NASIONAL — Tahun ini Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) dan 22 tahun HUT AMAN (17 Maret 1999–2021).
Mengutip laman resmi AMAN, www.aman.or.id, perayaan tahun ini mengambil tema: “Tetap Tangguh Di Tengah Krisis”, tema tersebut dipilih untuk menegaskan bahwa apa yang selama ini kita perjuangkan adalah benar dan baik.
Pandemi memberikan berbagai jawaban sekaligus memberikan petunjuk arah ke masa depan yang lebih baik, sebuah kehidupan baru dimana kita harus hidup terus menjaga ibu bumi dan adil dengan sesama manusia.
Bahwa Masyarakat Adat yang bertahan di tengah tengah krisis yang sedang berlangsung saat ini adalah yang masih menjaga keutuhan wilayah adat, dan setia menjalankan nilai-nilai dan praktek luhur nenek moyang kita.
Musyawarah adat, gotong royong, memiliki rasa senasib sepenanggungan dan memanfaatkan kekayaan titipan leluhur secara bijaksana.
Masyarakat Adat beserta wilayah adatnya yang masih bertahan sebagai sentral produksi dan lumbung pangan telah terbukti mampu menyelamatkan warga Masyarakat Adatnya, sesama kelompok Masyarakat Adat bahkan menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman krisis pangan.
Masyarakat Adat tidak hanya memiliki kemampuan untuk memenuhi pangannya secara mandiri, tetapi mampu berbagi dengan komunitas-komunitas lain, bahkan ke kota-kota.
Makna logo perayaan HKMAN dan 22 Tahun AMAN terinspirasi dari simbol infinity untuk menunjukkan semangat dan daya lenting Masyarakat Adat yang mampu bertahan melewati berbagai macam situasi dan perubaha. Sedangkan lumbung padi melambangkan sistem kedaulatan pangan di Masyarakat Adat.
Sejumlah Isu Mengemuka
Tepat di milad AMAN ke 22, serta Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, Koran Seruya memotret sejumlah isu penting yang mengadang di depan.
Salah satunya, pengesahan Undang-undang Masyarakat Adat di DPR RI yang belum juga tuntas.
Karena ini tentang kebijakan one map policy. Agar Masyarakat Adat tak menjadi korban UU Cipta Kerja (Omnibus Law), maka harus dipastikan adanya kebijakan one map policy.
One map policy untuk mengatasi carut-marut persoalan tata ruang, termasuk Masyarakat (Hukum) Adat dan tanah ulayat. Harus segera diatasi, masing-haring harus punya kepastian.
One map policy jadi tantangan untuk menentukan tanah itu tanah apa? Tanah kawasan hutan, atau lahan, atau tanah ulayat.
Untuk itu, dukungan dan peran lembaga politik seperti fraksi-fraski di DPR RI sangat penting untuk mengesahkan RU Masyarakat Adat. Sebab RUU MA adalah amanat UUD 1945.
Keberadaan UU dan Peraturan Pemerintah masih mempermudah dan memberi karpet merah penguasaan sumber daya alam kepada investor. Hal ini tentu saja akan mempersempit wilayah kelola masyarakat
Diketahui, pada Prolegnas 2020, RUU Masyarakat Adat masuk daftar prioritas ke 31. Sebelum menjadi usulan DPR RI, Fraksi Partai Nasdem, secara konsisten terus-menerus memperjuangkan RUU Masyarakat Adat untuk dapat masuk dalam prolegnas periode 2104-2019 dan kemudian periode 2019-2024 saat ini.
Pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU Masyarakat Adat sudah selesai dibahas dalam rapat pleno Badan Legislasi 4 September 2020.
Hanya Fraksi Partai Golkar yang tak menyetujui RUU MA ini menjadi usulan.
Adapun substansi hak-hak Masyarakat Adat dalam RUU Masyarakat (Hukum) Adat versi DPR RI itu meliputi hak atas wilayah adat, hak atas sumber daya alam, hak atas pembangunan, hak atas spritualitas dan kebudayaan, dan hak atas lingkungan hidup.
Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan, RUU Masyarakat Adat yang sekarang ada di DPR bukan versi yang sesuai dengan usulan AMAN sepenuhnya.
“Yang dulu kita sepakati, jauh dari yang ada sekarang. Dan menurut saya, ini justru harus dibereskan di DPR. Karena saya tak percaya pemerintah dengan mental dan pendekatan sektoralisme akan bisa menyelesaikan masalah ini,” kata Rukka.
Rukka bilang, pada dua periode sebelumnya usaha pengesahaan RUU Masyarakat Adat, selalu tersandung di tangan pemerintah. “Bola itu jatuh di tangan pemerintah. Dua kali itu jatuh di tangan yang namanya Kehutanan. Karena ideologi Kehutanan yang dicoba untuk mengebiri dan memastikan tidak ada UU Masyarakat Adat itu. Demikian juga dengan ATR, dengan Kemendagri,” tegas Rukka.
(*)