Penulis: Muh. Rafly Setiawan
Kepala Bidang Kaderisasi PC PMII Palopo
Kurang lebih satu dekade belakangan, jika kita merefleksikan kuliner khas Kota Palopo, begitu beragam dan bernuansa kerakyaratan. Seperti kapurung dan pacco, begitu memanjakan masyarakat Kota Palopo dengan cita rasa kearifan lokal. Bahannya pun tidak sulit untuk dijangkau. Dapat ditemui di Pasar Niaga Palopo, Pasar Andi Tadda, dan warung makan yang ada di Kota Idaman.
Kita juga tidak merogoh kantong dalam jumlah besar. Dengan mengeluarkan, Rp.5.000-Rp.10.000 sudah dapat disantap dengan nikmat. Kuliner ini amat berjiwa kerakyaratan, lantaran hampir setiap rumah mampu menghidangkan dengan sendirinya di mejamakan. Belum lagi, nilai jualnya bagi, wisatawan Nasional maupun Internasional yang sangat penasaran makanan lokal Kota Palopo, atau pada umumnya Luwu Raya.
Namun demikian, semenjak haus akan life style dunia barat maupun timur tengah, membuat kuliner khas Kota Palopo tergeser dari puncak klasemen yang diminati oleh wisatawan, bahkan warga setempat sendiri. Dikarenakan, berbagai restoran asing membuka gerai di Kota Palopo. Bahkan, anak-anak yang terlahir dari kalangan elite, lebih menyenangi jenis makanan asing ketimbang kuliner khas Kota Palopo.
Jenis makanan seperti yang ada di menu makanan restoran KFC sudah jadi keakraban elite class, bahkan dianggap kolot kalau belum pernah mencicipi fried chicken dan pepsi yang hampir dua kali lipat harganya daripada kapurung atau pacco. Tidak segan-segan, hidangan yang terdapat di gerai KFC, semakin menegaskan watak konsumerisme kita. Bagaimana tidak? Kala berada di meja makan gerai KFC, tidak sah rasanya kalau belum berpose dengan makanan yang telah dipesan, dan membagikan di media sosial. Namun anehnya, jika berada di warung makan lokal,kita enggan bahkan tidak percaya diri bila hendak mengeksplorasi makanan khas ala Palopo di media sosial.
Disini titik terlemahnya, lantaran lebih mempopulerkan fast food ala western, ketimbang melestarikan kuliner khas lokal. Inilah mahar yang harus dibayar untuk dapat bertahan dalam arus globalisasi, ataukah kesadaran kita telah mati terhadap seni kulinerlokal sebagai alat ketahanan dan pertahanan nasional? Entahlah, yang pasti relasi kuasa dari negara adidaya, terbukti nyaris meruntuhkan pondasi kebudayaan Indonesia, termasuk Kota Palopo.
Seharusnya kita menerapkan pembangunan berbasis kebudayaan. Bukan hanya serta-merta bermental konsumerisme, melainkan punya daya sinkreti suntuk dapat mempertahankan local wisdom yang dimiliki. Meskipun berbagai kuliner asing menggodakita, harus dipelajari ulang serta “mendaur-ulang” komposisinya sehingga kita berdaya dari segi senikuliner. Sampai saat ini, belum ada penamaan baru jika hidangan seperti kapurung dan fried chicken dikembangkan, pasti menjadi new fast food ala Palopo, dan tentu terdapat daya tarik berlebih bagi penggila kuliner.
Itu baru satu aspek. Belum lagi ditelaah dari perspektif ekonominya. Terbukti dengan bermunculannya restoran-restoran asing, melumpuhkan sendi-sendi pendapatan warung makan lokal di Kota Palopo. Telah banyak ditemui para pewarung lokal memilih untuk menjual produk makanan yang serupa dengan restoran asing (seperti fried chicken & hamburger) agar tetap mempertahankan usahanya, bahkan ada yang gulung tikar karena tidak sanggup bersaing seiring menurun drastis pendapatannya per-hari.
Sekarang ini, restoran pizza hut sudah masuk di Kota Palopo. Bangunannya pun sudah tertancap kuat di jalan Andi Djemma Kota Palopo—depan Kantor DPD II Partai Golkar sisa menunggu peresmiannya saja. Ini akan jadi buruan bagi warga Palopo dan sekitarnya, untuk berlomba-lomba menyantap menu hidangan di gerai pizza hut. Tentu mematikan aktivitas ekonomi bagi pewarung makanan kecil dan pewarung makanan khas Kota Idaman di sekitar Jalan Andi Djemma.
Sebetulnya, sebelum mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gerai pizza hut, harus diselesaikan dulu impact bagi bisnis kuliner kecil, terlebih warung makanlokal. Apakah dengan adanya restoran pizza hut akan mendatangkan kemanfaatan buat pewarung lokal, atau justru merugikan besar? Dan bagaimana kalau mendatangkan merugikan,lantas kebijakan pemerintah seperti apa buat pelaku usaha warung makan lokal yang dirugikan besar, bahkan jika sampai gulung tikar?
Kita seakan-akan overdosis dengan iklim investasi restoran asing, dengan dalih bahwa menjadi penanda bagi perekonomian Kota Palopo. Kita seakan amnesia soal kelangsungan bisnis pewarung-pewarung lokal, sehingga luput dari prioritas pihak “pemberi izin”. Seolah-seolah membaiknya perekonomian Kota Idaman, hanya dari restoran elite (asing), tidak diamati dari unit usaha kecil yang nyatanya dapat merawat makanan khas Kota Palopo.
Lalu pertanyaannya kemudian, apakah kebudayaan orisinal Palopo tidak punya korelasi atas perbaikan ekonomi Kota Palopo? Jika begitu, kita sangat rawan akan kekuatan lunak dari negara adidaya. Salah satunya dengan menganggap bahwa dengan berdirinya restoran asal Amerika akan menstimulus faktor ekonomi di suatu daerah. Tapi kita lupaakan ciri kearifan lokal yang sepatutnya amat penting dilestarikan agar menjadi alat pertahanan dan ketahanan nasional.
Seiring makin derasnya arus globalisasi, akselerasi teknologi, lalulintas komunikasi dan informasi bertumpa ruah, membuat kita malah lupa diri, bahkan tidak percaya diri atas kebudayaan yang dimiliki. Penting kiranya, pembangunan berbasis kebudayaan jadi kerangka dalam menentukan suatu kebijakan yang dapat memengaruhi aktivitas masyarakat di lintas sektoral maupun dibirokrasi pemerintahan.
Pameo “sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi” perlu didorong untuk masuk dalam birokrasi pemerintahan agar “kesadaran” akan kearifan lokal yang dimiliki, melatih kita untuk mewujudkan Palopo sebagai Kota maju, inovatif dan berkelanjutan pada tahun 2023, sesuai visi Walikota dan Wakil Walikota pada tahun 2018. Memang,sekarang ini ukuran untuk memajukan suatu daerah, memerlukan kemampuan beradaptasi. Namun,kita sangat melupakan kemauan agar selektif dalam menelurkan asas manfaatnya bagi seluruh masyarakat di lintas sektoral.
Terakhir, mengutip perkataan Pramoedya Ananta Toerbahwa kita harus berlaku adil sejak dalam pemikiran sehingga tindakan kita pun berkeadilan. Karena sesungguhnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat (termasuk support dan respect buat menguatkan sendi ekonomi warga)tidak diketahui betul wujudnya seperti apa.
Demikianlah penulis akhiri coretan ini tentang pengaruh kuliner asing di Kota kita tercinta. Semoga pewarung lokal tidak terombang-ambing ataupun gulung tikar dalam percaturan politik-ekonomi global. Semoga saja!