JAKARTA– Menteri Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI, Ida Fauziyah telah menetapkan UMP 2021 tidak naik atau sama dengan tahun ini karena adanya pandemi virus Corona (COVID-19). Namun tidak semua Gubernur mengikuti itu, ada yang memutuskan UMP di provinsinya tetap naik. Salah satunya, Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah.
SETELAH Menteri Ketenagakerjaan menetapkan UMP 2021 tidak naik, Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah malah mengumumkan kenaikan UMP di Sulsel sebesar 2 persen di tahun 2021 mendatang. Kenaikan UMP ini yakni dari Rp3.103.800 menjadi Rp3.165.000.
“Kita telah sepakat Apindo dan serikat buruh, bahwa ada kenaikan 2 persen UMP Sulsel tahun ini, dari Rp3.103.800 menjadi Rp3.165.000,” kata Gubernur Sulsel
Nurdin Abdullah saat melakukan prescon di Rujab Gubernur Sulsel, Sabtu, (31/10/2020) lalu.
Diketahui, tidak hanya Gubernur Sulsel yang tidak sejalan dengan keputusan Menaker soal UMP 2021. Tiga gubernur lainnya juga tetap menaikkan UMP 2021. Mereka diantaranya, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo memutuskan UMP 2021 naik 3,27% menjadi Rp 1.798.979,12. Selanjutnya, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwono X (HB X) juga menetapkan UMP 2021 naik 3,54% menjadi Rp 1.765.000.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengambil jalan tengah. Bagi perusahaan yang tidak terdampak COVID-19 wajib menaikkan UMP 2021 di Jakarta menjadi Rp4.416.186,548 atau naik 3,27%, sedangkan bagi perusahaan yang terdampak pandemi boleh mengikuti Menaker dengan menetapkan UMP tahun depan sama dengan tahun ini.
Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah menjelaskan, dasar penetapan UMP di Sulsel, yakni Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 89 ayat 3. kemudian kata dia, ada PP nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan.
Di dalamnya pada pasal 41 ayat 1 gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman dan Pasal 43 ayat 1, penetapan minimun ditetapkan tiap tahun.
“Tentu pemerintah terus berupaya memperbaiki kesehahteraan semua, dalam masa pandemi ini tentu kita merasakan semua, bukan hanya Indonesia tapi dunia.
Pertumbuhan ekonomi dunia mengalami kontraksi dan Indonesia merasakan itu,” jelasnya.
Gubernur Sulsel menjelaskan, dari tahun ke tahun UMP Sulsel terus mengalami kenaikan seperti tahun 2017 kenaikan 11,11 persen, 2018 kenaikan 5,9 persen, 2019
kenaikan 8,03 persen, tahun 2020 8,51 persen.
Lebih jauh dirinya menjelaskan dewan pengupahan telah melakukan upaya-upaya terkait dengan UMP ini. Berdasarkan hasil dewan pengupahan maka ditetapkan SK
Gubernur nomor 14/15/X/2020 tanggal 27 Oktober 2020 tentang penetapan UMP Sulsel tahun 2021.
“Ini sudah disepakati, pengusaha dan para pekerja tentu juga harus memberikan sumbangsi untuk percepatan ekonomi kembali, Penetapan UMP Sulsel ini efektif
pada 1 Januari 2021,” tandasnya.
Diketahui, mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 atau pun UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa menetapkan upah minimum adalah hak prerogatif gubernur. Sehingga bisa saja gubernur menetapkan UMP tidak sesuai dengan SE Menaker. “Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota,” bunyi pasal 89 ayat 3.
Sebelumnya, Menaker Ida Fauziyah juga sudah mengatakan bahwa SE yang ia terbitkan hanya sebagai patokan atau panduan bagi para gubernur dalam mengatasi dampak COVID-19. Apabila ada daerah yang tidak mengikuti SE tersebut, artinya sudah mempertimbangkan berbagai hal dan melalui kajian yang mendalam mengenai dampak COVID-19.
“Apabila ada daerah yang tidak mempedomani SE tersebut dalam penetapan UM-nya, hal tersebut tentunya sudah didasarkan pada pertimbangan dan kajian yang mendalam mengenai dampak COVID-19 terhadap perlindungan upah pekerja dan kelangsungan bekerja serta kelangsungan usaha di daerah yang bersangkutan,” kata Ida kepada detikcom beberapa hari lalu.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar. Menurutnya, bukan kali pertama ini saja ada gubernur yang tidak mengikuti SE Menaker dalam menetapkan UMP.
“Saya menilai SE Menaker tersebut adalah sebuah himbauan dan bukan sebuah regulasi yang wajib dipatuhi Gubernur. Hal ini kerap kali terjadi di tahun-tahun sebelumya, SE Menaker mengimbau dan meminta 8% tetapi ada gubernur yang menetapkan kenaikan UM lebih dari 8%. Ini biasa terjadi dari tahun ke tahun,” ujarnya. (*/tari)]