BEBERAPA langkah mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk meminimalkan dampak buruk akibat dari pandemic covid 19 dilakukan dengan berbagai langkah mitigasi ekonomi mulai dari pemangkasan rencana belanja yang ada di APBN dan APBD, refocusing kegiatan dan realokasi anggaran, menjamin ketersediaann bahan pokok sampai pada stimulus SSB (subsidi selisih bunga) dan SBUM (Subsidi Bantuan Uang Makan) untuk berpenghasilan rendah yang sedang melakukankredit kepemilikan rumah.
Berbagai kebijakan pemerintah pusat diharapkan dapat meringankan beban ekonomi bagi masyarakat yang terdampak covid 19. Bagi pekerja informal yang terbatas aktivitas ekonominya oleh penerapan pembatasan social menjadikan mereka kesulitan untuk mencukupkan kebutuhan konsumsi harian didalam rumah tangganya. Olehnya, berbagai alternative Bantuan Sosial tunai (BST), PKH, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan jaring pengaman social lainnya untuk masyarakat miskin dan rentan miskin dihrapkan meringankan beban ekonomi mereka. Namun, ini juga memunculkan berbagai maslah karena Data terpadu kesejahteraan social (DTKS) saat ini menjadi polemik karena masih menggunakan data di tahun 2014.
Penyesuaian anggaran belanja disemua daerah (kabupaten/kota) pun telah dilakukan, Penyesuaian pendapatan daerah, belanja daerah dan refokusing anggaran penangan Covid 19 di kota Palopo sendiri sebesar 17,9 miliar Rupiah. Dengan rincian Penyesuaian pendapatan dan belanja daerah yang diarahkan untuk mendanai belanja bidang kesehatan (10.908.75.000/60,81%), belanja social savety net (1.630.400.000/9.09 %) dan kegiatan penanganan dampak ekonomi (5.398.100.000/30.10%).
Dengan Estimasi biaya 17,9 miliar ini, kita berharap bahwa pemerintah telah mengukur manfaat dan kemungkinan alternative strategi/intervensi yang bisa dilakukan dalam meminimalisir dampak ekonomi salah satunya.
Sayangnya, sampai saat ini publik belum tahu model kebijakan yang diterapkan pemerintah kota Palopo dalam mengistemasi dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat dari covid-19. Perdebatan di berbagai kalangan pun menyoal mana yang perlu didahulukan, ekonomi atau kesehatan?, menurut hemat penulis bahwa keduanya tidak bisa dilihat secara terpisah. Olehnya, dengan rincian penyesuaian belanja yang telah dilakukan pemda harusnya juga bisa diukur dari program yang disiapkan terkait dengan mortalitas sebagai bagian dari ongkos ekonomi. ”Kesehatan tentunya salah-satu variabel terpenting yang mempengaruhi kebahagiaan, atau kesejahteraan dalam arti luas, seperti juga, tingkat pendidikan, pekerjaan layak, status sosial, kebebasan (freedom) dan lain-sebagainya”. (arief anshori yusuf).
Sekaitan dengan dampak ekonomi, kita tahu bahwa productivity shock akan berdampak pada Penurunan aktivitas ekonomi dengan menurunnya produksi barang dan jasa yang juga berpengaruh besar pada penurunan pendapatan daerah. Hal ini juga tentu berpengaruh pada target pembangunan ekonomi yang telah direncankan dalam RKPD tahunan pemerintah kota. Apatahlagi jika melihat perbandingan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 lalu (6.75%), terjadi perlambatan 0.77 % jika dibandingan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2018 (6.75 %).
Jika mencermati lebih rinci lagi, penurunan ini disebabkan oleh melambatnya produktivitas beberapa sektor seperti jasa keuangan dan asuransi yang menyentuh level -0.29 %, informasi dan komunikasi yang melambat pertumbuhannya 2.63 %. Dan beberapa lapangan usaha lainnya seperti admministrasi pemerintahan,pertahanan dan jaminan social.
Lalu, bagaimana dampak ekonomi dalam masa covid dan pasca covid di kota Palopo? Berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha, total PDRB kota palopo sebesar 5,4 triliun rupiah dengan kontribusi sektor terbesar adalah perdagangan besar dan eceran,reparasi mobil dan sepeda motor dengan total kontribusi di tahun 2019 sebesar 1,4 triliun rupiah. Struktur ekonomi Palopo yang didominasi oleh sektor jasa tentu berdampak besar terhadap produksi barang dan jasa sehingga dipastikan akan terjadi perlambatan ekonomi, berbeda dengan daerah yang masih didominasi kegiatan ekonominya di sektor pertanian karena tidak terlalu memerlukan physical distancing dantara pelakunya. Bahkan, jika dilihat dari sisi konsumsi masyarakat kota Palopo, pengeluaran non makanan (54 %) masih lebih tinggi daripada konsumsi makanan (46 %) dan dari sisi pengeluaran, impor barang dan jasa di kisaran 42 %. Dari simulasi angka PDRB kota Palopo, jika 4 sektor yang memiliki kontribusi besar pertumbuhannya turun 50 % dan sektor lainnya tumbuh seperti kedaan tahun 2019, maka pertumbuhan ekonomi akan mengalami perlambatan ke level 4.68 % atau mengalami penurunan 2.07 %.
Perlambatan ini tentu akan mendorong angka pengangguran yang besar dan pertambahan masyarakat miskin, apalagi kota Palopo dari sisi ketenagakerjaan. Tingkat pengangguran Terbuka masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan TPT kabupaten/kota laiinya di Sulsel. Bahkan, berdasarkan data BPS tahun 2018, TPT kota Palopo sebesar 11.6 % lebih tinggi daripada TPT Sulsel dengan point 5.34 %.
Bersambung…
*) Penulis adalah Afrianto M.Si, Direktur CDC/Dosen Fakutas EKonomi UNANDA