Bersama Istri Mendaki Puncak Tertinggi Sulawesi: Mendekap Rante Mario (4)

1217
Muhammad Nursaleh
ADVERTISEMENT

Angin lembah Rante Mario murka. Ratusan barisan cantigi tunduk, cabang dan rantingnya takluk. Suara angin menderu-deru di antara langit yang tak lagi biru. Menit berjalan membawa malam. Langkah melemah, di tengah dingin tiada terkira.

Langkah kaki istriku melemah. Itu terjadi sejak sore ketika memasuki lembah Nene Mori hingga perjalanan menuju telaga dan lembah Rante Mario. Ia diserang penyakit ketinggian. Kepalanya pusing dan diserang kantuk berat. Tarikan nafasnya tidak teratur. Berkali-kali aku menyarankan agar rasa kantuk itu ia lawan dan tidak memakai waktu lama untuk mengistirahatkan badan. Rasa dingin harus dilawan dengan menggerakkan badan.

ADVERTISEMENT

CATATAN: Muhammad Nursaleh

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.35. Berdua kami masih melintasi tanjakan dan turunan. Melihat langkah istriku yang melemah, aku memutuskan mengeluarkan head lamp (senter kepala) dari dalam day pack. Takut kemalaman. Kutuntun istriku untuk tetap fokus memerhatikan tanda jalur. Salah sedikit bisa jadi melenceng.

ADVERTISEMENT

Ia masih berjalan. Namun sering berhenti bila menghadapi tanjakan. Pahanya bergetar. Aku tahu, istriku sudah lelah berjalan di hari ketiga. Selain diserang penyakit ketinggian, kemungkinan pula menderita kram paha. Aku berada di simpang pilihan, antara rasa iba dan keadaan cuaca buruk yang memaksa untuk tiba di telaga. Aku akhirnya memilih. Memutuskan langkah terbaik yang harus diambil.

Tetap berjalan !

Kudengar istriku lirih menyebut nama tuhan. Kusarankan beristirahat sejenak membiarkan kepungan badai merangsek masuk melalui celah-celah cantigi. Dingin yang luar biasa. Sambil meneguk air, kubetulkan letak penutup kepala jaketnya sambil mendekapnya, memberinya semangat untuk tetap terus melangkah. Perjalanan ini harus kita tuntaskan !

Ia pun melangkah. Pelan. Selangkah demi selangkah. Aku yang berada dekat di belakangnya terus menuntunnya. Kabut tebal menghadang jarak pandang. Jauh di bawah sana, jurang-jurang telah asyik bercumbu dengan gelap, perlahan mendekati kami yang masih menyaksikan sedikit cahaya matahari.

Tiga menit lagi malam duduk di kursi gelapnya. Telaga menghampar di depan mata. Istriku mengucap hamdalah. Langkahnya terkesan dipaksa untuk segera tiba. Saat tiba, tekanan suhu dingin dan angin lembah bertambah. Bergegas kupasang tenda, bergerak cepat menantang badai demi untuk merehatkan badan yang seharian memenuhi dada.

Cuaca dingin benar-benar ekstrem. Di dalam tenda istriku berbaring. Berusaha merapatkan kedua kakinya ke bagian perut. Kantong tidur (sleeping bag) dan pakaian dua lapis sepertinya tak banyak membantu melawan dingin. Kupegang kakinya. Sungguh sangat dingin. Pucat.

Kuraih kompor portable dengan lebih dulu menghangatkan tabung gas mini ke dalam ketiak. Gas itu sedikit membeku. Memasak di dalam tenda adalah pilihan terakhir dalam cuaca seperti ini. Kurebus air, menyeduh susu untuk istriku. Kemudian memberinya asupan mie instan panas.

Malam di telaga. Malam penuh jaga. Menjaga dingin, tenda, malam untuk tidak menutup mata. Mau tidak mau, suka tidak suka menikmati penderitaan untuk malam ini mutlak harus dijalani hingga pagi.

Jingga pagi akhirnya membuka hari. Kubuka sedikit tirai tenda. Dingin dengan cepat menyusup masuk. Kututup kembali, di luar angin kencang masih menari-nari. Suaranya memantul menghantam tebing di seputaran lembah.

Sesuai rencana, pagi-pagi kami akan berjalan menuju puncak Rante Mario. Perjalanan akan memakan waktu 1 setengah jam (pergi-pulang) untuk kembali lagi ke lembah Rante Mario. Dengan perjalanan singkat hari ini, kami hanya makan seadanya dan menutupnya dengan menikmati susu panas.

Istriku mengatupkan tangan sambil merapatkannya ke dada. Seperti hari kemarin, langkah kakinya belum berubah. Masih tampak sakit. Namun tak mengurangi semangatnya hari ini untuk berdiri di puncak tertinggi Sulawesi, Rante Mario. Oleh orang Enrekang, Rante Mario disebut ‘Batu Bolong’ alias batu hitam.

Rante Mario merupakan salah satu puncak dari 7 puncak tertinggi di Indonesia yang disebut ‘Seven Summit’. Ada nama Cartenz Pyramid (Papua), Kerinci (Sumatera Barat), Rinjani (NTB), Semeru (Jawa Timur), Binaiya (Maluku) dan Bukit Raya (Kalimantan).

Bagi istriku, jalur menuju puncak sangat menarik perhatiannya. Ia terkesima menyaksikan pemandangan yang begitu indah. Hamparan batu-batu putih kecil tak luput dari perhatiannya. Tak seperti diriku, yang telah menganggap suguhan pemandangan itu adalah hal biasa. Bahkan aku telah lupa sudah beberapa kali memijakkan kaki di sini, khususnya melalui jalur Karangan (Enrekang). Ini ketiga kalinya aku melintasi jalur timur Tolajuk (Luwu).

Kurang seperempat pukul 9.00 Wita, istriku akhirnya menapaki atap langit Sulawesi. Kakinya mantap berdiri di triangulasi, mengibarkan bendera PPNI, lembaga profesinya sebagai perawat. Istriku tersenyum. Ia begitu gembira telah berhasil menginjakkan sepasang kakinya di puncak Tanah Bahagia. Ia mendekap Rante Mario. (Bersambung..)

ADVERTISEMENT