OPINI : Penipuan di Dunia Digital (Cyber Crime)

302
Muhammad Rafly Setiawan (Ketua Umum PMII Kota Palopo). (Foto : PMII Palopo)
ADVERTISEMENT

Muhammad Rafly Setiawan (Ketua Umum PMII Kota Palopo)

Saya sedang berselancar di media sosial, saya buka akun FB, eh tiba-tiba wall beranda berserakan status akun-akun yang mengeluh akibat tertipu.

Keluhannya pun variatif. Ada yang tertipu karena melakukan pembelian iPhone model terbaru via online dan melakukan transaksi karena godaan harga yang relatif murah. Ada juga tertipu membeli pakaian branded namun ekspektasi tak sesuai dengan kenyataan (tampilan pakaian yang dibelinya berbeda saat barang datang).

Terdapat pula seorang pengguna akun FB yang mencak-mencak lantaran tertipu atas pembelian sepeda motor bodong (tanpa kelengkapan surat administrasinya). Dia “katanya” membeli motor dari salah satu anggota grup dagang di FB. Dia sudah membayar sebesar Rp. 3 juta sebagai tanda jadi, namun motor tersebut sampai hari ini tak kunjung datang. Dia lalu menyebarkan foto dan identitas pelaku di beberapa grup dagang dan tak lupa juga di statusnya. Tetapi setelah ia ketahui bahwa ternyata akun tersebut diretas oleh seseorang untuk melakukan aksi Cyber Crime terhadapnya. Sudah jatuh, tertimpa tangga lagi.

Selanjutnya ia melaporkannya kepada aparat penegak hukum, namun tidak dapat diproses lantaran tidak cukup bukti dalam menindakinya (masih curhatan si korban di status Facebooknya). Maka dari itu, ia terus mencari pelaku agar mempertanggung jawabkan perbuatannya. Kalo sudah seperti ini, siapa yang salah?

Disadari atau tidak, kejahatan di dunia digital-media sosial, membuat penggunanya rentan menjadi korban. Bukan hanya korban penipuan, melainkan identitas kita dapat diklaim oleh seseorang untuk memuluskan hajatnya melakukan kejahatan, seperti penipuan, bullying, kekerasan seksual, dan kejahatan lainnya.

Oleh sebab itu, sangat penting untuk memproteksi secara ketat akun kita, salah satunya ialah dengan tidak menyebarkan identitas kita dengan vulgar, bisa jadi karena hal tersebut kita menjadi target oleh orang-orang yang mau berbuat kejahatan. Ujung-ujungnya kita sendiri yang akan mengalami nasib sial (setelah akun kita diretas).

Meski ada UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau akrab ditelinga kita dengan UU ITE sebagai payung hukum untuk melindungi kita dalam ruang digital, namun masih ada beberapa celah yang dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu agar memperoleh pundi-pundi rupiah dengan cara menipu di ruang digital.

Terbukti masih berseliwerannya ditemui keluhan pengguna media sosial yang ter-hack tetapi tidak ditindaki oleh aparat penegak hukum karena minimnya bukti dan keterangan.

Dilansir dari tirto.id pada 8 November 2021 berdasarkan data kredibel.co.id bahwa kasus penipuan online dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mencapai 204.372 kasus, artinya dalam sebulan kasus tersebut mencapai 5.677 dengan total kerugian Rp. 305 Miliar.

Ungkap Muhammad Ihsan, Pendiri sekaligus Direktur Kredibel, tingginya kasus penipuan online disebabkan kurangnya edukasi kepada masyarakat terhadap Cyber Crime. Katakanlah iklan penjualan online berupa ponsel iPhone X dengan harga satu juta rupiah, bukannya curiga malah tergiur dengan iklan tersebut. Akhirnya tertipu, karena harganya tidak masuk akal meskipun diklaim sebagai barang lelang dari pegadaian atau apapun alasanya. Ketika korban sudah mulai tergiur, maka imbas makin diporotin sampai korban sadar bahwa ini merupakan penipuan.

Laporan portal patrolisiber.id sebuah situs milik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, diperoleh data bahwa kejahatan siber tertinggi terjadi pada kasus penipuan online dengan 12.611 laporan dalam tujuh tahun, disusul penghinaan dan pencemaran 5.281 laporan, pencemaran 5.124 laporan, pemerasan 2.628 laporan, dan berbagai kasus lainnya 5.350 laporan.

Sedangkan platform terlapor paling banyak diadukan masyarakat adalah WhatsApp 15.297 laporan, Instagram 6.875 laporan, telpon atau sms 4.678 laporan, dan Facebook 3.936 laporan.

Fenomena tersebut bagaikan gunung es, ini hanya data yang nampak dipermukaan, belum lagi dengan kasus-kasus lain dari masyarakat yang tidak melaporkan kejadian serupa terkait cyber crime yang merugikan dirinya.

Minimnya penindakan terkait cyber crime juga membuat masyarakat tidak puas terhadap kinerja penegak hukum, salah satunya Taofan Adhi Pratama pengguna akun twitter @taufan_pratama.

Ia mencuit “saya lapor penipuan online sejak sekian lama ke Polda Metro tapi tidak pernah dapat kabar lagi, tak apa, saya sudah ikhlas”. Betapa lemahnya edukasi kepada masyarakat sehingga tumpah ruahnya yang menjadi korban dalam ruang digital.

Kendati demikian, betapa penting kita selalu mewaspadai modus cyber crime, karena boleh jadi kita menjadi incaran. Dan urgensinya terhadap akun medsos kita yang rentan di-hack oleh pengguna lain. Oleh sebab itu, patut disadari bahwa ruang digital bukan tempat kita membuka dengan vulgar identitas pribadi. Pandai-pandailah sebagai pengguna smartphone dalam mengakses media sosial.

Selayaknya kita sebagai masyarakat sekaligus pengguna media sosial lebih memilih dan memilah, mana yang pantas diekspos dan mana yang tidak (ruang privat diri) agar tidak gampang menjadi buruan seseorang yang mau melakukan kejahatan.Tentunya, kita harus sama-sama melakukan proses edukasi dan penyadaran di lingkungan digital sehingga dapat meminimalisir angka kejahatan di dunia digital. (***)

ADVERTISEMENT