Di tengah tingginya harga minyak goreng di Indonesia, pemerintah akhirnya mengeluarkan program baru, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng. Bantuan sebesar Rp100 ribu per bulan itu bakal langsung dirapel menjadi Rp300 ribu untuk tiga bulan, yakni April , Mei, dan Juni dan mulai disalurkan sejak awal April 2022.
Terhitung sejak akhir tahun lalu harga minyak goreng melambung tinggi. Pemerintah sempat mengeluarkan aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk mengatasi persoalan tersebut. HET yang diterapkan mulai 1 Februari 2022 itu memang sempat membuat harga minyak goreng di pasaran turun.
Namun, keberadaannya menjadi langka. Baca juga: BLT Minyak Goreng Disalurkan April, Jokowi: untuk Ringankan Beban Masyarakat Akhirnya, pada pertengahan Maret, pemerintah mencabut aturan soal HET. Itu berarti harga minyak goreng kemasan diserahkan ke mekanisme pasar. Sejak saat itu minyak goreng memang muncul kembali di pasaran. Tetapi, lahir masalah baru yakni harganya melonjak tinggi. Harga minyak goreng di pasaran berada di kisaran Rp 25.000 per liter, bahkan di beberapa daerah menembus kisaran Rp50 ribu.
Mengatasi persoalan ini, Presiden Joko Widodo mengumumkan program bantuan baru, BLT minyak goreng. Bantuan ini diharapkan dapat mengurangi kesulitan masyarakat. “Kita tahu harga minyak goreng naik cukup tinggi sebagai dampak dari lonjakan harga minyak sawit di pasar internasional,” kata Jokowi dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (1/4/2022) lalu.
Lalu, berapa besaran bantuan yang diberikan? Siapa saja penerimanya? Jokowi menjelaskan, BLT minyak goreng bernilai Rp 100.000 per bulan. Bantuan tersebut akan dibayarkan 3 kali sehingga total bantuan mencapai Rp 300.000 untuk setiap penerima. “Bantuan yang diberikan sebesar Rp 100.000 setiap bulannya,” kata Jokowi.
Dengan total bantuan Rp 300.000, BLT minyak goreng rencananya diberikan April 2022. Jokowi mengatakan, bantuan untuk 3 bulan tersebut akan disalurkan dalam satu waktu sekaligus. “Pemerintah akan memberikan bantuan tersebut untuk 3 bulan sekaligus yaitu April, Mei, dan Juni yang akan dibayarkan di muka pada bulan April 2022 sebesar Rp 300.000,” ujarnya.
Nantinya, BLT minyak goreng akan disalurkan ke 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Bantuan itu juga akan diberikan ke penerima Program Keluarga Harapan (PKH) serta 2,5 juta pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan gorengan.
“Untuk meringankan beban masyarakat pemerintah akan memberikan BLT minyak goreng,” kata Jokowi. Presiden pun meminta agar Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, dan TNI serta Polri berkoordinasi agar pelaksanaan penyaluran bantuan ini berjalan dengan baik dan lancar.
Terakhir, Jokowi memerintahkan kepada jajarannya untuk berkoordinasi mengawal penyaluran BLT minyak goreng. “Saya minta kementerian keuangan, kementerian sosial serta TNI dan Polri berkoordinasi agar penyaluran bantuan ini berjalan baik lancar,” jelas Jokowi.
Sementara itu, Kebijakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengeluarkan bantuan langsung tunai atau BLT minyak goreng sebesar Rp300 ribu per tiga bulan untuk masyarakat, dianggap pakar politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, sebagai tindakan yang tidak tepat.
Menurut Ujang, akar persoalan yang menyebabkan minyak goreng mahal adalah kelangkaan akibat ulah mafia. Dengan Jokowi memutuskan mengeluarkan BLT, Ujang menilai secara tidak langsung pemerintah menyatakan tidak bisa mengungkap jaringan mafia tersebut. “Jika harga minyak masih tinggi dan tak ada solusinya, sama saja negara kalah oleh mafia minyak goreng,” ujar Ujang saat dihubungi Tempo, Sabtu, 2 April 2022.
Ujang mengatakan, bantuan sebesar Rp100 per bulan juga dirasa terlalu kecil, jika dibandingkan dengan naiknya berbagai kebutuhan pokok saat ini. Sehingga, bantuan tersebut dinilai hanya akan “numpang lewat” di masyarakat saja. Alih-alih menggelontorkan BLT, Ujang menyarankan pemerintah fokus mencari solusi menurunkan harga minyak goreng agar stabil dan murah. “BLT itu bukan solusi. Itu cara pernah dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya. Pola umum dan pola lama, membantu rakyat, agar dapat efek positif bagi Jokowi,” kata Ujang.
Sementara itu, Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Menilai pemberian dinilai bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan polemik minyak goreng di Indonesia.
“Ibarat parasetamol ini cuma menurunkan demam, tapi penyebab utama naiknya harga minyak goreng belum ada solusinya,” pungkas Bhima ketika dihubungi kumparan, Minggu (3/4/2022).
Bhima mengatakan, idealnya pemerintah harus menyelesaikan masalah tata kelola minyak goreng kemasan dan curah. Memberikan BLT tanpa yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng merupakan pekerjaan yang sia-sia.
Selain itu, pemberian BLT minyak goreng juga perlu memperhatikan akurasi . Untuk penerima program keluarga harapan (PKH), Bhima menilai tidak begitu masalah karena data mereka sudah disinkronkan dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial.
Sementara untuk pedagang gorengan, pendataannya dikhawatirkan terjadi duplikasi data penerima. Ujungnya, pemberian BLT tidak tepat sasaran untuk PKL. “Misalnya pedagang gorengan dengan pemilik yang sama menerima dua kali jatah BLT. Sementara yang menggunakan minyak goreng kan tidak hanya pedagang gorengan, industri makanan minuman kecil yang terdampak juga harus diperhatikan pemerintah. Apa pemerintah bisa cover semua?” tandas Bhima.
Bhima menuturkan, permasalahan utama BLT minyak goreng tidak semua pedagang kaki lima mengantongi izin usaha dari pemerintah. Kemudian, pedagang gorengan cenderung berpindah-pindah lokasi jualan sehingga menyulitkan proses pendaftaran. “Jadi sinkronisasi dan akurasi data yang dimiliki pemda, Kementerian Koperasi dan UKM. Data di tingkat asosiasi harus berjalan, pemerintah juga bisa membuka posko aduan setiap kabupaten kota untuk mendata PKL yang berhak mendapat BLT tapi belum menerima haknya,” kata Bhima
Di sisi lain, Bhima juga menilai negara sebenarnya tengah dalam posisi diuntungkan dengan naiknya harga sawit internasional. Apalagi usai pungutan ekspor CPO dinaikkan. “Windfall dari kenaikan pajak dan PNBP itu bisa direalokasikan ke BLT. Jadi BLT ini tidak seberapa dibanding keuntungan besar APBN saat ini,” tutup Bhima. (***)