MYANMAR–Sebuah video yang berasal dari rekaman kamera pengawas memperlihatkan kekejaman militer Myanmar. Dalam video tersebut, militer terlihat memberhentikan ambulans dan menembaki mobil tersebut.
Video yang diunggah Radio Free Asia ini juga memperlihatkan tiga petugas medis diminta keluar dari ambulans dan disiksa.
Di awal video terlihat tiga petugas medis itu disuruh berjongkok di samping ambulans. Kemudian petugas militer mulai menendang kepala mereka.
Seorang petugas medis yang sempat berdiri terlihat menerima tendangan bertubi-tubi. Tak lama kemudian, beberapa anggota militer datang dan beramai-ramai menyiksa ketiga petugas medis tersebut.
Tak hanya ditendang, ketiga petugas medis mendapatkan pukulan dengan pegangan senapan. Satu dari ketiga petugas medis yang mengenakan penutup kepala dipukul hingga helmnya terlepas.
The Guardian, Kamis, 4 Maret 2021 tidak mengungkapkan kapan insiden itu terjadi. Namun, pada Rabu kemarin, PBB menyatakan sebagai hari paling berdarah di Myanmar.
Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan di New York bahwa Rabu kemarin adalah “hari paling berdarah” sejak kudeta 1 Februari dengan 38 kematian. Dengan demikian, total korban tewas menjadi lebih dari 50 saat militer mencoba memperkuat kekuasaannya.
Sebuah kelompok hak asasi manusia dan beberapa media memberikan jumlah yang berbeda dari yang terluka dan terbunuh setelah kekerasan hari Rabu itu. Sebuah badan bantuan menyebut korban tewas termasuk empat anak.
Media lokal juga melaporkan ratusan pengunjuk rasa ditangkap.
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa bendera akan dikibarkan setengah tiang di kantornya untuk menghormati warga pro-demokrasi yang tewas.
Ribuan Orang Turun ke Jalan
Pasukan keamanan Myanmar menembakkan amunisi aktif, peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan protes anti-kudeta ketika para demonstran kembali turun ke jalan hari ini, Kamis (4/3/2021). Sejak kudeta militer awal Februari lalu, tercatat telah 38 pendemo tewas akibat aksi represif militer Myanmar.
Unjuk rasa di Yangon, Mandalay, Myingan dan kota-kota lain dilakukan saat ribuan pelayat menghadiri pemakaman seorang wanita berusia 19 tahun yang terbunuh setelah kepalanya tertembak dalam aksi demonstrasi kemarin, Rabu (3/3/2021).
Pengunjuk rasa mengatakan mereka menolak untuk menerima kudeta militer 1 Februari dan bertekad untuk mendesak pembebasan pemimpin pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Pendemo menuntut pengakuan atas kemenangannya dalam pemilihan umum yang dihelat November 2020.
“Kami tahu bahwa kami selalu bisa ditembak dan dibunuh dengan peluru tajam,” kata aktivis Maung Saungkha seperti dikutip Aljazeera.com, Kamis (4/3/2021). Dia menegaskan tidak ada artinya tetap hidup di bawah junta.
Sementara itu di Sachaung, lingkungan perumahan yang ditutup dengan barikade yang dibangun dari karung pasir, ban, batu bata, dan kawat berduri, Thinzar Shunlei Yi menggambarkan pembunuhan hari Rabu sebagai ‘peristiwa mengerikan’.
Dia mengatakan perlawanan sekarang adalah tugasnya dan dia berjanji untuk melakukan protes setiap hari. “Sungguh mengerikan bahwa militer di Myanmar tidak pernah berubah sejak 1962,” katanya.
Di beberapa bagian Yangon, pengunjuk rasa menggantung seprai dan sarung di seberang jalan untuk mengaburkan pandangan polisi.
Di sisi lain, aparat memasang kawat berduri untuk memperkuat barikade polisi kemudian melepaskan tembakan dan menggunakan gas air mata untuk membubarkan protes di kota serta di pusat kota Monywa. Polisi juga menembak massa di kota Pathein, sebelah barat Yangon.
(*)