OPINI — Hiruk-pikuk kembali melanda Indonesia beberapa hari terakhir sejak pegesahan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Senayan Selasa, 5 Oktober 2020 melalui sidang paripurna yang diikuti anggota DPR RI secara langsung dan daring.
Dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI ada enam fraksi yang menerima dengan bulat, satu fraksi menerima dengan syarat dan dua fraksi yang menolak.
UU Cipta Kerja Omnibus Law ini merupakan gabungan dari 79 UU yang digabung menjadi satu kitab UU hal tersebut dimaksudkan untuk mengintegrasikan berbagai UU yang selama ini dianggap tumpang tindih dan menjadi celah terjadinya korupsi.
Pasca pengesahan tersebut gelombang protes dan aksi massa terjadi dihampir seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut dipicu karena UU Cipta Kerja Omnibus Law ditengarai tidak memihak pada kepentingan rakyat. Anggota DPR RI dituding menghinati amanah rakyat dan melanggengkan oligarki di tanah ibu pertiwi.
Gelombang protes ini melibatkan kelompok buruh, mahasiswa, masyarakat umum hingga organisasi keagamaan. Hal yang paling dipersoalkan adalah pasal-pasal yang berhubungan dengan bidang ketenagakerjaan.
Bertebaran dimedia sosial dan menjadi konsumsi publik 12 poin yang dicurigai sebagai bentuk kedzaliman terhadap buruh. Sontak dukungan solidaritas dari berbagai pihak seketika menyulut amarah. Mahasiswa dan buruh menjadi bagian terbesar dalam aksi yang dibeberapa daerah berakhir chaos.
Pertanyaannya, Apakah UU Cipta Kerja Omnibus Law tidak ada kekurangan? Jawabnya, Ada. Apakah UU Cipta Kerja Omnibus Law tidak ada kelebihan? Jawabnya, ada.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa hanya hal yang berhubungan dengan buruh ramai dipublik dibanding hal lain seperti agraria, pendidikan dan investasi padahal hal tersebut juga ditafsirkan tidak memihak pada rakyat?
Mungkin saja karena buruh lebih teroganisir dan mampu digerakkan dengan cepat.
Saya tidak apriori dengan gerakan yang telah dilakukan hingga berdarah-darah. Saya justru salut. Bahwa sensifitas kritis masih ada di negeri ini.
kesadaran bernegara berdasar konstitusi masih terus terjaga.
Tapi jangan tergerus dengan pola pihak yang dengan sengaja ingin menciptakan kegaduhan dan mengambil kepentingan politis. Melakukan perusakan atas nama demokrasi adalah hal yang tidak dapat dibenarkan.
Mabes Polri telah menetapkan seorang wanita paru baya asal kota Makassar provinsi Sulawesi Selatan berinisial VE sebagai tersangka akibat menyebarkan hoaks 12 poin yang merugikan buruh.
Lalu apakah demonstran yang turun kejalan dengan tuntutan utama tentang buruh terpengaruh hoaks?
Jika benar demikian maka kita mengalami masalah besar dalam berbangsa.
Masyarakat tidak lagi melakukan telaah informasi, dengan membandingkan dari berbagai sumber. Agar mampu membangun argumentasi sendiri yang kuat dan rasional. Tidak sekadar ikut-ikutan dengan informasi yang beredar liar.
Kerena hoaks sangat mudah tersebar di masyarakat yang rendah literasi dan malas melakukan klarifikasi. Kita semestinya belajar bahwa produsen hoaks selalu hadir setiap saat seperti tarikan nafas pada momentum genting. Hal ini memicu sikap reaktif bagi kaum yang mengalami distrus dan tidak terbuka dengan informasi yang lain.
Dari sekian banyak aksi demonstrasi yang diwarnai perusakan, penjarahan, pembakaran dan pertumpahan darah, Jalan lain yang lebih elegan ditempuh PBNU dalam melakukan yudisial review UU Cipta Kerja Omnibus Law ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kita berharap masyarakat dapat belajar bagaimana menyaring informasi dengan meningkatkan daya literasi dan sikap kritis terhadap sebuah informasi. Karena bangsa yang diperbudak hoaks adalah bangsa penuh kegaduhan.
Haeril Al Fajri
(Direktur Macca Indonesia Foundation-MIND)