Memburu Saefullah alias Daniel dan Pengikut JAD, Mabes Polri Ungkap Lokasi Otak Bomber Makassar

296
ADVERTISEMENT

MAKASSAR–Meski situasi telah aman terkendali pasca bom bunuh diri di depan gerbang Gereja Katedral di Makassar, namun aktivitas jaringan yang terkait Jamaah Ansharut Daulah (JAD) maupun organisasi radikal lainnya terus diburu polisi.

Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan hal ini, saat meninjau lokasi kejadian bersama Panglima TNI Hadi Tjahjanto Minggu petang, saat peristiwa kelam itu terjadi.

ADVERTISEMENT

“Pelaku ini merupakan jaringan JAD (berkaitan) dengan 19 anggota JAD yang ditangkap kemarin,” kata Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.

Saat ini, Mabes Polri tengah mencari seorang terduga teroris bernama Saefullah alias Daniel alias Chaniago, seorang penjaga perpustakaan Ponpes Ibnu Mas’ud.

ADVERTISEMENT

Disampaikan Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, pada akhir 2019 lalu, Saefullah diketahui memberi perintah kepada sejumlah terduga teroris jaringan JAD di Indonesia.

Salah satunya terduga teroris Novendri yang sebelumnya diringkus di Padang. Saefullah bertanggung jawab atas arahannya kepada N untuk mengirimkan dana kepada Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

“N ini ada pengendalinya, mastermind-nya saat ini atas nama Saefullah alias Daniel alias Chaniago. Yang bersangkutan sudah diterbitkan DPO oleh Densus 88 sebagai mastermind,” ujar Dedi, di Mabes Polri.

Tidak hanya itu, Saefullah diduga kuat memberi instruksi sejumlah terduga teroris di Indonesia, antara lain tersangka Yoga dari JAD Kalimantan Timur yang ditangkap Juni 2019.

Yoga merupakan sosok yang menggantikan Andi Baso sebagai penghubung antara kelompok ISIS atau JAD di Indonesia dan Filipina.

Dedi menuturkan, Saefullah memiliki rencana untuk menyuplai dana kepada Yoga untuk membeli senjata di Filipina yang nantinya dikirim ke Indonesia.

Saefullah pula orang yang mengatur perjalanan Muhammad Aulia beserta 11 orang Indonesia lain yang diberangkatkan ke Khorasan Afghanistan.

Namun, mereka lantas dideportasi dari Bangkok sebelum akhirnya diringkus Densus 88 di Bandara Kualanamu, Medan.

Polisi menduga kuat Saefullah alias Chaniago alias Daniel berada di salah satu wilayah di Khorasan, Afghanistan.

Tidak hanya itu, Mabes Polri menyebut, Saefullah yang merupakan “otak” kelompok JAD di Indonesia memperoleh sokongan dana dari luar negeri guna melakukan aksi terorisme.

Adu Gengsi JAD Vs JI

Polisi mengumumkan jika Pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3/2021) terafiliasi dengan organisasi teror Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Ini berbeda dengan rangkaian penangkapan sejumlah anggota organisasi teror lain yang dilakukan pada pekan lalu.

Rangkaian penangkapan pekan lalu menyasar mereka yang berafiliasi pada jaringan Jamaah Islamiyah (JI).

Ini Bedanya antara JAD dengan JI

Menyadur artikel di Asumsi.co, dalam lanskap organisasi teror bermotif jihad, perubahan demi perubahan dan penyesuaian gerakan memang kerap terjadi.

Ini tidak hanya dikarenakan situasi, tetapi lebih jauh lagi, ideologi dan strategi mereka dalam melakukan aksi teror. Meski mungkin punya kemiripan dan secara kasat mata tak ada beda, sejatinya JAD dan JI bertolak belakang.

JAD berafiliasi ke Islamic State of Iraq and Syiria yang santer pada 2013 dengan pemimpinnya Abu Bakar Al-Baghdadi. Sementara JI berafiliasi pada gerakan Al-Qaeda, yang mentereng lewat tokohnya Osama bin Laden.

Untuk diketahui, Al-Qaeda merupakan lawan dari ISIS. Di beberapa momen, mereka bahkan terlibat adu tembak. Misalnya, pertempuran antara ISIS dengan JNM – kelompok yang terafiliasi Al Qaeda di Wilayah Sahel Barat – di benua Afrika, tahun lalu. Pada 2015, Ayman al-Zawahiri, dokter asal Mesir, yang menggantikan peran Osama bin Laden di Al-Qaeda, bahkan menyatakan perang pada ISIS.

Mengapa ISIS dan Al Qaeda Sering Tidak Akur?

Daniel L Byman dalam “Comparing Al-Qaeda and ISIS: Different Goals, Different Targets” menyebut kalau konflik antara dua kelompok ini lebih dari sekadar perebutan pengaruh dalam gerakan jihad. Kedua organisasi ini berbeda dalam hal musuh utama, strategi, taktik, dan masalah mendasar lainnya.

Meski tujuan akhir Al Qaeda adalah menggulingkan rezim yang korup di Timur Tengah dan menggantinya dengan pemerintahan Islam sejati, musuh utama Al Qaeda adalah Amerika Serikat, yang dipandang sebagai akar penyebab dari carut marutnya Timur Tengah. Dengan menargetkan AS, Al Qaeda yakin akan membuat AS berpikir ulang dan mengangkat kakinya dari Timur Tengah.

Lain dengan Al Qaeda, ISIS justru mengadopsi pola “musuh dekat”. ISIS tak menargetkan Amerika, tetapi mendongkel pemerintahan di Timur Tengah secara langsung yang sebetulnya jadi target akhir Al Qaeda.

Bertolak belakang dengan Al Qaeda, yang relatif tak ingin membuang energi dengan perang sektarian dengan Syiah, ISIS justru mendukung pemurnian komunitas Islam terlebih dahulu dengan menyerang Syiah dan agama minoritas lainnya serta kelompok-kelompok jihadis yang bersaing.

Daftar panjang musuh ISIS termasuk Syiah Irak, Hizbullah Lebanon, Yazidi (minoritas etnis-agama Kurdi yang sebagian besar terletak di Irak), dan kelompok oposisi saingan di Suriah (termasuk Jabhat al-Nusra yang berafiliasi dengan Al Qaeda).

Dari sisi serangan, Al Qaeda telah lama menyukai serangan dramatis berskala besar terhadap target strategis atau simbolis. Serangan terhadap World Trade Center dan Pentagon pada 9/11 adalah yang paling menonjol. Sementara strategi ISIS adalah mengontrol wilayah dan terus mengkonsolidasikan serta memperluas posisinya.

Ini dipicu oleh keinginan mereka memdirikan khilafah dan menginspirasi orang untuk bergabung ke ISIS.

Di wilayah yang dikuasainya, ISIS menggunakan eksekusi massal, pemenggalan kepala di hadapan publik, pemerkosaan, dan penyaliban simbolis untuk meneror penduduk agar tunduk pada pemerintahan ISIS. Al Qaeda, sebaliknya, lebih menyukai pendekatan yang relatif diplomatis. Alih-alih membunuh orang barat misalnya, Al Qaeda pada beberapa kesempatan justru memberikan akses kepada jurnalis Barat untuk mewawancarai Bin Laden secara langsung. Mereka beranggapan terorisme tidak akan berhasil jika tidak ada yang menonton.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Mengadopsi dua organisasi induknya, JAD yang berafiliasi dengan ISIS dan JI yang berafiliasi dengan Al Qaeda tentu juga berlawanan. Jamaah Islamiyah merupakan organisasi terstruktur dengan banyak elitenya yang merupakan alumni perang Afghanistan 80-an atau Bosnia. Beberapa nama, seperti Nasir Abbas, misalnya, bahkan pernah menjadi instruktur militer di kamp pelatihan teroris di Mindanao, Filipina Selatan.

Dengan pengalaman seperti ini tak heran kalau kemudian dampak serangan JI lebih besar seperti yang terjadi pada tragedi Bom Bali I dan II.

Sementara JAD, merujuk pada tulisan Kholid Syeirazi dalam “Anatomi Radikalisme di Indonesia”, yang diakses di laman Nahdlatul Ulama, menyebut JAD terbilang lemah dalam struktur, kaderisasi, dan kemampuan militer. JAD juga gampang merekrut orang tanpa kaderisasi dan proses indoktrinasi panjang. Tanpa bekal agama yang cukup, orang bisa bergabung ke JAD dan berbaiat ke ISIS. Rekrutmen, ideologisasi, dan pelatihan amaliah kadang juga dilakukan secara daring.

Di JI, anggota direkrut lebih ketat dan kadang baru dibai’at setelah melalui proses indoktrinasi panjang selama dua tahun.

Berebut Pengaruh

Direktur The Indonesian Intelligence Institute, Ridlwan Habib, kepada Asumsi.co, Selasa (30/3/2021), menyebut kalau JI dan JAD sudah ada di tahap berebut pengaruh. Mereka berebut kader dan bersaing satu sama lain. Bahkan, dalam lingkup yang lebih kecil seperti penjara, para kader JI dan JAD secara nyata saling kontra dengan tidak bertegur sapa.

“Ya bermusuhan lah. Di dalam penjara-penjara teroris itu ada dua kelompok. Kelompok yang pro-Al Qaeda dan pro-ISIS. Dan dua-duanya ini bersaing, tidak mau shalat bersama dan sebagainya,” kata Ridlwan.

Menurut dia, pemerintah tentu sudah tahu polarisasi jihadis seperti ini. Namun, khusus di Lapas, penangkalannya tak mudah karena, lagi-lagi, berbenturan dengan kelebihan kapasitas lapas yang berbanding terbalik dengan jumlah sipir. Selain itu, ada ketakutan dari pegawai lapas akan ancaman yang mungkin mereka terima kala mengusik aktivitas jaringan ekstrem di penjara.

“Bagi aparat sebaliknya persaingan pengaruh ini juga jadi kontraproduktif. Karena ada semangat kompetisi yang tinggi ini akibatnya para kader ekstrem ini malah makin semangat untuk melakukan perekrutan,” ucap dia.

Ridlwan pun memastikan kalau kedua kelompok ini masih sama-sama kuat. Karakter yang berbeda justru membuat mereka punya kekuatan masing-masing. JAD misalnya, bergerak dengan sel terputus yang membuat satu kader tak perlu mengenal kader lainnya. Ini membuat JAD lebih leluasa bergerak. Sementara Al Qaeda kuat di struktur.

“Dua-duanya memang masih sama-sama kuat. Perbedaannya neo-JI selalu berhati-hati saat hendak melakukan serangan dan mereka juga tidak membolehkan perempuan dan anak-anak ikut dalam serangan. Sementara JAD lebih fleksibel, perempuan dan anak-anak bisa melakukan serangan. Dan begitu ada momentum mereka melakukan aksinya,” ucap Ridlwan.

(*)

ADVERTISEMENT