Soal Ketar-Ketir Kader Jika Parpol Gunakan Jalan Pintas Gaet Tokoh Tajir di Pemilu 2024 Dikupas Habis Mantan Komisioner KPU Palopo

246
Direktur Studi Ekonomi dan Demokrasi, Syamsul Alam SE MSi. [Foto: Net)
ADVERTISEMENT

PALOPO–Pemilu 2024 memang masih 3 tahun lagi, masih cukup lama, akan tetapi proses dan diskursus di tengah masyarakat terus mengemuka.

Wacana jalan pintas partai politik (Parpol) yang bernafsu menggaet sebanyak-banyaknya kursi di parlemen di semua tingkatan di daerah, saat pemilihan legislatif 2024 mendatang saat ini menjadi perhatian masyarakat utamanya kelas menengah ke atas, lebih khusus lagi kader-kader Parpol yang selama ini bercucuran keringat berjuang di tataran akar rumput.

ADVERTISEMENT

Betapa tidak, dengan modal kekayaan yang dimiliki, tokoh tajir itu berpeluang besar masuk parlemen dibandingkan dengan kader Parpol yang selama ini hanya mengandalkan cara-cara tradisional, dalam menggalang dukungan suara.

Parpol di Pemilu 2024 sudah tentu ingin berjaya dan punya kursi sebanyak-banyaknya agar dalam Pilkada 2024 yang waktunya hanya terpaut dalam hitungan bulan itu, bisa mendapatkan “berkah” akibat limpahan kursi di DPRD yang ia miliki.

ADVERTISEMENT

Semakin banyak kursi (di parlemen) maka semakin enak pula Parpol itu dalam bermain di Pilkada 2024, atau dalam bahasa kerennya: punya bargaining alias nilai tawar dengan Calon Kepala Daerah yang hendak diusung.

Nah, narasi soal Parpol gunakan “by pass” alias jalan pintas ini dikupas tuntas oleh Direktur Studi Ekonomi dan Demokrasi (SERASI), Syamsul Alam, saat dihubungi KORAN SERUYA via telepon, Selasa (8/6/2021).

Mantan Komisioner KPU itu mengatakan, trend pemilih saat ini banyak bergeser, dari Pemilih Parpol menjadi Pemilih figur atau tokoh.

“Pemilih kita (di pemilihan legislatif) trendnya sudah bergeser, kalau dulu zaman Orde Baru, saat Pileg orang lihat partainya saja. Oh Golkar. Dicoblos. Karena Pileg waktu itu orang cuma nyoblos partai. Terserah partai mau dudukkan siapa. Nah sekarang di pemilihan langsung, tidak lagi. Maka jangankan Parpol dengan Parpol bersaing, sesama Parpol sendiri saja saat ini sudah “baku gunting” makanya lahirlah money politics atau kekuatan uang, dimana siapa yang paling populer apalagi tajir, maka dia yang naik,” ulas Syamsul.

Adanya kekuatan finansial yang terjadi saat ini, menurut Syamsul yang sempat ikut nyaleg di Pileg 2019 lalu itu, membuat kader-kader partai potensial menjadi termarginalkan. Mereka kalah pamor dibanding tokoh yang cuma mengandalkan popularitas dan isi tas.

“Nah, potensi kader-kader partai yang selama ini mengabdikan diri saat Pencalegan, meski namanya tetap masuk dalam daftar caleg tapi mereka kan kalah sumber daya. Mereka kalah bukan karena kualitasnya, tapi karena tidak cukup dana finansial untuk melakukan branding, membangun image dirinya, membangun sosialisasi ke tengah masyarakat, dan lain-lain, yang butuh modal besar, sehingga mereka kebanyakan kalah dari sisi jumlah suara yang bisa ia dapatkan. Ini adalah fenomena di tengah masyarakat kita selama ini yang menganut sistem pemilihan langsung.”

Saat ditanya, apakah pola “by pass” ini merugikan Parpol bersangkutan? Syamsul menjawab,” ini sudah pasti merugikan kader-kader Parpol potensial. Yang namanya kader itu kan punya hubungan keterkaitan ideologis dengan partai. Ketika Pemilu Legislatif mereka lantas tersingkir karena kalah suara, dan kalah segala-galanya meskipun secara kualitas sang Kader ini mungkin bagus, punya idealisme, wawasan, pengetahuannya baik, tetapi karena kalah popularitas dan materi maka dia akhirnya tersisih, dan selama ini memang begitu.”

“Dari sisi itu, saya bisa bilang, Partai itu rugi, karena orang-orang yang sudah didoktrin, diinternalisasi di partai tidak bisa lolos untuk memperjuangkan kepentingan partai dan kepentingan masyarakat di Parlemen, karena yang naik (terpilih) bisa dibilang orang yang minim pengalaman di partai, yang tidak mengalami penjenjangan di partai, ujug-ujug masuk dan duduk di Parlemen, tentu visinya (saat duduk di parlemen) hanya untuk mengejar kekuasaan dan pengaruh semata,” tandasnya.

Ia melanjutkan, “Kalau kita lihat hasil riset dan study selama ini, lebih 50 persen anggota DPR RI itu misalnya adalah Pengusaha. Sehingga kita lihat saja, orang-orang yang berkualitas bagus sudah jarang sekali terpilih, yang naik mereka yang memang punya uang, sehingga kepedulian terhadap masalah-masalah rakyat semakin hilang di parlemen kita. Kita lihat saja contoh kasus, RUU Cipta Kerja (Omnibus Law), UU KPK, dll begitu mudahnya lolos tanpa uji publik dan sebagainya. Ya karena itu tadi, hilangnya daya kritis legislatif sebagai alat kontrol kekuasaan,” pungkas Direktur Studi Ekonomi dan Demokrasi itu.

(*)

ADVERTISEMENT