OPINI: Eksistensi Negara Dalam Covid 19

819
Iyas Manggala Ayubi
ADVERTISEMENT

Fenomena Covid 19 merupakan masalah kesehatan dunia yang dapat berdampak pada sektor lainnya. Dalam tulisan ini, penulis tidak mencurahkan pemikiran berkaitan dengan hal-hal yang bersifat teknis kesehatan seperti yang telah dilakukan oleh para dokter dan perawat serta petugas kesehatan lainnya yang berhadapan langsung dengan Covid-19 ini.

PENULIS: Iyas Manggala Ayubi*

ADVERTISEMENT

Hal ini perlu penulis ungkapkan sebagai bentuk keprihatinan batin bahwa masih ada saja beberapa manusia yang mengambil keuntungan ditengah keadaan yang serba sulit ini. Tindakan ini mencerminkan adanya degradasi moral yang bukan saja dapat melukai hati rakyat akan tetapi juga sudah dapat dikategorikan penghianatan terhadap bangsanya sendiri. Setelah melihat fenomena ini, penulis teringat dengan teori dari seorang Thomas Hobbes, dimana manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya (Homo homini Lupus).

Dalam konteks Indonesia kebijakan pencegahan dan penanganan Covid-19 ini masih terkesan adanya permainan kepentingan politik. Kita disuguhkan dengan debat kusir diantara para politisi seolah-olah debatnya jauh lebih penting dari kasus Covid-19 itu sendiri. Salah satu perdebatan yang sangat menarik adalah Saling lempar opini diruang publik antara pemerintah pusat dan beberapa pemerintah daerah pada masa awal pandemi covid-19. Menurut penulis bahwa kewenangan pemerintah provinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah tidak sepenuh hati diberikan oleh pemerintah pusat. Konsep otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia dapat dikatakan gagal melakukan pelayanan mencegah dan menghadapi situasi yang sifatnya darurat seperti ini. Pemerintah pusat cenderung tidak peduli terhadap ancaman yang jauh-jauh hari telah diingatkan oleh pemerintah daerah.

ADVERTISEMENT

Pada masa awal terjadinya pandemi di China, pemerintah pusat bahkan mengambil kebijakan ekonomi untuk memanfaatkan situasi dengan cara mempermurah harga tiket pesawat supaya turis asing banyak masuk ke Indonesia. Sungguh sangat ironis, ditengah pandemi covid 19 harusnya pemerintah pusat dapat membatasi warga asing untuk berkunjung sehingga pandemi ini dapat segera diatasi. Secara geografis, sebenarnya posisi Indonesia sangat diuntungkan dimana pulau-pulau Indonesia terpisah dari daratan china sebagai mainland penyebaran virus ini. Seharusnya pemerintah pusat melakukan pemeriksaan yang ketat atau bahkan melakukan langkah ektrem yaitu dengan menutup pintu masuk ke Indonesia.

Pemerintah pusat salah dalam menetapkan kebijakan. Perlu diingat dalam teori kebijakan oleh Thomas R. Dye mengambil kebijakan atau bahkan tidak mengambil kebijakan tetaplah dikatakan suatu kebijakan. Sehingga setiap tindakan oleh pemerintah haruslah terukur dengan matang, dimana kegagalan pemerintah selalu dalam bayang-bayang kegagalan melaksanakan amanat konstitusi bahkan pelanggaran terhadap HAM.

Salah satu yang menjadi perhatian penulis ialah bagaimana suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah di negara ini seolah-olah tidak memeperhatikan satu unsur yang penting yaitu tahap evaluasi. Setidaknya beberapa flu telah menyerang ditengah masyarakat Indonesia dari zaman kolonialisme hingga hari ini. Namun penulis tidak melihat bagaimana tahap evaluasi sebagai suatu rujukan dalam kebijakan pemerintah hari ini, berbeda kekuasaan berbeda motif menjadi sangat nampak. Pada akhirnya pernyataan-pernyataan pemerintah pusat sebelum terdeteksinya kasus Covid-19 cenderung menganggap remeh.

Seharusnya pemerintah dan masyarakat ditengah situasi seperti ini dapat melakukan analisis perkembangan politik tidak hanya berfokus pada situasi di Indonesia, namun juga melihat situasi dunia. Pemerintah dan masyarakat Indonesia terlebih dahulu haruslah paham terhadap pemikiran sosialisme Karl Marx yang kemudian dimanipulasi oleh Lenin, menjadikannya ideologi ekstream bernama komunis, dan dijadikan dasar ideologi bagi negara China. Ada kecenderungan kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara komunis yaitu senantiasa menerapkan politik realistis berdasakan ajaran Nicollo Machiavelli dimana untuk melaksanakan suatu kegiatan politik hal-hal yang bersifat Unmoral menjadi hal yang dapat digunakan. Maka apabila suatu opini bahwa virus covid-19 diciptakan oleh negara China, dengan dasar dari teori Machiavelli seperti ini merupakan hal biasa.

Salah satu trik ekonomi China yang sangat mengejutkan bahwa temuan Gubernur Jawa Tengah bahwa APD yang berasal dari China merupakan produksi dari indonesia, dijual dengan harga berkali-kali lipat. Satu hal yang terbesit dalam pemikiran penulis bahwa perang ideologi antara Liberalis-Kapitalis melawan Sosialis seolah terjadi saat ini. Kita dapat melihat bagaimana China seolah hendak membuktikan bahwa paham ideologi sosialisme bahkan komunisme memenangkan pertarungannya dengan Amerika dengan paham Kapitalis-nya. China seolah ingin memperlihatkan kedisiplinan dan konsep pemikiran sentralistik jauh lebih efektif menghadapi situasi darurat seperti ini.

Realitas kehidupan di Indonesia, dapat diakui bahwa negara Indonesia tidak siap dengan situasi darurat seperti ini. Publik di Indonesia masih banyak yang menganggap bahwa kejadian covid-19 merupakan hal yang lumrah atau dianggap tidak pernah terjadi. Disamping itu penulis melihat bahwa masih banyak pekerjaan oleh oknum-oknum tertentu dilakukan hanya untuk memperlihatkan bahwa mereka bekerja padahal belum memikirkan efektivitas dari pekerjaannya. Di beberapa bandara pada awal kebijakan memperketat penanggulangan Covid 19, media memperlihatkan bagaimana suatu sistem yang dianggap baik dengan berbagai peralatan yang digambarkan siap namun pada kenyataannya hanya dilakukan ketika media meliput kegiatan itu. Ini memperlihatkan bagaimana suatu moralitas tidak menjadi budaya ditengah masyarakat, terlebih apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh pejabat yang diberikan gaji dan amanat oleh rakyat, maka apa yang disebut dengan Morality of Constitution menjadi suatu hal yang sangat jauh dari kenyataan bernegara dan tentu berimplikasi pada kualitas pelayanan publik.

Pada dasarnya kegagalan pemerintah bukanlah menjadi suatu alasan bagi masyarakat untuk kemudian melakukan pemikiran ekstream yang cenderung berdasarkan pada alam anarkisme. Perdebatan dengan berlandaskan demokrasi bukanlah hal yang bijak dalam situasi seperti ini. Mengutip pendapat dari seorang Plato bahwa negara demokrasi akan gagal apabila dipenuhi oleh orang-orang yang tidak cerdas, maka inilah suatu timbal balik dari masyarakat harus lebih peduli dan kritis terhadap sekitarnya serta terhadap berbagai proses bernegara. Tidak boleh lagi masyarakat Indonesia bersikap alergi terhadap politik, kecerdasan terhadap politik turut mempengaruhi keberlangsungan suatu negara. Pada akhirnya penulis ingin merujuk pada dua negara dalam satu kawasan di eropa, dimana ada perbedaan mencolok antara Jerman dan Italia memperlihatkan bagaimana tingkat kedisiplinan masyarakat dan profesionalitas sengat mempengaruhi tingkat penyebaran covid-19. (**)

TENTANG PENULIS

Nama: Iyas Manggala Ayubi
– Mahasiswa Program Magister Hukum UNPAD Bandung
dan Mahasiswa S1 Program Administrasi Negara STISIP Veteran Palopo

ADVERTISEMENT