Wabah Corona Tak Kunjung Redah, Pemerintah akan Berlakukan “NEW NORMAL” Setelah Lebaran

1515
KORAN SERUYA edisi Hari Selasa, 19 Mei 2020
ADVERTISEMENT

JAKARTA–Presiden Jokowi mengutip pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengajak warga Indonesia beradaptasi dan hidup berdampingan dengan virus corona. Fase ini dikenal dengan ‘New Normal’, yakni kehidupan baru yang mengadaptasi situasi pasca-pandemi.

Meski nantinya kasus COVID-19 sudah mereda, setiap orang di seluruh dunia tetap harus waspada dengan menjaga jarak, memakai masker, rajin mencuci tangan, dan membersihkan diri.

ADVERTISEMENT

Salah satu kebijakannya untuk mendorong ‘New Normal’ lewat imbauan beraktivitas kembali bagi masyarakat berusia di bawah 45 tahun. Kemudian menggulirkan wacana relaksasi PSBB.

“Artinya kita harus berdampingan (menyesuaikan diri) hidup dengan COVID-19. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan COVID-19. Sekali lagi, yang penting masyarakat produktif, aman, dan nyaman,” kata Presiden Jokowi.

ADVERTISEMENT

Apa sebenarnya new normal tersebut? Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmita, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal, namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.

Menurut Wiku, prinsip utama dari new normal itu sendiri adalah dapat menyesuaikan dengan pola hidup. “Secara sosial, kita pasti akan mengalami sesuatu bentuk new normal atau kita harus beradaptasi dengan beraktifitas, dan bekerja, dan tentunya harus mengurangi kontak fisik dengan orang lain, dan menghindari kerumunan, serta bekerja, bersekolah dari rumah,” kata Wiku, kemarin.

Wiku menerangkan, secara sosial disadari bahwa hal ini akan berpengaruh. Pasalnya, ada aturan yang disebutkan dalam protokol kesehatan untuk menjaga jarak sosial dengan mengurangi kontak fisik dengan orang lain.

Masyarakat, kata Wiku, akan menjalani kehidupan secara new normal hingga ditemukannya vaksin dan dapat digunakan sebagai penangkal virus corona. “Transformasi ini adalah untuk menata kehidupan dan perilaku baru, ketika pandemi, yang kemudian akan dibawa terus ke depannya sampai tertemukannya vaksin untuk Covid-19,” katanya lagi, seraya menambahkan, penerapan new normal ini kemungkinan akan berlaku setelah lebaran, dimana fasenya direncanakan akhir Mei 2020.

Beberapa ahli dan pakar kesehatan dunia telah memastikan bahwa kemungkinan paling cepat dapat ditemukannya vaksin adalah pada 2021. Artinya, masyarakat harus menjalani kehidupan secara new normal hingga tahun depan, bahkan lebih. Oleh karenanya, perubahan perilaku akan menjadi kunci optimisme dalam menghadapi Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah atau yang dikenal sebagai new normal.

“Tapi kita harus berpikiran positif, karena Indonesia punya kapasitas yang besar dan gotong royong, marilah kita gotong royong agar terbebas dari Covid-19,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Kedaruratan WHO, Michael Ryan, sebelumnya memang menyatakan virus corona kemungkinan tidak akan pernah hilang, dan seluruh masyarakat harus berdampingan hidup dengannya. Akan tetapi, pernyataan tersebut sebagai peringatan kepada negara-negara yang memutuskan melonggarkan pembatasan atau lockdown karena adanya penurunan kasus. Misalnya China, Thailand, hingga sebagian negara di Eropa.

“Kita memiliki virus baru yang memasuki populasi manusia untuk pertama kalinya, dan oleh karena itu sangat sulit untuk diprediksi kapan kita akan mengatasinya. Virus ini mungkin hanya menjadi virus endemik di kehidupan kita dan virus ini mungkin tidak akan pernah hilang,” tuturnya.

Hal inilah yang membuat pernyataan Jokowi menuai kritik. Banyak pihak menilai Indonesia belum waktunya untuk masuk ke dalam fase ‘New Normal’ lantaran kasus corona belum menurun, melandai sekalipun. Termasuk dengan wacana untuk relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara bertahap.

Namun, argumen pendukung ‘New Normal’ turut disampaikan LSI Denny JA dalam sebuah riset bertajuk ‘Indonesia Bekerja Kembali: Lima Kisi-Kisi’. Dengan metode kualitatif didukung data sekunder lainnya, LSI menyebutkan Indonesia dapat kembali efektif bekerja dengan gaya ‘New Normal’ berbarengan dengan upaya menekan virus corona. “Juni 2020, Indonesia secara bertahap dan selektif bekerja kembali,” kata peneliti senior LSI Denny JA, Ikrama Masloman.

Dari hasil risetnya metode kualitatifnya itu, Ikram juga mengklaim lima daerah yang dinilai dapat kembali efektif bekerja, yakni DKI Jakarta, Kota dan Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, serta Provinsi Bali. Sebab, riset menunjukkan tren kasus corona mulai menurun setelah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah siap dengan fase The New Normal? Jika Jokowi menggunakan argumen WHO untuk fase New Normal, maka pemerintah haru mengingat sejumlah syarat yang diwajibkan oleh WHO jika ingin melonggarkan pembatasan.

Yakni, negara harus mampu mengendalikan penyebaran virus corona hingga mengalami angka penurunan. Lalu, negara juga harus mampu melacak dini, isolasi, hingga tes secara masif. Ketiga, negara harus bisa menekan potensi penularan corona di tempat-tempat rawan. Terakhir, berbagai tempat publik seperti sekolah dan perkantoran harus bisa menerapkan protokol pencegahan COVID-19.

Pengendalian virus setidaknya perlu dilihat dari kurva epidemi yang ditampilkan di setiap negara. Meski ada grafik harian, Indonesia belum menampilkan standar kurva epidemi virus corona SARS-CoV-2.

Padahal, kurva ini penting untuk menggambarkan perjalanan pandemi, menentukan sumber dan waktu penularan, memprediksi puncak serta akhir pandemi, dan mengevaluasi efektivitas kebijakan pengendalian dari pihak berwenang.

“Manfaat dari kurva epidemiologis ini sangat besar dan vital dalam pandemi COVID-19 ini, kita dapat menganalisis luasnya sebaran penularan sudah sampai level berapa, memprediksi kapan puncak pandemi, kapan jumlah kumulatif melandai, dan kapan pandemi tersebut berakhir. Tim di Jawa Timur telah memproduksi kurva epidemiologis tersebut secara rutin, namun untuk di level pusat, belum,” tutur pakar epidemiologi Universitas Airlangga (UNAIR), Windhu Purnomo. (*/tari)

ADVERTISEMENT