Oleh: Arifin Zainuddin Laila *)
21 April hari Kartini. Mengapa harus Kartini?
Kalimat pertanyaan. Yang kemudian menjadi judul artikel dari Sejarawan Tiar Anwar Bahtiar yang diterbitkan (INSISTS -Republika) edisi 9 April 2009 lalu.
Tentu kalimat diatas menjadi pertanyaan sekaligus kritik atas penobatan Kartini sebagai pahlawan atau pendekar perempuan Indonesia.
Sebelumnya. Pada tahun 1970-an disaat kuat kuatnya pemerintah orde baru, guru besar UI Prof Harsja pernah menggugat masalah ini.
Beliau banyak mengkritik pengkultusan RA Kartini sebagai simbol kemajuan wanita indonesia.
Kartini seketika mengambil alih lambang emansipasi wanita di Indonesia.
Dari beberapa jejak literasi sejarah, nama Kartini pertama kali muncul, yang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia.
Melalui kumpulan surat-suratnya yang berjudul habis gelap terbitlah terang, diterbitkan oleh abendanon yg menjabat sebagai menteri pendidikan agama dan kerajinan pada masa itu
Hal ini perlahan menggeser nama-nama seperti Dewi Sartika di Bandung 1884-1947 yang menggagas sakola keutamaan istri.
Rohana Kudus di adang 1884-1972 melakukan hal yang sama mendirikan kerajinan amal setia, bahkan menjadi jurnalis wanita pertama di negeri ini
Bahkan jika melirik kisah Cut nyak dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia dan Cupto Fatimah dari Aceh, klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan.
Mereka adalah wanita hebat yang turut berjuang mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.
Bahkan jauh sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum belanda datang ke indonesia kerajaan aceh sudah memiliki panglima angkatan laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi soal pertanyaan mengapa harus Kartini? Terus membayang-bayangi saya tiap tahunnya.
Mengapa abendanon memilih Kartini…? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mau mengikuti kebijakan itu?
Jika hanya soal memperjuangkan pendidikan bagi perempuan pribumi, Rohana Kudus pun demikian, memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Wanita sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti, dan kesemuanya itu akan terpenuhi jika mempunyai ilmu pengetahuan,” ucap Rohana Kudus.
Harsja W. Bachtiar salah satu alumni Doktoral Harvard university dalam artikelnya yang berjudul “Kartini dan peranan wanita dalam masyarakat kita” juga bernada gugatan terhadap penokohan Kartini.
Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansiapasi wanita indonesia dari org Belanda. Kita tidak pernah mencipta sendiri lambang budaya ini.
Dalam tulisan ini penulis tidak menafikkan kiprah perjuangan Kartini, akan tetapi jika berbicara tentang perjuangan dan pendidikan kaum perempuan-perempuan di Indonesia.
Selain Kartini ada banyak yang jauh lebih hebat dari Kartini, selain yang nama-nama yang penulis sebutkan di atas, juga ada nama Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan dari Aceh sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan.
Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Di masa pemerintahannya ilmu dan kesustraannya berkembang pesat.
Dan juga Ada nama Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya di kenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan.
B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908. Wanita ini bahkan mendirikan sekolah pertama di Tanete, tempat pendidikan modern pertama di Tanete.
Bangsa ini memiliki banyak tokoh pejuang perempuan, yang begitu hebat, lalu mengapa harus Kartini saja yang disematkan sebagai pandekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. (iys)
*) Penulis adalah Mahasiswa Pasca Adm. Publik Universitas Nasional Jakarta