PALOPO — Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kota Palopo turut berduka cita atas meninggalnya Patra Marina Jauhari.
Patra merupakan salah satu petugas kesehatan berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) asal kota Palopo yang mengabdikan dirinya di pedalaman Papua Barat selama 10 tahun.
“PPNI Palopo turut berduka cita. Sebagai penghormatan, kami instruksikan semua perawat untuk menggunakan pita hitam sambil bekerja,” kata Ketua PPNI Palopo, Taufik Senin (24/6/2019).
Diketahui, Patra rela meninggalkan keluarganya di Palopo, demi membantu warga Kampung Oya, Distrik Naikere, Teluk Wondama.
Kampung Oya diketahui sebagai daerah terpencil dan merupakan perbatasan Kabupaten Kaimana. Bahkan, untuk bisa ke sana, orang harus menghabiskan waktu tiga hari dan tiga malam dengan berjalan kaki.
Alternatif lainnya, kalau mau cepat, adalah menggunakan helikopter, tetapi tentu biayanya tidak sedikit.
Patra ditemukan meninggal dunia pada Selasa (18/6) karena penyakit malaria. Tetapi jenazahnya baru ditemukan rekannya pada Jumat (21/6).
Akibatnya, saat ditemukan, jenazahnya sudah mengeluarkan bau tak sedap. Jenazahnya lalu diberangkatkan ke Wasior, Ibu Kota Kabupaten Teluk Wondama, dengan helikopter pada Sabtu (22/6).
Saat tiba di Wasior, kondisi jenazah almarhum Patra Marinna Jauhari tampak hanya dibungkus menggunakan kain dan dibalut plastik.
Salah satu petugas kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wasior menuturkan, almarhum Patra sempat dibawa ke RSUD Wasior. Namun, pihak keluarga lalu membawa jenazah Patra pulang dari rumah sakit.
Dina, salah satu kerabat dekat, mengungkapkan bahwa jenazah Patra tidak memungkinkan untuk dipulangkan ke kampung halamannya di Palopo.
“Kondisi almarhum (Patra Marinna Jauhari) sudah tidak bisa lagi untuk dipulangkan, kemunginan dimakamkan di Wasior,” ujarnya.
Sementara itu, kerabat dekatnya, Eky Arisandi, mengaku awalnya keluarga tak mengetahui, almarhum menderita sakit.
“Kami tidak mengetahui kalau dia sedang sakit. Karena di daerah tempat dia bertugas jaringan itu sangat sulit,” kata Arisandi dikutip dari tribuntimur.com.
Barulah, kematian Patra diketahui dari teman kerjanya yang langsung menghubungi pihak keluarga. “Kakak kandungnya, share di grup keluarga juga,” sambung Arisandi.
Dari kronologis kejadian, Arisandi mengatakan sebelum meninggal Patra sedang dalam keadaan sakit malaria.
“Karena, kehabisan obat di desa Oya. Akhirnya temannya, pergi ke Wasior untuk ambil obat,” kisah Arisandi.
Jarak tempuh dari desa tersebut ke Wasior cukup jauh yakni tiga hari tiga malam dan hanya dapat di akses dengan berjalan kaki atau naik helikopter. “Temannya belum tiba di Wasior, Patra sudah meninggal,” tutur Arisandi.
Mengetahui kabar tersebut, pihak keluarga dengan segera meminta agar jenazah Patra Marinna Jauhari dipulangkan ke kampung halamannya di Palopo.
“Keluarga besar inginnya jenazah di makamkan di Palopo, karena keluarga besar semua ada di Palopo,” harapnya. di Makassar. Eky Arisandi menuturkan, pihak keluarga telah menempuh berbagai cara untuk memulang jenazah Patra. Namun, hasilnya nihil.
“Dari Karantina Bandara yang ada di Manokwari menolak untuk dipulangkan,” kata pria yang akrab disapa Arisandi. Menurut pihak karantina, sambung Arisandi, berdasarkan aturan berlaku jenazah yang telah lama tidak dapat dipulangkan. “Mayatnya sudah di formalin, harusnya kan awet yah bisa di pulangkan. Tapi ini tetap juga tidak bisa,” sambungnya.
Pihak puskesmas Maureke tempat almarhum bekerja sudah melakukan kordinasi namun juga tetap tidak diperbolehkan pulang.
“Kami berharap semoga ada perhatian dari pemerintah, keluarga ingin jenazah di pulangkan ke kampung halamannya,” kata kerabat lainnya, Eky.
“Kami juga mewakili pihak keluarga memohon untuk pihak-pihak terkait khususnya karantina bandara disana (Manokwari) agar memudahkan kepulangan jenasah karena ini permintaan yang sangat amat dalam dari pihak keluarga,” ujarnya. (*/adn)