OPINI: Tetap Waspada di HUT Bhayangkara

756
ADVERTISEMENT

OPINI–Tahun ini, tepatnya 1 Juli 2020, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) genap berusia 74 tahun. Berbagai penghargaan, termasuk pula kritik dan saran perbaikan, untuk kinerja Polri telah memompa institusi ini terus meningkatkan pelayanannya terhadap bangsa dan negara. Salah satunya dengan tak pernah lengah dalam memerangi terorisme yang telah menghantui bangsa ini sekian lama.

Sejumlah fakta terkait serangan teror di Indonesia menunjukkan bahwa anggota polri termasuk target serangan, salah satu sebabnya adalah karena polri dianggap sebagai Ansharut Thogut. Sejak Januari 2020 saja, kita mencatat 3 kasus penyerangan terhadap anggota Polri oleh kelompok teroris. Pertama, penembakan dan upaya perampasan senjata api oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso pada 15 April 2020, disusul dengan penyerangan menggunakan senjata tajam (samurai) terhadap petugas SPKT Mapolsek Daha Selatan, Kalimantan Selatan pada 1 Juni 2020.

ADVERTISEMENT

Fakta ini menegaskan bahwa terorisme masih menjadi ancaman serius yang harus segera ditanggulangi. Dan untuk melakukan ini, Polri tentu tak bisa sendiri, sinergi dengan institusi lain, termasuk pula dengan masyarakat, harus terus ditingkatkan. Kasus penyerangan terhadap anggota Polri harus dimaknai sebagai perlawanan terhadap negara sebab Polri adalah simbol negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Mengamankan HUT Bhayangkara

ADVERTISEMENT

Dalam “Targeting Blue: Why We Should Study Terrorist Attack on Police” yang terbit di International Police Executive Symposium Working Paper No.45, Jennifer C. Gibbs menjelaskan latar penargetan anggota polisi oleh kelompok teroris.

Menurutnya, ada empat alasan kenapa anggota polisi menjadi salah satu target utama teroris, yakni: (1) alasan simbolik; polisi adalah wakil atau bagian dari pemerintah, (2) alasan praksis, polisi memiliki banyak hal yang dibutuhkan oleh teroris (senjata api, informasi, dll) atau karena polisilah yang paling gencar melawan teroris, (3) alasan demonstartif, menyerang polisi adalah bagian dari upaya pamer kekuatan, sekaligus untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam melawan negara beserta aparaturnya, (4) karena polisi sangat mudah dijangkau; mereka ada di mana-mana.

Empat alasan di atas bisa jadi hanya terbatas pada polisi, namun bisa juga tidak, anggota institusi lain, termasuk masyarakat sipil, bisa pula menjadi target teroris. Hal ini menjadikan terorisme sebagai ancaman yang perlu terus diwaspadai. Terkait dengan pelaksanaan perayaan HUT Bhayangkara yang telah menjadi agenda rutin tahunan, potensi ancaman terorisme tetap ada, baik menjelang maupun selama perayaan berlangsung. Bukan tak mungkin, gelaran perayaan ini justru menjadi daya tarik bagi kelompok teroris untuk melangsungkan serangan, sebab di kondisi ini, kelompok teroris dapat memanen 4 alasan di atas sekaligus; simbolik, praksis, demonstratif dan aksesibel.

Itu sebabnya, sekali lagi, anggota Polri tak boleh lengah. Perayaan HUT Bhayangkara harus pula disertai dengan peningkatan koordinasi pengamanan, baik dengan personil yang ada di dalam markas maupun yang ada di lapangan. Sebabnya, serangan teror tak hanya bisa dilakukan oleh kelompok teror, tetapi juga oleh para Serigala Tunggal (lone wolf) dan orang-orang dari kelompok tanpa pimpinan (leaderless terror)

Meredam Dendam

Hal lain yang menempatkan anggota Polri sebagai target serangan teror adalah faktor dendam, terutama kepada anggota satuan Detasemen Khusus (Densus) 88 yang dianggap telah menyakiti pimpinan/amir kelompok mereka. Kebencian terhadap Densus 88 terus digodok dan disebarkan dalam berbagai bentuk propaganda.

Salah satunya melalui sebuah artikel berjudul, “Wahai Bidadari Surga, Kupinang Engkau dengan Kepala Densus” yang penuh sesak dengan ajakan untuk bersiap mati demi membalas dendam kepada Densus 88.

Meski begitu, tak mudah untuk melihat peta pergerakan anggota Densus, karenanya serangan balas dendam ini bisa dilakukan secara acak, yakni dengan menyerang anggota polisi tanpa peduli dari satuan mana mereka berasal. Padahal, jika polisi yang diserang bukan elemen terpenting atau terkuat di institusinya, maka serangan ini gagal dalam hal simbolik dan show of force.

Sejak 2010, target serangan teror memang mengalami pergeseran, yakni dengan tidak lagi mengutamakan serangan ke simbol-simbol yang dianggap berkaitan dengan “Barat” seperti hotel, pub, café, dll. Target utama serangan kelompok teroris bukan lagi far enemy atau musuh jauh, tetapi siapa saja yang dianggap menghalangi ilusi mereka, termasuk aparat polisi yang dikategorikan musuh dekat (near enemy).

Pergeseran sasaran ini didasari oleh menguatnya dorongan untuk melakukan jihad fardiyah, yakni jihad yang dilakukan secara mandiri. Para pelaku juga tak selalu memiliki kaitan dengan kelompok teroris tertentu; siapapun yang merasa memiliki ideologi yang sama dengan kelompok teroris memiliki potensi untuk menjadi pelaku teror. Orang-orang ini menganggap pemerintah sebagai thogut lantaran menolak ide-ide brutal mereka. Polisi, yang menjadi aparat keamanan negara, dituding sebagai ansharut taghut atau tentaranya thagut, yang karenanya harus diperangi.

Untuk menyikapi tantangan ini, aparat polisi wajib bertindak cermat, yakni dengan tidak hanya melumpuhkan pelaku penyerangan, tetapi juga mengurai ancaman ini secara cermat, termasuk dengan memadamkan dendam. Masyarakat, utamanya yang belum terpapar radikalisme dan terorisme, harus tahu bahwa pihak polisi bekerja sesuai aturan hukum yang berlaku, karenanya orang-orang yang ditangkap oleh polisi dalam kasus terorisme harus dilihat sebagai pelaku kejahatan, bukan orang-orang yang berjuang demi Tuhan.

HUT Bhayangkara yang ke-74 ini harus disongsong dengan kepala tegap agar terus bisa mengutamakan kesiapsiagaan. Terorisme harus dilawan hingga ke akar-akarnya, sebab keamanan dan ketertiban masyarakat adalah yang utama.(*/iys)

*) Penulis AKBP Dr. Didik Novi Rahmanto MH, adalah Kasatgaswil Gorontalo Densus 88/Antiteror Polri, tulisan dikutip dari liputan6.com.

ADVERTISEMENT