Oleh : Ikhlas Wahyu, Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Andi Djemma
Kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan berpendapat baik secara visual maupun teks. Kebebasan juga tercantum dalam deklarasi universal Hak Asasi Manusia (HAM). Deklarasi universal HAM merupakan pernyataan bersifat anjuran, yang di adopsi serta di sahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948.
Kebebasan pers juga diperkuat menjelang masa tranformasi haluan negara Indonesia, dari orde lama ke reformasi. Ditandai juga dengan pengesahan Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum,” bunyi pasal 2 BAB II UU nomor 40 tahun 1999 yang di Sahkan Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie ini. Poin tersebut dibutuhkan independensi etis profesi jurnalistik dalam menjaga asas demokrasi yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber-Jurdil).
Negara yang demokratis di tandai dengan adanya kedaulatan di tangan rakyat, pemilu merupakan syarat minimal sebuah negara dikatakan demokratis, “demokrasi adalah suatu perencanaan institusional. Perencanaan tersebut dilakukan untuk mencapai sebuah keputusan politik. Dimana setiap individu akan memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif. Hal itu dilakukan atas dasar suara rakyat,” Joseph A. Schemer.
Sejarah Republik Indonesia dalam melakukan pemilu pertama kali pada tahun 29 September 1955, setelah itu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan pada tahun 2019 kali keduabelas dalam melakukan pemilu. Catatan sistem demokrasi bangsa Indonesia seiring dengan peranan kebebasan pers dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik meskipun Negara terus melakukan kekuatannya dalam membungkam kebebasan pers. Itu terbukti saat pemberlakuan Surat Izin Untuk Penerbitan Pers (SIUPP) yang tidak mendukung keberadaan pers selama periode Orde Baru berlangsung. Kemudian dikeluarkannya kebijakan Permenpen no. 1/per/Menpen/1998 tentang Ketentuan-Ketentuan SIUPP menjadi batu loncatan kebebasan berpendapat di Indonesia kala itu. Puncaknya adalah pengesahan UU Pers no. 40 tahun 1999 yang mendikte bahwa segala kebijakan peninggalan Orba yang menghambat ruang gerak pers dihapuskan.
Peristiwa 21 Juni 1994 menjadi catatan sejarah kezaliman Soeharto dan antek-anteknya kala itu. Beberapa media massa seperti Tempo, Editor, dan Detik dicabut surat izinnya setelah melakukan investigasi mengenai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat negara. Sudah tidak asing terdengar di telinga bahwa kedzaliman Orba banyak yang dihilangkan eksistensi peranan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Negara kemudian melakukan transformasi demokrasi sejak pemilihan umum pada tahun 2004 kali pertama seluruh warga Indonesia yang bersyarat atau di atas 17 tahun memiliki hak pilih dalam menyalurkan hak politiknya.
Apabila dikaitkan dengan sistem demokrasi sejak masa reformasi, maka kekuatan pers dianggap setara dengan pilar demokrasi lainnya yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuatan pers merujuk pada kekuatan untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan menyalurkan aspirasi rakyat.
kalau kondisi hari dipikirkan bagaimana penguatan pers dimulai dari kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud adalah perusahan persnya yang harus mempunyai legalitas. Tetapi tak adanya wartawan yang melindungi ditempatnya bekerja ketika ada sengketa produk jurnalistik ketika ada seseorang yang merasa dirugikan ketika diberitakan oleh media. Melemahnya pers akibat dari semakin mudahnya orang menjadi wartawan tanpa mengetahui kewajibannya dan pemahaman kerja-kerja jurnalistik, hal itu dibuktikan menjamur orang yang mengaku sebagai wartawan yang tidak bekerja pada perusahaan pers sah dalam pendataan dewan pers.
Dengan tidak aktifnya dewan pers, ini menjadi reduksi tingkat kepercayaan publik terkait produk jurnalistik melemah. “kalau kita berbicara stabilitas demokrasi, Negara harus tegas menertibkan jurnalis dan perusahaan pers dan negara harus memikirkan keberlangsungan pers,” Ketua SMSI kota Palopo, Wahyudi Yunus. Dalam menjaga keberlangsungan pers negara harus menjamin nasib profesi wartawan dan perusahan pers agar tidak lagi memiliki ketergantungan kepada para cukong, elit politik lokal maupun nasional serta para pengusaha yang memiliki kepentingan besar.
Secara umum, peran pers bagi negara demokrasi adalah menjamin proses akuntabilitas publik dapat berjalan dengan lancar. Dalam negara demokrasi, peran pers dibutuhkan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh penyelenggara kekuasaan negara. Karena memiliki tugas untuk mengawasi kinerja pemerintah, maka pers haruslah independen. Pers bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, termasuk pengaruh kekuasaan pemilik media.
Pers nasional merupakan alat perjuangan bangsa Indonesia yang sudah sejak lahirnya menjadi sumber informasi yang inspiratif untuk membangun. Aset pers nasional juga menjadi bagian kekuatan bangsa yang apabila tidak dirawat akan mencelakakan bangsa. Alat perjuangan Pers Indonesia seperti halnya pers di berbagai negara, memiliki nilai-nilai idealisme yang tidak dapat dilepaskan dari lahirnya pers itu sendiri. Pers nasional memiliki nilai-nilai ideal sejak muncul di Indonesia, bahkan sejak sebelum Indonesia lahir sebagai sebuah alat perjuangan untuk memajukan bangsa. Jauh menjelang kemerdekaan, Bapak Bangsa Soekarno menggunakan pendapat dan opini bahkan analisisnya sebagai bahan bakar perjuangan memerdekakan Indonesia.
Demikian juga ketika proklamasi kemerdekaan, radio menjadi alat perjuangan menyebarkan suara Bung Karno ketika membacakan naskah proklamasi, yang menjadikan bangsa Indonesia bebas dari penjajahan. Kehadiran pers seperti radio dan surat kabar saat itu dirasakan sebagai sebuah berkah karena masyarakat Indonesia mampu menerima informasi yang benar sekaligus memberikan solusi bagi kehidupan bangsa ini. Dari alat perjuangan, kadang melenceng menjadi alat ekonomi dan politik, yang kemudian perlu publik menjaga secara bersama agar aset nasional ini tetap pada kiprahnya, menjadikan masyarakat cerdas dan dewasa dalam berbangsa dan bernegara. Dengan segala kelemahan dalam pers saat ini, kalau melihat perjalanan sejarah pers, aset bangsa ini perlu dijaga bersama agar tetap pada relnya sebagai alat perjuangan nasional, bukan seakan menjadi buzzer para elit politik dan pemerintah.
Dalam konteks sekarang para pemilik media di Indonesia mempunyai latar belakang politisi hingga pengusaha besar, seperti Surya Paloh, CEO media grup ini merupakan ketua UMUM Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang merupakan pengusung koalisi Indonesia Maju (Jokowi-Maruf), kemudian Hary Tanoesoedibjo yang merupakan pemilik MNC Grup yang juga sebagai ketua umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan saat ini putrinya menjabat wakil menteri pariwisata dan ekonomi kreatif di kabinet Indonesia Maju dan ketiga, pengusaha media Trans Grup, Chairul Tanjung yang diberikan ‘jatah’ ke anaknya sebagai staf khusus presiden yang masih berumur 23 tahun sejak dilantik.
Dengan porsi yang diberikan kepada para bos media besar di Indonesia apakah Independensi dapur redaksi tak ikut dicampuri dengan narasi investigasi para jurnalis yang kerja di media-media itu?. “Kami tidak akan mudah menerima hal-hal yang tidak bisa kami kompromikan. Apakah dengan right issue segitu bisa memengaruhi (dapur redaksi)? Kecil sekali, kok. Apa yang bisa kamu lakukan dengan satu persen?” ujar wakil direktur bisnis digital Tempo Group, di kutip dari tirto.id. Relasi kuasa dan pemilik media jelas di depan mata semoga kerja jurnalistik tetap independen dan juga tetap menuliskan narasi dedikasi ke rakyat bangsa Indonesia. (***)