PALOPO–Zulham Hafid, PNS Pemkot Palopo yang pernah menulis soal bungker peninggalan Jepang masa perang II di poros Palopo-Toraja Utara (Torut), menyebut jika bangunan yang berada di pinggir-pinggir tebing tersebut, ditengarai ada 7 bangunan, bukanlah bungker.
Menurut Zulham, setelah mengikuti tim arkeologi tahun 2017, dia baru mengetahui jika bangunan tua yang sempat dianggapnya bungker tersebut, ternyata hanyalah pilbox.
“Semacam tempat jaga atau tempat memantau. Istilah arkeologinya, pilbox,” kata Zulham, Senin (9/12/2019).
Pillbox adalah peninggalan penjajah Jepang yang berfungsi sebagai tempat perlindungan/pertahanan. Pilbox yang juga dibangun dari beton tersebut berbeda dengan bungker. Pilbox tidak dibangun dibawah tanah.
Sebaliknya, bungker biasanya dibangun di bawah tanah. Bungker ukurannya lebih besar dari pilbox dan dibangun untuk mengantisipasi kemungkinan perang nuklir.
Meski bukan bungker, Zulham berpendapat, keberadaan pilbox tersebut bisa dikelola pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pariwisata Kota Palopo.
“Keberadaan pilbox ini menjadi bukti otentik bahwa Kota Palopo secara umum pernah dijadikan sebagai pusat pertahanan tentara Jepang. Ini bisa jadi cagar budaya,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, empat bungker peninggalan Jepang di sepanjang jalan Trans Sulawesi poros Palopo-Toraja Utara, bukan baru ditemukan saat ini. Sejak tahun 2009, keberadaan bungker tersebut sudah diketahui masyarakat setempat dan telah dilaporkan ke Pemkot Palopo. Namun, kurangnya perhatian berbagai pihak sehingga keberadaan bungker tersebut hilang bagai ditelan bumi.
Belakangan ini, keberadaan bungker tersebut kembali muncul ke publik. Bahkan, Komandan Kodim (Dandim) 1403 Sawerigading, Letkol Inf Gunawan bersama anggotanya turun langsung membersihkan dan menyurvei empat bungker tersebut, Minggu (8/12/2019) lalu.
Melalui situs https://dekkerpalopo.wordpress.com, sebuah artikel berjudul “Puncak, Pesona di Barat Palopo” telah mengulas soal bungker-bungker peninggalan Jepang pada perang dunia kedua tersebut.
Artikel tersebut ditulis Zulham, 14 April 2019. Dalam artikel tersebut, Zulham yang tidak lain PNS di Pemkot Palopo menuliskan, bahwa di Puncak, kita masih dapat mendapati bunker-bunker peninggalan Jepang pada Perang Dunia Kedua. Untuk mencapai bunker-bunker tersebut, amatlah sangat mudah aksesibilitasnya, pasalnya situs tersebut berada di bukit-bukit di pinggir jalan poros Palopo-Toraja.
Sayangnya, karena perhatian kita masih sangat minim terhadap pariwisata dan utamanya sejarah, maka bunker-bunker tersebut akhirnya ditumbuhi oleh rumput-rumput liar. Tak kurang dari 5 bunker, dapat kita temui jika kita melintas di poros Palopo-Toraja itu.
Masih ditulis Zulham dalam artikelnya, bahwa sejak tahun 1992, Pemerintah telah menjadikan kawasan itu sebagai Taman Wisata Alam (TWA) Nanggal III. Kawasan TWA ini meliputi daerah To’Loko di Kilometer 36 dari Palopo, hingga ke daerah Bambalu di Kilometer 18. Hanya saja, kegiatan promosi TWA ini agaknya masih belum begitu agresif, jadinya banyak orang yang tidak tahu bahwa sebenarnya di Palopo ada Taman Wisata Alam.
Dandim 1403 Sawerigading, Letkol Inf Gunawan, usai menyurvei bungker tersebut, mengatakan, jenis bungker tersebut penggunaannya bervariasi menurut kegunaannya. Di antaranya, bungker dibangun untuk tempat pemantauan, peninjauan, termasuk tempat persembunyian. (tari)