JAKARTA–Kisruh internal Partai Demokrat melibatkan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang kini ditunjuk sebagai Ketua Umum versi Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang abal-abal, Jumat, 5 Maret 2021 lalu.
Naiknya Moeldoko bukan karena keringat dia dalam andil membesarkan partai yang didirikan mantan presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, tetapi bermotif politik yang diduga untuk memuluskan langkah Jokowi yang ngebet kepengen jadi presiden 3 periode.
Hal itu disampaikan sejumlah pengamat dan akademisi, salah satunya Ubedilah Badrun, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Ia menduga ada agenda besar di balik ngototnya sejumlah mantan kader Partai Demokrat yang sudah dipecat untuk menggelar Kongres Luar Biasa (KLB).
Disebut KLB untuk memecat Agus Harimurti Yudhoyono itu dituding illegal, karena tidak memenuhi syarat-syarat AD/ART Partai Demokrat yang sah. Sejumlah pengamat menduga ada upaya melemahkan oposisi untuk memuluskan sejumlah agenda politik termasuk wacana presiden tiga periode.
“Saya heran dengan ngototnya upaya melakukan KLB illegal oleh mantan-mantan kader Demokrat walaupun jelas menyalahi AD/ART partai yang legal” kata Ubedilah Badrun yang juga akademisi UNJ.
“Realitas itu memungkinkan dugaan bahwa KLB Ilegal itu ada apa-apanya, dan muncul dugaan kuat yang makin diketahui publik siapa sesungguhnya dibalik para mantan kader ini,” lanjut Ubedilah.
“Yang jelas, ini terlihat sebagai upaya yang sistematis dan cukup masif untuk melemahkan Partai Demokrat yang notabene berada di luar pemerintahan dan selama ini tidak segan menolak kebijakan pemerintah, seperti kejadian walk out saat menolak RUU Ciptaker September lalu,” ujar pengamat politik yang juga penulis buku penting Sistem Politik Indonesia ini.
Ubedilah, mantan pentolan aktivis mahasiswa ’98 ini,melanjutkan, “Kalau kita analisis siapa yang paling diuntungkan dengan melemahnya oposisi seperti Partai Demokrat, lalu kita hubungkan dengan pencapresan 2024, kita bisa melihat benang merahnya” .
Terus disebutnya Moeldoko dalam isu KLB ilegal juga menimbulkan pertanyaan. Teguran Presiden Jokowi pada Kepala KSP Moeldoko agar tidak turut campur dalam urusan internal, terkesan diabaikan.
“Sebagai orang dekat Presiden, pak Moeldoko harusnya patuh, tunduk dan taat pada Bapak Presiden. Jika memang tidak terlibat, harusnya pak Moeldoko keberatan namanya terus dibawa-bawa dalam kisruh KLB ilegal ini,” kata Ubedillah mempertanyakan.
Analisa serupa dikemukakan Syarwi Pangi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Research Center and Consulting. “Analisa siapa yang paling diuntungkan dari sebuah rekayasa politik bisa membantu kita memetakan aktor sebenarnya yang terlibat, yang sering kali luput dari pengamatan yang bersifat permukaan,” papar Pangi yang akrab dipanggil Ipang ini.
“Dalam kasus KLB ilegal ini, tidak ada yang diuntungkan oleh melemahnya oposisi seperti Partai Demokrat kecuali rezim yang berkuasa, apalagi jika bercampur dengan kepentingan pribadi tokoh non partai untuk mencari kendaraan politik pada tahun 2024,” imbuhnya.
Keduanya khawatir jika ini dibiarkan, kualitas demokrasi Indonesia yang sudah menurun akan makin memburuk. “Pola politik elit yang membelah partai oposisi ini sesungguhnya adalah bencana besar demokrasi, karena politik menjadi tidak sehat yang akan berdampak pada tidak sehatnya demokrasi” pungkas Ubedilah, mengutip Inilah.com.
Rumah Pribadi Nurdin Digeledah KPK, Uang 1,4 Milyar Ditemukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyita uang Rp1,4 miliar saat menggeledah rumah pribadi Gubernur nonaktif Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah.
Namun NA berkelit, ia menyebut uang itu sebagai dana bantuan pembangunan masjid.
Nurdin Abdullah, yang telah ditetapkan tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di Sulsel, Tahun Anggaran 2020-2021 membantah uang milyaran rupiah yang disita KPK merupakan miliknya.
“Itu kan uang masjid ya, uang masjid. Itu bantuan masjid, nanti lah kami jelaskan,” kata Nurdin di Gedung KPK, Jumat (5/3).
Dia juga menegaskan kedatangannya di Gedung KPK bukan dalam rangka pemeriksaan. Dia mengatakan jika penyidik belum memberikan pertanyaan terkait kasusnya. Ia mengaku hanya mendatangani penyitaan yang dilakukan tim penyidik KPK.
“Pemeriksaannya nanti hari Senin (besok, red). Tadi hanya menandatangani seluruh Berita Acara penyitaan,” katanya.
Terkait tuduhan telah melakukan suap dan gratisfikasi, dengan tegas dia membantah terlibat dalam kasus tersebut. Namun, meski demikian politisi PDI Perjuangan ini tetap menghargai proses hukum yang tengah dilakukan lembaga antirasuah.
“Tidak ada yang benar itu. Pokoknya tunggu saja nanti di pengadilan ya kami hargai proses hukum,” katanya.
Sementara Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyebut Nurdin Abdullah diperiksa dengan dua tersangka lainnya, yaitu Edy Rahmat (ER) selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel atau orang kepercayaan Nurdin dan Agung Sucipto (AS) selaku kontraktor/Direktur PT Agung Perdana Bulukumba (APB).
Nurdin diduga menerima total Rp5,4 miliar dengan rincian pada 26 Februari 2021 menerima Rp2 miliar yang diserahkan melalui Edy dari Agung.
Selain itu, Nurdin juga diduga menerima uang dari kontraktor lain di antaranya pada akhir 2020 Nurdin menerima uang sebesar Rp200 juta, pertengahan Februari 2021 Nurdin melalui ajudan-nya bernama Samsul Bahri menerima uang Rp1 miliar, dan awal Februari 2021 Nurdin melalui Samsul Bahri menerima uang Rp2,2 miliar.
Dalam penyidikan kasus tersebut, KPK kemudian menggeledah empat lokasi di Sulsel pada Senin (1/3) sampai Selasa (2/3).
Empat lokasi tersebut, yaitu Rujab Gubernur Sulsel jalan Jenderal Sudirman, rumah dinas Sekdis PUTR Provinsi Sulsel di Jalan Hertasning, Kantor Dinas PUTR di Jalan APP Pettarani, dan rumah pribadi tersangka NA di Jalan Masjid Ikhtiar Perumahan Dosen Unhas, Tamalanrea Makassar.
Hasil penggeledahan penyidik menemukan uang dengan total sekitar Rp3,5 miliar. Dengan rincian Rp1,4 miliar, USD10 ribu, dan SGD190 ribu.
“Terhadap uang tunai yang diamankan penyidik akan melakukan verifikasi dan analisa keterkaitan dengan perkara ini,” ujar Ali.
Ali menambahkan selain sejumlah uang, penyidik juga mengamankan dokumen terkait kasus dugaan korupsi proyek infrastruktur di Sulsel.
Diketahui, Nurdin dan Edy telah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara Agung menjadi tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Taufan Pawe Mulai Dielus-elus Jadi Calon Gubernur di 2024
Nama Taufan Pawe (TP) mulai dielus-elus sebagai calon gubernur Sulsel 2024.
Dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar, Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto secara spontan memanggil Taufan Pawe dengan sebutan “Gubernur”, Jumat, 5 Maret di Kantor DPP Jalan Anggrek Neli Murni, Kemanggisan, Kec. Palmerah, Jakarta Barat.
Momentum itu terlihat saat Ketua DPD I Partai Golkar Sulsel Taufan Pawe (TP) mendapat giliran menyampaikan pemandangan umum di forum tahunan itu.
Airlangga menyilakan Walikota Parepare dua periode tersebut dengan sebutan Pak Gubernur Taufan Pawe. “Silakan Pak Gubernur Taufan Pawe,” kata Airlangga di depan para elite DPP, wakil- wakil ketua umum DPP Golkar, dan ketua DPD I Partai Golkar se Indonesia itu. Sontak ucapan sang ketua umum disambut riuh para peserta.
Sejumlah Ketua DPD I pun langsung menengok ke arah Taufan Pawe.
Dalam acara Rakernas yang dilanjutkan dengan Rapimnas ini, semua ketua DPD I seluruh Indonesia, termasuk organisasi sayap, dan pendiri mendorong Airlangga Hartarto maju sebagai calon presiden 2024.
Sebelum Airlangga menyebut TP sebagai gubernur Sulsel, sejumlah kepala daerah yang juga Ketua DPD II Partai Golkar di Sulsel telah mendorong agar TP segera ditetapkan sebagai Cagub Golkar. Selain sebagai Ketua Golkar Sulsel, TP juga dianggap mumpuni karena memiliki pengalaman sebagai walikota Parepare dua periode.
Dukungan serupa, telah disampaikan secara terbuka oleh Bupati Jeneponto Iksan Iskandar, Bupati Selayar Basli Ali, Bupati Toraja Utara Yohannis Bassang, Wakil Walikota Palopo Rahmat Masri Bandaso serta Fraksi Golkar di DPRD Kota Palopo yang secara tegas menyatakan jika TP layak maju di Pilgub Sulsel 2024 mendatang, apalagi gubernur nonaktif NA, kini berproses hukum di KPK, atas dugaan kasus korupsi yang melilitnya.
(*)