RITUAL adat ‘mappacekke wanua’ mengawali rangkaian agenda pokok peringatan Hari Jadi Belopa ke-14, sebagai ibukota Kabupaten Luwu. Ritual adat ini diadakan Pemkab Luwu bekerjasama Kedatuan Luwu, diadakan di Baruga Arung Senga, Kelurahan Senga Kecamatan Belopa, Rabu (12/2/2020).
Prosesi dimulai pagi hari, sekitar pukul 08.00 Wita, yang dihadiri Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Luwu, Ridwan Tumba Lolo, Kadis Pendidikan dan kebudayaan Luwu, Amang Usman, Dandramil Belopa, Kapten CBA Marthen Luther, Para Kepala OPD, Staf Ahli Bupati, dan para Asisten serta Sesepuh dan tokoh-tokoh adat Luwu, seperti Maddika Bua, Maddika Ponrang, Arung Larompong dan Arung senga
Rombongan Pemkab dan sesepuh adat Luwu diikuti puluhan peserta ritual dengan memakai baju adat khas Sulawesi, memulai prosesi dengan didahului melakukan ritual ‘Mallekke Wae’ atau mengambil air suci dari sebuah sumur yang dinamakan ‘Bubung Parani’.
Menurut tradisi masyarakat adat luwu, setiap rumpun keluarga besar masing-masing memiliki bubung parani (turungeng) atau sumber dalam setiap upacara adat. ‘Air’ adalah simbol kebersihan karena air dianggap sebagai sarana untuk membersihkan segala noda. Air juga merupakan kebutuhan paling vital bagi kehidupan setiap makhluk hidup serta merupakan simbol kesejahteraan hidup.
Karena itu ‘air khusus’ yang di lekke (diambil) secara ritual untuk digunakan dalam upacara Mappacakke Wanua, merupakan simbol kolektivitas sekaligus sebagai simbol kebersihan.
Di Bubung Parani, secara bergantian Tokoh-tokoh Adat menimba air kemudian ditampung dalam sebuah wadah. Air suci yang di ambil (ri lekke) kemudian diarak dengan Sinrangeng Lakko (usungan adat) di atas pangkuan seorang gadis remaja yang belum aqil baliq (tenna wette dara) sebagai simbol kesucian. Sinrangeng lakko (usungan adat) tersebut diiringi oleh palluru gau (instrumen dan atribut-atribut upacara adat) serta para pemuka adat. Air yang disucikan tersebut diarak menuju Baruga Arung Senga untuk diletakkan di atas Lamming Pulaweng atau Singgasana Kehormatan.
Di Baruga Arung Senga, kemudian prosesi dilanjutkan dengan ritual Mappaccekke Wanua yang secara harfiah berarti mendinginkan Negeri, maksudnya adalah untuk mendinginkan suasana atau menghilangkan ketegangan-ketegangan dan keretakan-keretakan yang mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang bisa berakibat melonggarkan komitmen kesatuan “maseddi siri” antar masyarakat.
Mappaccekke Wanua adalah salah satu ritual adat yang bertujuan melakukan rekonsiliasi untuk memulihkan keseimbangan (equilibrum) kesatuan ikatan masseddi’ siri’ antara seluruh komponen di dalam masyarakat. Keseimbangan persatuan dan kesatuan ikatan masseddi’ siri’ di dalam masyarakat diharapkan secara kodrati akan menciptakan suasana harmonis dan dinamis yang akan mendatangkan berkah berupa kedamaian dan kesejahteraan bersama. (*/adv)