Kebun Si Pintar, Memindahkan KKN dari Perguruan Tinggi ke Sekolah Dasar

59
ADVERTISEMENT

Luwu Utara–Kuliah Kerja Nyata (KKN) identik dengan mahasiswa, yaitu bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat melalui pendekatan keilmuan yang diterima mahasiswa selama kuliah di sebuah Perguruan Tinggi.

Nah, apa jadinya jika praktek-praktek KKN juga dilakoni oleh para siswa Sekolah Dasar. Jangan salah, saat ini, muatan kurikulum tak hanya didominasi oleh kurikulum berbasis muatan nasional, tetapi juga kurikulum berbasis muatan lokal, salah satunya adalah perkebunan atau pertanian.

ADVERTISEMENT

Hal ini pula yang mengilhami Suharto, Kepala Bidang Pembinaan Guru Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Luwu Utara, untuk melahirkan sebuah inovasi yang memadukan antara ilmu bercocok tanam dan praktek kepedulian terhadap sesama.

Lahirlah inovasi “Kebun Si Pintar” atau “Siswa Peduli Lingkungan Sekitar”. Inovasi ini bersaing dengan 41 inovasi lainnya di Sulsel untuk masuk ke dalam jajaran elit TOP 30 inovasi terbaik KIPP 2021.

ADVERTISEMENT

Inovasi ini telah melalui serangkaian tahapan penilaian.

Terakhir, Tim Verifikasi Lapangan (Verlap) KIPP Sulsel sudah meninjau Kebun Si Pintar di SD 102 Lindu Masamba. Kesan pertama begitu menggoda, Tim Verlap KIPP Sulsel melihat kesesuain antara presentasi dan implementasi dari inovasi ini.

Tentu tidak sedikit yang ingin tahu, apa sih keunikan dan kebaruan dari inovasi yang mulai diterapkan pada 2018 ini?

Oleh inovatornya, Suharto, inovasi ini berangkat dari semangat, bagaimana membangun karakter anak SD untuk selalu peduli terhadap sesamanya, utamanya orang-orang yang kurang mampu.

“Konsep dari inovasi Kebun Si Pintar adalah bagaimana membangun kepedulian anak-anak terhadap sesama.”

Awalnya anak-anak kelas 4 sampai kelas 6 mengimplementasikan kurikulum berbasis muatan lokal dengan bercocok tanam di lahan pekarangan sekolah dengan menanam berbagai jenis sayuran. Saat panen, anak-anak ini bersama gurunya menikmati hasilnya,” kata Suharto yang juga inovator Rompi KPK ini.

Ia kemudian berpikir, bagaimana hasil panen sayur dinikmati juga oleh warga kurang mampu yang ada di sekitar sekolah.

Lantas timbul di benak dia untuk merubah pola implementasi kurikulum muatan lokal tersebut dengan memindahkan kebun sekolah ke rumah-rumah warga kurang mampu. “Di sisi lain ternyata di sekitar lingkungan sekolah ada warga kurang mampu terhimpit beban ekonomi, terlebih di masa pandemi COVID-19 yang tentu saja semakin menyulitkan ekonomi mereka,” ungkap pria yang akrab disapa Atto ini.

“Nah, warga kurang mampu yang ada di sekitar lingkungan sekolah ini kemudian kita jadikan sebagai objek pembelajaran buat peserta didik agar materi peduli lingkungan sosial yang juga masuk kurikulum berbasis muatan lokal di sekolah serta kebun yang ada di lingkungan sekolah itu kita alihkan ke pekarangan rumah warga kurang mampu yang tentunya lebih membutuhkan untuk mendongkrak ekonomi mereka di tengah pandemi,” ujar dia menambahkan.

Disebutkan Atto, kebun sekolah di rumah warga hanya objek pembelajaran. Intinya, kata dia, bagaimana menanamkan pendidikan karakter kepada anak-anak untuk peduli terhadap sesama

Lebih jauh ia mengatakan, materi peduli lingkungan sosial yang diajarkan guru sekolah baru sebatas teori di dalam kelas. Belum ada implementasi nyata seperti apa bentuk kepedulian tersebut di lingkungan mereka.

“Nah, kenapa ini harus dipraktekkan secara langsung, karena kita ingin membekali anak-anak kepedulian nyata di lapangan. Anak-anak tidak boleh diajar mengkhayal, tapi harus diajar secara nyata, bentuk peduli itu seperti apa,” imbuhnya.

Sementara itu, Tim Verlap KIPP Sulsel, Dermayana Arsal, menyebut inovasi Kebun Si Pintar seperti memindahkan praktek KKN dari Perguruan Tinggi ke Sekolah Dasar.

Ada transfer ilmu di dalamnnya. Anak SD bercocok tanam, hasilnya bukan lagi untuk guru, tetapi untuk warga kurang mampu. Tentu pelaku KKN bukan mahasiswa, melainkan anak-anak SD.

“Ini seperti KKN, cuma tingkatnya di tingkat SD, bukan perguruan tinggi, seperti KKN cilik kalau kita mau sebut begitu,” kata Dermayana.

Ia pun menyarankan agar inovasi ini melibatkan stakeholder terkait lainnya, seperti Dinas Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian, biar tujuan dan sasarannya dapat terwujud dengan baik.

“Libatkan Dinas Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian. Saya optimistis, inovasi ini bisa masuk TOP 30, asal dipertajam saja bahwa inovasi ini untuk pendidikan karakter anak dan bagian dari muatan lokal kurikulum kita. Penerima manfaatnya kan jelas, anak sekolah. Kalau warga kurang mampu yang nikmati hasilnya, itu dampak dari inovasi ini,” jelas dia.

(LH)

ADVERTISEMENT