Corona membuat lumpuh segala. Dunia pendakian gunung juga kena imbasnya. Hampir di seluruh wilayah Indonesia jalur ke puncak-puncak gunung ditutup. Gunung rehat. Sendiri tanpa hiruk-pikuk tapak-tapak kaki pendaki. Tiang triangulasi seolah beku. Bosan menunggu.
Mata penduduk Dusun Karangan, Enrekang, menelisik dalam ketika kami tiba di mulut kampung. Mereka terheran-heran melihat keberadaan kami yang muncul tiba-tiba. Tiada jejak datang, malah hadir langsung menebar senyum panjang.
CATATAN: Muhammad Nursaleh
Ya, kami hanya bisa tersenyum, mengatupkan tangan sambil memperkenalkan diri sebagai pasangan suami istri, yang baru saja menyelesaikan pendakian Rante Mario melalui jalur timur, Tolajuk, Luwu.
Dusun Karangan sebagai kampung terakhir sebelum mendaki ke Rante Mario via Enrekang benar-benar sepi di masa pandemi. Karangan tutup total. Belum normal. Tak ada lalu-lalang pendaki naik dan turun, bale-bale bambu sepi dari dentingan gelas pendaki yang beradu berebut tadahan kopi. Bocah Karangan mematung, menatap beku tak lagi menawarkan buah Kalpataru. Warung kelontong kosong melompong.
Kami memilih rehat di salah satu warung berdekatan masjid. Tidak butuh waktu lama berbasa-basi sebab kami telah saling mengenali. Kukisahkan tentang perjalanan beberapa hari belakangan ini, tentang jalur Rante Mario khususnya pos 2 yang telah tertutup rimbun tanaman perdu. Termasuk niat kami untuk segera pulang ke kota hari ini.
Giliran pemilik warung bercerita. Ia mengatakan belum ada sama sekali tanda-tanda akses ke Rante Mario bakal dibuka. Terhitung sejak Corona merajalela, 4 bulan sudah Karangan ditutup. Itu sangat berpengaruh pada yang tingkat pendapatan keluarganya yang dominan bergantung dari hasil warung sederhana dan ojek. Suaminya sudah beberapa bulan terpaksa berhenti sebagai pengojek bagi para pendaki yang tak memakai kendaraan pribadi. Sementara dua anaknya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Vakum dari pekerjaannya sebagai tenaga porter, khususnya bagi pendaki- pendaki luar Sulawesi.
Sejak pandemi, warga Karangan benar-benar menutup diri. Mereka paham imbauan meskipun hidup di pedalaman. Itu jelas terlihat ketika pemilik warung mengenakan masker dan menjaga jarak dengan kami berdua.
Waktu zuhur tiba. Kami pamit sejenak, mendatangi masjid dengan hanya satu pintu yang terbuka. Lantai marmer tampak bersih tanpa jejak-jejak kaki pendaki yang melintasi selasar masjid menuju kamar mandi. Di dalam masjid kami salin pakaian, berjamaah lalu menutupnya dengan mengucap hamdalah.
Jelang sore, kami meninggalkan Karangan. Karangan yang telah sejak lama sepi akibat pandemi. Karangan yang banyak menyimpan genangan kenangan. Di hatiku, di hatimu. Di hati kami.