KONSEP Politik dilengkapi dan didasarkan di atas manhaj ilmu yang shahih di atas dua landasan Pertama, Fikih politik harus merujuk pada Ushul dan dengan mengambil hukum-hukum dari sumbernya yang jernih, di samping ia juga harus memanfaatkan khazanah warisan Fikih Islam dengan berbagai aliran dan mazhab yang ada berikut yang berada di luar mazhab dan aliran; fikih para sahabat dan tabiin yang merupakan guru-guru bagi semua imam mazhab atau guru-guru dari para guru mereka Kedua, Fikih Politik harus selalu relevan dengan kondisi, sehingga ia benar-benar berfungsi untuk mengobati segala “penyakit” yang muncul di zaman modern dengan “obat” yang diambil dari “apotik” syariat. Sudah pasti bahwa syariat tidak mungkin mengabaikan kenyataan. Seperti yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim “sebagai perangkat yang menyandingkan antara kewajiban dengan kenyataan”.
Kita ingat dari para ulama kita yang menyatakan bahwa fatwa selalu berubah mengikuti perubahan zaman, tempat dan kondisi. Kita tentu tidak ingin menyelewengkan Islam agar dapat sesuai dengan kenyataan zaman modern, dan tidaklah mungkin hal seperti itu dinyatakan oleh seorang muslim yang telah berikrar bahwa dirinya rela Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai Agamanhya, Al-qur’an sebagai imannya, dan Muhammad sebagai Rasul. Kita tentu ingin memahami nash-nash yang bersifat parsial dalam kerangka tujuan yang bersifat global, serta ingin membedakan antara hukum-hukum yang bersifat kekal (ahkam’ da’imah) dengan hukum-hukum yang bersifat temporal (ahkam’ waqtiyyah), dan antara apa yang disabdakan atau dilakukan oleh Rasulullah sebagai imam berupa tindakan politis syar’i yang sesuai zaman, lingkungan, serta kondisi kaum beliau, dengan apa yang beliau sabdakan atau beliau (Rasullah) lakukan untuk menjadi sayriat yang bersifat umum dan kekal bagi segenap umat hingga hari Kiamat. Tentu saja hal ini memerlukan kehati-hatian yang sangat dan pandangan yang lurus.
Hal dengan apa yang disabdakan atau dilakukan oleh para sahabat khususnya para Khulafaur Rasyidin. Kita semua harus memahaminya dengan cara seperti ini; yaitu terus menjaga kesadaran mengenai kondisi dan situasi ketika pernyataan dan tindakan itu muncul. Alasan adalah agar jangan sampai tercampur antara hukum-hukum yang bersifat tetap, dengan dinamika politik yang senantiasa berubah. Jenis fikih yang lurus dan berpandangan jernih inilah yang menjadikan syariat kita selalu mampu memenuhi segala kebutuhan masyarakat kita di zaman modern, sekaligus menjawab berbagai pertanyaan yang mencerminkan kebingunan dalam diri banyak orang. Selain itu ia juaga menjadi solusi faktual atas segala kesulitan yang membutuhkan fikih yang seimbang, yang tidak berlebihan terpaku pada Ushul (pokok) tetapi juga mengabaikan dalil akal yang nyata sekaligus tidak melupakan dalil naqli yang shahih. Pengertian “Politik” yang sedang di bicarakan ini adalah “Politik Syar’i” yang telah disebut-sebut oleh para ulama kita baik dahulu maupun sekarang, yang mereka telah banyak menulis risalah tentang hal itu.
Satu hal sangat jelas yang hampir tidak perlu dijelaskan lagi adalah bahwa Politik syar’i adalah bentuk politik yang didirikan di atas kaidah-kaidah syariat segala hukum dan arahannya. Tentu saja tidak setiap bentuk politik bersifat syar’i. Bahkan sebagian besar bentuk politik justru bertentangan dengan syariat, sebagaimana sebagian besar bentuk politik tidak pernah menghiraukan syariat, baik ketika ia sedang rela maupun sedang benci, baik ketika ia menerima maupun ketika ia menolak. Berbagai bentuk politik selalu bergerak di jalannya dengan mengikuti dinamika dan keinginan orang-orang yang melakukannya.
Di antara mereka ada yang mengambil hukum dari filsafat dan ideologi tertentu untuk dijadikan sebagai sandaran utama. Seperti yang dilakukan oleh kaum sekular modern; baik mereka itu kalangan kanan-liberal maupun kelompok kiri-marxis. Di antara mereka ada pula yang mengambil hukum dengan membebek pada apa yang mereka warisi dari orang-orang atau tokoh-tokoh leluhur mereka, tanpa mereka pernah mau bertanya apakah apa yang mereka pedoman itu sesuai dengan syariat atau bertentangan dengan syariat. Mereka ada pula golongan yang mengambil hukum dari hawa nafsu dan kepentingannya sendiri demi melanggengkan kekuasaan, tanpa pernah peduli kepada kemaslahatan umat ataupun kepada kecenderungan aspirasi, niali-nilai, dan keyakinan yang mereka miliki. Tentu saja, bentuk-bentuk politik yang diambil dan berangkat dari syariat dengan selalu merujuk kepadanya dan menggali sumber darinya.
Politik Syari’i selalu berusaha menerapkan syariat di muka bumi, semabri terus mengukuhkan segenap ajaran dan prinsip-prinsip syariat di tengah umat manusia, sebagai sasaran dan tujuannya. Selain itu Politik Syar’i juga selalu menjadikan syariat sebagai tujuan, manhaj, dan jalan yang ditempuhnya, sehingga tujuan dari Politik Syar’i adalah syariat itu sendiri, sebagaimana manhajnya juga adalah syariat itu sendiri. Inilah Politik yang kita inginkan: Politik yang syari’i titik berangkatnya, yang syar’i tujuannya, dan juga syar’i manhajnya. Sekarang kami ingin menjelaskan arti dari kata “Politik” itu sendiri, sebab sebagian orang menyangkal kata satu ini. Sampai-sampai mereka menolak menerima bahwa di dalam Islam ada sesuatu yang disebut “Politik”. Bahkan mereka mengecam siapapun yang menyatakan bahwa Islam adalah “agama dan politik”. Ada yang berkata, “Tidak ada agama dalam politik, dan tidak ada politik dalam agama.”
Pada tahap selanjutnya, muncullah anggapan bahwa politik merupakan istilah sekular yang digembar-gemborkan oleh para sponsor westernisasi dan orang-orang yang membebek ke barat. Padahal istilah “Islam Politik” yang dimaksud adalah Islam yang keluar dari asketisme, acara syukuran maulid, dan upacara selamatan. Islam yang dinyatakan sebagai akidah dan syariat, agama dan negara, kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan, serta mushaf dan pedang.
Tampaknya pendapat keliru itu disokong oleh dominasi aliran filsafat ini merupakan sebuah filsafat yang didirikan di atas sikap menjauhi moral, atau di antara prinsip “tujuan menghalalkan cara”, sehingga aliran filsafat ini menghalalkan penipuan, kebohongan, dan segala bentuk perbuatan tercela yang digunakan untuk mencapai tujuan. Aliran filsafat Machiavellianisme menggunakan minuman keras, wanita, dan berbagai hal lain untuk menghalalkan musuh-musuhnya. Aliran filsafat ini juga membolehkan pembunuhan, penyiksaan, dan penggunaan tangan besi terhadap musuh demi meraih kemenangan; atau menggunakan cara apapun juga yang diketahui sebagai perbuatan buruk seperti yang dipakai oleh kaum Nazi,fasis,komunis, dan sebagainya. Bahkan termasuk beberapa penguasa liberal juga menggunakan aliran filsafat yang busuk ini. Tapi tampak semua ini yang menyebabkan Syaikh Muhammad Abduh menyatakan berlepas diri dari politik dengan segala ketercelaannya serta semua yang berhubungan dengannya. Sampai dikatakan bahwa dia pernah berkata, “Saya berlindung kepada Allah dari politik dan dari sesiapa yang melakukan politik, subyek politik, dan obyek politik”.
Kata Politik Dalam Bahasa Arab, kata siyasah adalah bentuk masdar dari verba sasa’ yasusu, yang melahirkan kata fa’il sa’is. Kata ini tentu saja diyakini sebagai Bahasa Arab. Membaca pernyataan yang menyatakan bahwa kata ini adalah kata asing yang masuk kedalam Bahasa Arab.
Tampak cukup bagi kita untuk menukil satu paragraf dari kamus Lisan Al-‘Arab karya Ibnu Manzhur. Dari penjelasan di atas maka jelaslah bahwa kata “siyasah” memang benar-benar asli dari Bahasa Arab. Tidak ada keraguan ataupun perselisihan tentang itu. Sehingga yang dimaksud dari kalimat siyasah arra’iyyah adalah: Pelaksanaan pengayoman berbagai urusan rakyat demi kemaslahatan mereka. Tidak ada perbedaan pendapat antara kita bahwa yang dimaksud “syar’iyyah” (syar’i) adalah: Sesuatu yang diambil dari syariat sebagai titik tolak dan sumber. Sesuatu yang diambil dari syariat sebagai tujuan baginya dan sesuatu itu diambil sebagai manhaj baginya, sebagaimana yang telah dipaparkan.
Tidak dapat dipungkiri, kata “syariat” yang tertanam di dalam benak sebagian orang akan memunculkan kesan yang kurang baik, bahkan terkadang mengerikan. Syariat digambarkan sebagai bentuk sekumpulan pernyataan para ahli fikih dan berbagai mazhab yang diikuti secara tertulis di dalam kitab-kitab kuning. Bahkan syariat dianggap sebagai repsentasi dari zaman kemunduran peradaban Islam, ketertingalan kebudayaan Islam, kebekuan rasionalitas kaum muslimin; masa menghilangnya kreativitas kaum muslimin dalam bidang pemikiran, sastra, industri, dan seluruh aspek kehidupan; yaitu ketika kehidupan mereka dirundung stagnasi dan kerusakan, ketika kejumudan dan taklid menindih segalanya; sampai akhirnya muncul ungkapan yang menyatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk mengkreasikan sesuatu yang sudah ada, sehingga yang awal tidak meninggalkan apa-apa bagi yang belakangan.
Gambaran keliru terhadap syariat sebenarnya bukanlah gambaran dari syariat yang sesungguhnya yang kita mengenalnya, memercayainya, dan menyeru kepadanya. Syariat yang dibawa oleh Al-qur’an, dijelaskan oleh sunnah, dan dipahami oleh para sahabat dan semua orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan. Kata lain, syariat yang hakiki adalah syariat yang Allah tegakkan di atas kemudahan bukan kesukaran, di atas keringanan buka kesulitan, serta di atas usaha untuk menghilangkan kesempitan bukan untuk memelihara kesempitan. Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian”. (Al-Baqarah: 185 ). Allah berfirman, “Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” Aan-Nisa: 28 ) Allah berfirman, “Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur.” ( Al-maidah: 6). Allah berfirman, “Dia telah memiliki kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)).