PALOPO–Memperingati Hari Jadi Tana Luwu (HJTL) dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu (HPRL) masing-masing yang ke 753 dan 75 tahun, komunitas Roemah Simpoel kembali menggelar event “Beppa To Riolo” yang artinya jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah “Kue Orang Dulu”.
Masih ingatkah beppa atau kue zaman dulu, saat kalian masih kecil?
Salah satunya yang banyak digemari adalah kue doko-doko cangkuning (dalam bahasa Bugis) sedangkan dalam bahasa Makassar adalah roko-roko cangkuning.
Frasa doko-doko maupun roko-roko artinya bungkus-bungkus.
Doko-doko adalah kue yang dibungkus daun pisang berbentuk kerucut lancip (limas) atau mirip piramida Mesir.
Hampir semua tempat jajanan kuliner khas selama Ramadan di Makassar, Sulawesi Selatan, menyajikan kue doko-doko cangkuning yang merupakan kue tradisional khas suku Bugis-Makassar termasuk Wija To Luwu.
Kue ini identik dengan balutan daun pisang yang berbentuk kerucut dan dijual dengan harga seribu rupiah per buah. Kue ini ternyata banyak juga peminatnya.
Di kota Palopo, aneka kue jajanan tradisional bisa anda jumpai di Pasar Sentral (PNP) atau di Pasar Andi Tadda.
Kue doko-doko cangkuning dibuat dari bahan tepung beras ketan, gula, air suji, serta untuk isinya berupa parutan kelapa yang dicampur gula aren. Dan supaya lebih harum, biasanya ditambahkan potongan daun pandan wangi.
Kudapan ini lebih mantap rasanya jika dinikmati panas-panas atau yang baru selesai dimasak/kukus diatas kompor.
Orang-orang tua zaman dulu, saat itu belum mengenal kompor gas, sehingga aroma kayu bakar dari penganan yang satu ini terasa lebih original dan cita rasanya sudah pasti lebih lezat.
(iys)