OPINI : Restoratif Justice

199
Nurdin, Dosen IAIN Palopo (Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT

Restoratif Justice
Oleh : Nurdin

Pada tahun 2021, ramai dibicarakan konsep hukum Restoratif Justice (RJ) atau pemulihan keadilan, pemulihan keadaan, yang berdasarkan literatur istilah tersebut pertama kali muncul di negara Kanada dan Amerika utara kemudian menyebar ke Australia, Selandia baru lalu ke wilayah lainnya termasuk Indonesia.

ADVERTISEMENT

Munculnya konsep hukum RJ berawal dari gerakan sosial yang mereaksi praktik peradilan dan pemenjaraan yang dianggap tidak adil, hal ini dilengkapi dengan penelitian dan analisis yang kritis.

Sebenarnya, jauh sebelum bangsa lain mengenal RJ. Indonesia sudah punya dasar dalam penerapannya, hal ini tercermin pada ideologi negara Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum khususnya pada sila ke 4.

ADVERTISEMENT

Akan tetapi pelaksanaan sila ke 4 dalam konteks penegakan hukum belum berjalan optimal sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena, cara pandang berhukum bangsa Indonesia didominasi oleh paradigma hukum bangsa Belanda. Maklum, kita pernah dijajah oleh mereka.

Makna penting dari sila ke 4 Pancasila, bahwa permasalahan yang ada termasuk dalam konteks penegakan hukum sedapat mungkin diselesaikan dengan cara bermusyawarah atau berdiskusi, untuk mencapai keadilan.

RJ hadir untuk mengubah cara pandang berhukum konvensional (cara pandang Belanda) yang dulunya mengedepankan pemenjaraan ke paradigma hukum baru yang tidak hanya setiap permasalahan berujung pada pemenjaraan melainkan diubah menjadi proses dialog dan mediasi.

Misalnya, penganiayaan atau penghinaan ringan, penipuan yang kerugiannya tidak seberapa. Kasus-kasus seperti ini, tidak harus berujung pada pemenjaraan. Jika kedua belah pihak bermusyawarah lalu bersepakat untuk berdamai, disinilah kehadiran konsep hukum RJ.

Namun tidak dipungkiri, bahwa masih ada sebagian praktisi ataupun penegak hukum memiliki cara pandang “law in book” apa yang tertulis dalam buku (UU) harus ditegakkan. Padahal tujuan dari penegakan hukum bukanlah menerapkan hukum (UU) tapi bagaimana kemudian tercapai ketertiban dan tatanan masyarakat yang harmonis.

Dari kasus yang dicontohkan di atas, pertanyaannya, apabila keduanya sepakat berdamai dan mereka sudah saling memaafkan satu sama lain, lalu keadilan mana lagi yang tidak tercapai ? Bukankah tujuan hukum itu mencapai rasa keadilan ?.

Namun demikian, RJ perlu dibuat dalam sebuah produk peraturan (UU) sebagai pedoman pelaksanaan penegakan hukum agar tidak memiliki celah hukum sebab di Indonesia, baru sebatas Undang-undang anak yang tegas mengatur tentang RJ.

Sehingga kedepan, seiring dengan adanya Restoratif Justice (RJ) diharapkan paradigma hukum kita pun berubah dari zaman Belanda ke paradigma hukum asli Indonesia yang senantiasa mengedepankan musyawarah mufakat untuk mencapai keadilan bagi semua pihak. (*)

ADVERTISEMENT