SUDAH 50 tahun PT Vale Indonesia beroperasi di Nusantara. PT Vale telah memproduksi nickel matte 75.000 ton pertahun dan memasok 5 persen kebutuhan nikel dunia. Dengan hasil semua itu, PT Vale Indonesia berkomitmen untuk pertambangan berkelanjutan.
Salah satu pilar strategis PT Vale Indonesia adalah menyertakan keberlanjutan sebagai bagian tak terpisahkan dari bisnisnya dengan membangun ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu, PT Vale Indonesia juga memitigasi dampak operasi.
Salah satu upaya PT Vale Indonesia dalam membangun lingkungan ialah dengan pengendalian emisi sulfur dioksida (SO2) dan partikulat. Hal itu dilakukan demi menjaga kualitas udara. Selain itu, PT Vale Indonesia menarget 2050 net zero emisi.
PT Vale Indonesia sadar akan bahaya sulfur dioksida bila tak segera dikendalikan. Menurut Stasiun Pemantau Atmosfer Global (Global Atmosphere Watch – GAW) dalam situs resminya menjelaskan Sulfur dioksida adalah salah satu spesies dari gas-gas oksida sulfur (SOx).
Gas ini sangat mudah terlarut dalam air, memiliki bau namun tidak berwarna, SO2 dan gas-gas oksida sulfur lainnya terbentuk saat terjadi pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur.
Sulfur terdapat dalam hampir semua material mentah yang belum diolah seperti minyak mentah, batu bara, dan bijih-bijih yang mengandung metal seperti alumunium, tembaga, seng, timbal dan besi.
Bahaya sulfur dioksida dalam kesehatan dapat menyebabkan iritasi pada system pernafasan, seperti pada slaput lender hidung, tenggorokan dan saluran udara di paru-paru. Efek kesehatan ini menjadi lebih buruk pada penderita asma.
Selain itu, tingginya kadar sulfur dioksida di udara merupakan salah satu penyebab terjadinya hujan asam. Hujan asam disebabkan belerang (sulfur) yang merupakan pengotor dalam bahan bakar fosil serta nitrogen di udara yang bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida.
Air hujan yang asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan yang terbukti berbahaya bagi kehidupan ikan dan tanaman. Kelebihan zat asam pada danau akan mengakibatkan sedikitnya species yang bertahan.
Sulfur dioksida juga berbahaya bagi tanaman. Adanya gas ini pada konsentrasi tinggi dapat membunuh jaringan pada daun. pinggiran daun dan daerah diantara tulang-tulang daun rusak. Secara kronis SO2 menyebabkan terjadinya khlorosis.
Kerusakan tanaman ini akan diperparah dengan kenaikan kelembaban udara. SO2 di udara akan berubah menjadi asam sulfat. Daerah dengan adanya pencemaran sulfur dioksida yang cukup tinggi, tanaman akan rusak oleh aerosol asam sulfat.
Sementara dampak kerusakan sulfur dioksida pada hewan sungguh buruk. Sebagaimana tumbuhan, hewan juga memiliki ambang toleransi terhadap hujan asam.
Spesies hewan tanah yang mikroskopis akan langsung mati saat pH tanah meningkat karena sifat hewan mikroskopis adalah sangat spesifik dan rentan terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim.
Selain itu, Kerusakan oleh pencemaran sulfur dioksida juga dialami oleh bangunan yang bahan-bahannya seperti batu kapur, batu pualam, dolomit akan dirusak sulfur dioksida dari udara.
Efek dari kerusakan ini akan tampak pada penampilannya, integritas struktur, dan umur dari gedung tersebut. Ancaman serius juga dapat terjadi pada bagunan tua serta monument termasuk candi dan patung.
Sadar akan bahaya sulfur dioksida, PT Vale Indonesia berupaya menurunkan kadar sulfur dioksida sebagai langkah mengurangi emisi. PT Vale Indonesia telah menyusun rencana dan target untuk meningkatkan stabilitas dan baku mutu emisi sulfur dioksida dengan menurunkan intensitas secara masif, yakni dari 0,86 kg SO2/kg Ni menjadi 0,80 kg SO2/kg Ni pada tahun 2019.
PT Vale Indonesia bersama perwakilan Vale Base Metal di Kanada membentuk sebuah panel tim khusus untuk memastikan rencana dan target reduksi SO2 dapat dicapai. Tim tersebut bernama SERP (SO2 Emission Reduction Program). Setiap triwulan tim SERP meninjau kinerja intensitas emisi SO2 dan proyek-proyek di dalamnya.
Dilansir dari website-nya, PT Vale Indonesia menjelaskan pihaknya melanjutkan program penggantian HSFO dengan batubara pada tanur pengering. Penggantian HSFO dimaksudkan untuk mendukung pencapaian target penurunan emisi sulfur dioksida (SO2).
Dari hasil pemantauan dan pengukuran yang dilakukan selama tahun 2017, diketahui emisi rata-rata SO2 adalah 0,75 kg SO2/kg Ni, sehingga telah memenuhi ambang batas sebesar 0,86 SO2/kg Ni seperti diatur dalam Permen LH No. 4 Tahun 2014.
Nilai emisi rata-rata SO2 pada tahun 2017 lebih tinggi dibanding emisi rata-rata SO2 pada tahun 2016 sebesar 0,72 kg SO2/kg Ni.
Tak hanya itu, PT Vale Indonesia juga melakukan pemantauan dan pengukuran kualitas cerobong tungku pengering, tanur pereduksi dan tanur pelebur.
Pemantauan dan pengukuran dilakukan laboratorium independen terakreditasi, sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 4/2014 Tentang Baku Mutu Emisi.
Dari hasil pemantauan dan pengukuran selama tahun 2017, parameter partikulat Perseroan masih memenuhi baku mutu emisi dari kegiatan pengolahan nikel.
Komitmen PT Vale Indonesia dalam pengendalian dan penurunan emisi dibuktikan dengan berpartisipasi dalam Conference of the Parties (COP26) dan Pavilliun Indonesia yang dilaksanakan di Glasgow, Skotlandia. Kegiatan tersebut diselenggarakan sejak 31 Oktober hingga 12 November 2021 lalu.
COP26 sendiri merupakan ajang perhelatan perubahan iklim yang mengumpulkan ratusan pemimpin dunia dengan komitmen untuk menetapkan target pengurangan emisi atau dekarbonisasi.
Perhelatan ini merupakan terusan dari Paris Agreement atau Perjanjian Paris pada 2015. Sebanyak 100 pemimpin dunia hadir di Glasgow, Skotlandia untuk menentukan langkahnya dalam menyusun target dekarbonisasi.
Konvensi kerangka kerja perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) memuat terkait mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan.
Pada COP26, CEO PT Vale Indonesia Tbk, Febriani Eddy menjadi pembicara dalam forum Business Leadership dengan mengangkat tema “Supporting Ambitious Target Achievement on GHG Emision Reduction”.
“Untuk menghadiri COP-26 UNFCC, mendukung Paviliun Indonesia dan berbagi upaya bersama menuju ekonomi hijau dari perspektif bisnis. Perubahan iklim adalah nyata dan setiap dari kita dapat berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih hijau bersama,” ujar Febriani Eddy yang dilansir dari beberapa media.
Menurut Febriani Eddy, sangat penting bagi industri pertambangan untuk bertransformasi guna membangun kepercayaan, tumbuh lebih kuat, dan mencapai hasil yang berkelanjutan.
“Saya ingin menggunakan momen ini untuk menegaskan kembali komitmen Vale untuk menjadi industri pertambangan, yang didorong oleh keberlanjutan dan bekerja untuk mencapai target ambisius Net Zero Emission pada tahun 2050,” katanya.
PT Vale Indonesia telah melaksanakan pengurangan emisi karbon karena hal ini menjadi bagian solusi untuk perubahan iklim. Sejak beroperasi 53 tahun lalu, PT Vale Indonesia Tbk sangat mendukung peningkatan Energi Baru Terbarukan (EBT) melalui praktik pertambangan yang berkelanjutan.
Meningkatkan penggunaan EBT yakni telah membangun dan mengoperasikan 3 Unit Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) adalah awal PT Vale Indonesia dalam mendukung peningkatan energi baru terbarukan.
3 Unit pembangkit listrik tenaga air itu memiliki kapasitas 365 Megawatt (MW) dan berkontribusi terhadap 36 persen total energi yang dibutuhkan perusahaan untuk beroperasi.
Dengan dioperasikannya 3 PLTA tersebut, mampu mengurangi emisi sulfur dioksida (SO2) lebih dari satu juta ton per tahun. Angka yang fantastis untuk sebuah komitmen dalam menanggulangi emisi.
Mengoperasikan 3 PLTA tersebut bukan satu-satunya langkah yang diambil PT Vale Indonesia. Pada operasional pabrik di Blok Sorowako telah diterapkan penggunaan teknologi electric boiler, dan pemanfaatan biodiesel B30.
Semua kebijakan yang diambil PT Vale Indonesia tersebut dilakukan untuk mencapai target Net Zero Emissions pada 2050. Febriany mengatakan PT Vale Indonesia menarget pengurangan emisi mencapai 30 persen pada 2030 mendatang.
“Kami membuat komitmen publik yang sangat ambisius untuk mengurangi emisi karbon terkait dengan kegiatan penambangan, pengolahan, dan pada akhirnya, penggunaan produk kami. Tujuannya adalah mengurangi emisi sebesar 30 persen paling lambat pada 2030 dan menjadi net zero emissions pada 2050. Hal ini sejalan dengan Paris Agreement yang telah ditandatangani Vale pada 2019 silam,” kata Febriany Eddy.
Demikian pula nantinya pada pembangunan pabrik baru di area Bahodopi, Sulawesi Tengah yang akan menggunakan PLTG atau energi gas bumi. Pabrik tersebut akan menjadi pabrik nikel dengan emisi karbon per ton nikel terendah kedua setelah Sorowako yang menggunakan PLTA. Setelah itu, menyusul kemudian pada proyek Pomalaa, di Sulawesi Tenggara yang juga akan menerapkan operasional rendah karbon emisi.
“PT Vale Indonesia sangat fokus pada sektor pertambangan dan processing nikel, meski demikian tentunya operasional yang ramah lingkungan menjadi perhatian utama,” ungkapnya.
Tak hanya pada penerapan operasional ramah lingkungan, dari sisi komitmen terhadap Paris Agreement PT Vale Indonesia Tbk terus melakukan reklamasi pasca tambang serta pembibitan.
Di atas lahan seluas 2,5 hektar di Sorowako, Sulawesi Selatan, dengan menghasilkan sebanyak 700.000 bibit per tahun untuk merehabilitasi 100 hektar area pasca tambang. Data per September 2021 total lahan yang sudah direklamasi mencapai 3.301 hektar.
Selain itu, PT Vale Indonesia juga melakukan Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan program penanaman tanaman jenis kayu-kayuan dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di luar wilayah Kontrak Karya PT Vale.
Tujuan dilakukan hal tersebut untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi DAS sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Saat ini rehabilitasi DAS dilakukan di 13 Kabupaten dan 51 desa dengan luas 10.000 hektar tersebar di Luwu Timur seluas 1.490 hektar, Luwu dan Luwu Utara seluas 1.996 hektar, Tana Toraja seluas 1.190 hektar, Toraja Utara, Enrekang dan Pinrang seluas 979 hektar, Bone seluas 1.735 hektar, Soppeng dan Gowa seluas 1.135 hektar, Barru, Maros, Gowa dan Takalar seluas 1.475 hektar.
“Sampai saat ini praktik rehabilitasi kami masih diakui diantara yang terbaik di Indonesia. Untuk itu diharapkan semoga semakin banyak perusahaan tambang yang bisa melakukan praktek pertambangan berkelanjutan seperti yang diterapkan di PT Vale Indonesia Tbk,” paparnya. Vale secara global berkomitmen untuk menjadi net zero emisi pada 2050.
PT Vale Indonesia juga melakukan pengelolaan dan pengolahan limbah. Limbah cair (effluent) yang dihasilkan dari kegiatan operasi penambangan dan pengolahan bijih nikel dikelola untuk menekan total padatan tersuspensi (TSS) dan pencemaran logam Kromium (Cr6+).
PT Vale Indonesia berkomitmen mengolah limbah cair hingga memenuhi baku mutu sebelum dialirkan kembali ke badan air.
Sejak tahun 2013 PT Vale Indonesia telah menerapkan program Effluent Project. Program ini dibuat untuk mengolah limbah cair secara terintegrasi dengan mengoperasikan Pakalangkai Waste Water Treatment (WWT).
Unit Pakalangkai WWT dibangun dengan investasi AS$1,9 juta dan terintegrasi dengan 85 kolam pengendapan limbah cair berkapasitas total 15,4 juta meter kubik.
Pada tahun 2016, PT Vale Indonesia membangun fasilitas Lamella Gravity Settler (LGS) dengan investasi sebesar AS$3,2 juta. Fasilitas LGS terintegrasi dengan 17 kolam pengendapan berkapasitas 16 juta meter kubik.
Pembangunan fasilitas ini merupakan bentuk kepatuhan atas pemberlakuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 9 Tahun 2006 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Bijih Nikel.
Proses pembangunan fasilitas LGS pertama untuk industri pertambangan ini dilakukan bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Keberadaan Pakalangkai WWT dan LGS telah mampu mengolah limbah cair sehingga aman saat dialirkan kembali ke badan air. Fasilitas LGS meminimalisasi kandungan Kromium Valensi 6 (Cr6+), Chromium Total (Cr Total) dan TSS (Total Suspended Solid) serta kandungan lainnya pada air limbah dari area penambangan PT Vale hingga ke tingkat di bawah baku mutu lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Hasil pengukuran kadar TSS dan Cr6+ di Danau Matano dan Danau Mahalona selalu berada jauh di bawah baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah (TSS 200 ppm, Cr6+ 0,1 ppm). Badan air danau terlihat jernih meskipun PT Vale telah beroperasi selama lima dekade di Sorowako. (liq)