PPDI Luwu Gelar FGD: Wujudkan Partisipasi dan Pelibatan Disabilitas dalam Mitigasi-Adaptasi Bencana dan Perubahan Iklim

2
PPDI Luwu gelar FGD di Warkop Wija To Luwu.
ADVERTISEMENT

BELOPA — Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Luwu mengundang para pimpinan organisasi perangkat daerah se-Kabupaten Luwu untuk hadir dalam kegiatan, Fokus Group Discussion (FGD) dilaksanakan di Warkop Wija To Luwu, Jalan Poros Belopa-Palopo, Sabtu (5/10/2024). Pertemuan FGD tersebut guna diskusi kelompok terfokus mewujudkan partisipasi dan melibatan disabilitas dalam mitigasi dan adaptasi bencana dan perubahan iklim.

Ketua PPDI Luwu, Bahtiar mengatakan, secara umum maksud dari program ini adalah memperkuat kapasitas penyandang disabilitas atau organisasi penyandang disabilitas untuk mendorong kolaborasi aksi lokal. Baik organisasi penyandang disabilitas, pemerintah desa dan kabupaten, organisasi nirlaba/OMS. Pihak perguruan tinggi menghadapi bencana dan dampak perubahan iklim di tingkat lokal yang didukung pemberian informasi yang dapat diakses disabilitas mengenai bencana dan perubahan iklim.

ADVERTISEMENT

“Tujuan dilaksanakan FGD ini untuk memberikan pemahaman dan perspektif disabilitas. Mengidentifikasi masalah yang dihadapi dan apa yang bisa dilakukan para pihak dalam pelibatan. Partisipasi disabilitas, mengidentifikasi, implementasi kebijakan, atau regulasi lokal terkait disabilitas kebencanaan dan perubahan iklim,” tutur Bahtiar.

Dengan demikian, program tersebut bermaksud untuk memperkuat kapasitas penyandang disabilitas atau organisasi penyandang disabilitas serta mendorong kolaborasi aksi lokal bersama, baik organisasi penyandang disabilitas, pemerintah desa dan kabupaten, organisasi nirlaba atau OMS, serta pihak perguruan tinggi.

ADVERTISEMENT

Dijelaskan pula, bencana merupakan salah satu akibat dari dampak perubahan iklim, baik itu bencana alam maupun bencana non alam. Ancaman perubahan iklim saat ini menjadi perhatian dunia internasional karena menyangkut hain hidup jutaan orang termasuk penyandang disabilitas di seluruh dunia. Penyandang disabilitas sebagai angs masyarakat yang terpapar risiko lebih tinggi karena adanya hambatan fisik, sosial, ekonomi, dan inforr terhadap akses ke lokasi maupun informasi kebencanaan dan perubahan iklim.

Sering terjadi pada saat evakuasi darurat, penyandang disabilitas bukan hanya terbatas akses mencapai lokasi atau tempat pengungsian/ penampungan sementara, namun juga kondisi di tempat pengungsian yang tidak mendukung bagi mereka. Informasi kedaruratan yang belum aksesibel terhadap jenis disabilitas tertentu, seperti netra dan rungu wicara kerap menjadi korban bencana karena media informasi yang tersedia tidak dapat diakses.

Diharapkan dalam prinsip pengurangan risiko bencana dan dampak perubahan iklim memberi penekanan pada individu yang berisiko tinggi yang tidak mengabaikan penyandang disabilitas sebagai masyarakat yang terpapar risiko lebih tinggi daripada masyarakat pada umumnya. Penerimaan lingkungan sosial makin memperburuk situasi dan kondisi penyandang disabilitas saat terjadi bencana dan perubahan iklim, seperti stigma. Belum lagi perhatian yang kurang bagi disabilitas yang terdampak atau korban bencana dan perubahan iklim, dan diskriminasi yang belum melibatkan disabilitas dalam proses perencanaan, dan penanganan serta penanggulangan bencana dan dampak perubahan iklim yang mengakibatkan menjadi kelompok yang terpinggirkan, bahkan nyaris diabaikan.

Secara kasuistik kami menjumpai hal yang disebutkan di atas pada kejadian bencana banjir bandang dan tanah longsor yang secara bersamaan terjadi pada enam kabupaten (Luwu, Wajo, Sidrap, Pinrang, Enrekang dan Sinjai) di Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 03 Mei 2024 lalu, yang mana Kabupaten Luwu adalah kabupaten yang lebih luas ekskalasinya meliputi 13 kecamatan dilanda banjir bandang dan tanah longsor.

DPD PPDI Provinsi Sulawesi Selatan melakukan pemantauan di Posko Induk Tangggap Darurat Bencana di Lapangan Andi Djemma Kabupaten Luwu pada tanggal II Mei 2024 (seminggu pasca kejadian) kami tidak mendapati pencatatan data penyandang disabilitas yang terdampak atau korban di beberapa instansi mulai dari Pusat, OPD provinsi hingga kabupaten.

Misalnya Pusdalops BNPB Pusat, BPBD Provinsi Sulsel, sampai Pusdalop BPBD Luwu, semuanya mengakui tidak merekap data disabilitas. Rekap data yang diperoleh dari Posko Dinso Provinsi SUIsel yaitu: tanggal 5 Mei 2024:Bayi O disabilitas O, lansia 0, bumil 0, 6 Mei 2024: Bayi 4, disabilitas 0, lansia 7,bumil 0, 7 Mei 2024 : Tidak ada hasil rekap, 8 Mei 2024: Bayi O, disabilitas O, lansia 5, bumil 0,9 Mei 2024: Bayi 4, disabilitas O, lansia 7, bumil 0, 10 Mei 2024: Bayi I, disabilitas O, lansia I2, bumil 0.

Tentu kita semua sepakat tidak terjadi lagi pengabaian dan belum terimplementasi dari Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana/Perka BNPB Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Penanganan, Perlindungan dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana?

Lantas apa implikasi yang kemungkinan bisa terjadi? Dengan belum adanya pencatatan data disabilitas yang terdampak bencana atau bahkan korban maka jelas akan mempengaruhi penanganan dan pemenuhan kebutuhan khusus penyandang disabilitas yang terintegrasi dengan penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi serta pengurangan risiko bencana pasca kejadian.

Dari kejadian tersebut, sudah sepatutnya menjadikan pengalaman dan pembelajaran berharga bagi kita semua untuk kemudian merepleksikan dan memikirkan bersama betapa penting perspektif disabilitas dalam isu kebencanaan dan perubahan iklim, bukan sekedar regulasi -termasuk Perka BNPB Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Penanganan, Perlindungan dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana, yang sudah ada 10 tahun lalu namun belum bisa terimplementasikan dan massif hingga ke daerah.

lni berarti, regulasi saja tidak cukup tanpa adanya perspektif disabilitas untuk memastikan berjalannya kebijakan dan program mitigasi serta adaptasi bersifat inklusif dan berkeadilan terhadap penanganan bencana dan dampak perubahan iklim. (yonk) 

ADVERTISEMENT