JAM menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Sepasang pasutri, Ibrahim dan Salam beranjak dari tempat tidurnya. Mereka lalu bergantiaan masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Selepas bersuci, warga Jalan Tociung, Kel. Surutanga, Kota Palopo itu lalu menghadap kiblat untuk menunaikan sholat tahajud. Setiap sujudnya, tak hentinya dia memuji kebesaran sang pencipta. Tak lupa pula rasa syukur dia panjatkan atas semua rezeki yang dia peroleh.
Ibrahim adalah imam Masjid Alqaramah yang letaknya tepat bersampingan dengan kediamannya. Pemandangan kontras terlihat dengan dua bangunan itu. Bangunan masjid berdiri kokoh, tampak indah dengan perpaduan warna yang pas. Semua lantainya pun ditegel, bahkan hampir tak ada ruang kosong yang disisakan.
Berbeda jauh dengan rumah imam masjidnya. Rumah panggung yang sudah reot dimakan usia. Pada bagian-bagian tertentu, papan rumah itu sudah rapuh. Kendati demikian, sang imam tak pernah berkeluh kesah. Malah kondisinya itu membuatnya semakin mensyukuri setiap nikmat yang diterimanya.
Setelah memanjatkan do’a pasutri ini pun langsung menyiapkan makanan untuk mereka santap saat sahur. Ibrahim selalu membantu pekerjaan istrinya. Ini dilakukan untuk meringankan beban istrinya yang sangat dai cintai. Tahu, tempe, sayur ditambah sambal terasi menjadi menunya saat itu. Makanan ini sudah termasuk mewah bagi mereka. Terkadang mereka hanya makan sahur dengan mie instan ditambah telur jika mereka kehabisan uang.
Namun hal tersebut tidak membuat mereka sekeluarga menjadi kufur nikmat. Malah hal tersebut membuat mereka semakin menjadikan mereka pandai bersyukur. Setelah semuanya siap, sang imam lalu membangun ketiga buah hatinya. “Bangun nak, sudah waktunya sahur,” ucapnya saat membangun mereka.
Selain sebagai imam Masjid yang dibayar seikhlasnya, Ibrahim juga berprofesi sebagai tukang ojek. Dalam sehari dia dapat mengumpulkan Rp 30 ribu. Tidak besar memang, tapi cukup sebagai tambahan penghasilannya sebagai imam masjid.
“Setelah mengantar anak-anak saya ke sekolah, saya lalu menarik ojek. Tapi itu saya lakukan sampai siang saja. Sebab, setelah sholat dhuhur, saya juga membersihkan masjid sampai sore. Dulu sebelum ada motor, saya sempat menjadi tukang becak,” tuturnya.
Warga asli Jeneponto ini sudah sembilan tahun menjadi imam masjid Al Qaramah. Bahkan, gubuk yang saat ini ditemtinya masih dalam termasuk tanah masjid.
Kendati hampir satu dekade dia mengabdikan diriya sebagai pemimpin sholat berjamaah, dia tak banyak menuntut kepada pengurus masjid yang lain. Baginya hidup adalah ladang amal. Ladang yang akan dia tuai saat kelak menghadap sang khalik. (liq)