperoleh dari hasil perhitungan tarif rata-rata minimal sama dengan biaya dasar.
Pemulihan biaya untuk pengembangan pelayanan air minum diperoleh dari hasil perhitungan tarif rata-rata harus menutup biaya penuh. Biaya penuh, termasuk di dalam keuntungan yang wajar berdasarkan rasio laba terhadap Aktiva, sekurang kurangnya sebesar 10%.
Untuk efisiensi pemakaian air dan perlindungan air baku dilakukan melalui pengenaan tarif progresif yang diperhitungkan melalui penataan blok konsumsi. Tarif Progresif dikenakan kepada pelanggan yang konsumsinya melebihi standar kebutuhan pokok air minum, yakni sebesar 10 m3 per kepala keluarga per bulan atau 60 Ltr/ orang per hari atau sebesar satuan volume lainnya.
Prinsip yang tak kalah penting dalam penetapan dan perhitungan tarif ialah, transparansi dan akuntabilitas. Caranya, antara lain, ialah dengan menjaring aspirasi pelanggan yang berkaitan dengan rencana perhitungan dan penetapan tarif. Perlu juga menyampaikan informasi yang berkaitan dengan rencana perhitungan tarif kepada pelanggan. Akuntabilitas berarti dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan perundang – undangan.
RENCANA BISNIS
Regulasi lain yang bertujuan mendorong agar pelayanan air minum oleh BUMD menjadi lebih baik adalah Permen Negeri no. 118 Tahun 2018 tentang rencana kerja dan anggaran, kerjasama, pelaporan dan evaluasi badan usaha milik daerah. Dengan dilaksanakannya regulasi ini oleh BUMD, diharapkan tercipta tata kelola perusahaan yang baik. Good Corporate Governance (GCG).
Dalam regulasi tersebut, diamanahkan para Direksi BUMD wajib menyusun rencana bisnis (Business Plan), berupa rincian kegiatan dengan jangka waktu 5 (lima) tahun. Didalamnya juga disebut ketentuan menyusun rencana kerja dan anggaran (RKA) BUMD yang berisi penjabaran tahunan rencana bisnis.
Penusunan rencana bisnis meperhatikan aspirasi para pemangku kepentingan dan disetujui bersama oleh Dewan Pengawas atau Komisaris serta disahkan oleh Kepala Daerah atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Disamping itu, bila ada rencana penyertaan modal atau pengurangan modal dari pemerintah daerah, rencana bisnis disesuaikan dengan Perda tentang penyertaan modal dan hasil analisis investasi yang diseusun oleha pemerintah daerah.
Rencana Bisnis bisa disebut sebagai dasar perjanjian kontrak kinerja direksi BUMD kepada kepala daerah. Di dalamnya berisi gambaran mengenai bisnis BUMD kepada para pemangku kepentingan. Dokumen tersebut juga memberikan pedoman bagi pihak manajemen BUMD dalam mengelola BUMD, menentukan strategi bisnis (termasuk di dalamnya terkait tarif dan subsidi), mengarahkan pengurus BUMD fokus pada tujuan BUMD, membantu menghadapi persaingan usaha, hingga menarik investor dan kreditor.
“Sekarang regulasinya sudah ada. Pertanyaannya, bisa tidak hal ini dipertingkatkan ? “ ujar Riris Prasetyo, Kasubdit BUMD Air Minum, Limbah dan Sanitasi, Direktorat BUMD, BLUD dan BMD, Ditjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber workshop Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum di hotel Veranda Jakarta, 26-27 Desember 2018.
Riris mengkhawatirkan, ada regulasi, tapi dari sisi praktik tidak diterapkan. Namun, sejauh ini pihaknya belum dapat masukan, apakah regulasi tentang tarif dan subsidi susah untuk di tingkat Operasional. Selama ini, ia lebih memilih bahwa kendala utama PDAM untuk menerapkan tarif FCR lebih pada faktor politik, ekonomi, dan sosial budaya. (*)