oleh : Ipda Nurdin
Beberapa hari yang lalu seorang Mahasiswa Via WhatsApp (WA) bertanya kepada saya “Benarkah pidana mati itu melanggar HAM ?” Pertanyaan ini sering muncul seiring dengan peringatan hari HAM yang jatuh pada setiap tanggal 10 Nopember.
Di Negara kita terkait dengan pidana mati diatur dalam pasal 10 KUHP. Selain itu, diatur pula dalam Undang-undang tentang peradilan HAM, pemberantasan narkoba, & Undang-undang terorisme.
Di dalam undang-undang HAM pada pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Jika dianalisa makna pasal di atas, maka besar kemungkinan kita akan sependapat dan memang kita akan sependapat, bahwa hak asasi itu adalah anugerah Allah SWT, dan bukan pemberian Manusia, organisasi, institusi atau negara.
Oleh karena hak asasi pemberian Allah SWT, sehingga di dalam surat al-maa’idah ayat 33 tegas Allah SWT berkata “Adapun hukuman bagi orang yang memerangi Allah dan utusan-Nya serta berbuat kerusakan di muka bumi, mereka harus dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan mereka atau kaki mereka berselang seling, atau dipenjara. Inilah kehinaan bagi mereka di dunia dan diakhirat kelak, mereka akan diganjar dengan siksaan yang dahsyat”
Kalau kita menarik kesimpulan dari ayat di atas, maka dikategorikan kejahatan yang melakukan kerusakan di muka bumi antara lain pembunuhan berencana yang sadis, yang dapat dijatuhi hukuman mulai dari paling ringan yaitu penjara hingga hukuman mati.
Nah, benarkah pidana mati melanggar HAM bagi si terpidana mati ? Baik, sekarang kita balik pertanyaan itu. Apakah kejahatan pembunuhan berencana yang sadis, yang sampai memutilasi korbannya, bukan merupakan kejahatan paling kejam, paling tidak manusiawi dan merupakan pelanggaran HAM bagi korbannya ?
Jika jawabannya “Ya” dan memang “Ya”, maka sesungguhnya yang paling melanggar HAM adalah pelaku kejahatan sadis itu, bukan pengadilan yang menjatuhkan vonis mati bagi pelaku tersebut.
Kita tidak boleh memaknai pasal 28A dan pasal 38I UUD 1945 secara absolut, secara tanpa batas sebab jika itu terjadi, maka tidak ada lagi Dokter boleh beralasan bahwa demi menyelamatkan Ibu-Nya, anak-Nya tidak dapat kami tolong. Oleh karena, ini juga merupakan bentuk pelanggaran HAM jika kita maknai HAM itu secara absolut.
Terakhir, pandangan saya, bahwa pidana mati masih sangat dibutuhkan sebab ada saja hukuman mati, orang masih melakukan kejahatan yang sadis. Namun yang mungkin perlu diubah adalah cara menghukum mati seseorang. Misalnya dari ditembak, diubah menjadi disuntik mati. (***)