Penulis: Juan Karnadi (Asisten Laboratorium DTM-FTUI asuhan prof. Raldi Artono Koestoer)
PADA akhir November 2024, Universitas Indonesia (UI) menggelar festival inovasi sebagai ajang untuk memperkenalkan berbagai produk dan jasa hasil inovasi karya sivitas akademika UI. Festival ini juga bertujuan mempertemukan inovasi dengan kebutuhan masyarakat serta membuka peluang kolaborasi antara para inovator—baik peneliti maupun wirausahawan—dengan dunia industri.
Acara yang berlangsung selama lima hari di Lippo Mall Puri ini diselenggarakan oleh Direktorat Inovasi dan Science Techno Park (DISTP) UI. Festival tersebut menyoroti pentingnya percepatan dalam mengembangkan ide menjadi produk atau jasa yang siap pakai, melakukan uji penerimaan pasar (market fit), hingga mencapai tahap hilirisasi dan komersialisasi inovasi.
Sebanyak 69 stan pameran dan 47 mitra industri turut meramaikan acara ini. Melalui festival inovasi ini, UI menekankan pentingnya membangun budaya inovasi yang berkelanjutan sejak dini. Pertanyaannya, bagaimana langkah konkret untuk mewujudkannya?
Penghargaan Bukan Tolak Ukur
Aspek ini menyoroti fase awal perjalanan sebuah startup, khususnya terkait berbagai perspektif yang awalnya belum terlihat, tetapi kemudian muncul sebagai tantangan tersendiri saat eksekusi berlangsung. Dalam dinamika tim startup health monitoring, berbagai sudut pandang tersebut membentuk kesadaran akan pentingnya proses membangun budaya inovasi yang berkelanjutan.
Dalam menjalankan kewirausahaan, pencapaian atau penghargaan seharusnya tidak dijadikan tolok ukur utama, apalagi tujuan akhir. Banyak startup kerap terjebak pada fase di mana fokus mereka bergeser pada angka traksi, penjualan produk atau jasa, peta jalan pendapatan dan ekspansi, rasio profitabilitas, serta metrik serupa yang erat kaitannya dengan pencapaian dan penghargaan tersebut.
Fenomena ini tidak hanya dialami oleh para pendiri startup, tetapi juga investor dan pemodal ventura yang sering kali terjebak dalam pola pikir serupa. Padahal, indikator keberhasilan inovasi berkelanjutan seharusnya lebih diarahkan pada nilai kebermanfaatan dan dampak nyata yang dihasilkan, terutama pada sektor strategis seperti kesehatan. Dengan demikian, pencapaian dan penghargaan bukanlah penentu utama terbentuknya budaya inovasi berkelanjutan.
Pemahaman ini muncul selama dua hari pertama pelaksanaan UI Innovation Festival 2024. Hal ini bermula dari analisis terhadap konten salah satu startup binaan universitas. Terdapat beberapa hal yang dirasa janggal dan mendorong tim untuk menggali lebih dalam. Hasil analisis tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa materi pitching startup tersebut tidak realistis, sulit diwujudkan (feasible), dan belum memiliki strategi atau pendekatan model bisnis yang dapat memastikan keberlanjutan operasionalnya.
Setidaknya, ada tiga poin yang mendasari kesimpulan tersebut, yaitu pertama adalah target penggunaan produk yang tidak realistis. Tingkat keberhasilan adopsi produk yang dipatok tidak mungkin tercapai dalam waktu singkat untuk startup yang baru berdiri beberapa bulan. Kedua, milestone dan pendanaan yang tidak seimbang. Target pencapaian dan kebutuhan dana tidak didukung oleh kesiapan fasilitas dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Ketiga, orientasi yang keliru. Fokus utama lebih diarahkan pada kompetisi dan pendanaan dari ajang pitching, bukan pada upaya menjaga keberlanjutan inovasi itu sendiri.
Keterlibatan Stakeholder Diperlukan
Upaya nyata yang harus diambil untuk memajukan industri alat kesehatan (ALKES)—khususnya produk ALKES dari UMKM—adalah dengan mendorong keterlibatan aktif dalam pengembangan ekosistem industri tersebut. Setidaknya ada dua elemen penting yang mendasari langkah ini.
Pertama, diperlukan wadah berupa komunitas atau support system dalam lingkup tim kecil yang dapat membentuk kesadaran kolektif serta sistem kepercayaan bahwa inovasi berkelanjutan bukan sekadar tahapan ideasi, tetapi harus diwujudkan hingga menghasilkan dampak nyata bagi masyarakat.
Kedua, perlunya keberpihakan terhadap para pelaku usaha (entrepreneur) di industri ALKES UMKM. Keberpihakan ini mencakup berbagai aspek, antara lain: Kesempatan dalam kompetisi kewirausahaan; Kemudahan dalam meningkatkan kesiapan dan kelayakan produk ALKES melalui pengembangan produk yang lebih matang; Akses yang lebih mudah dalam tahap penjajakan pasar (market entry); dan kepastian dalam arah pengembangan inovasi berkelanjutan yang mencakup tingkat kesiapterapan teknologi (TKT), tingkat komponen dalam negeri (TKDN), serta standar yang harus dipenuhi seperti SNI dan ISO.
Komunitas atau support system memegang peran penting dalam membentuk ekosistem industri ALKES yang berkelanjutan. Di sini, seluruh inovator didorong untuk berani beraksi dan berkarya nyata, bukan sekadar berhenti pada ide atau konsep. Proses ini dilakukan secara bertahap, dimulai dari pengkondisian lingkungan yang menciptakan pola pikir agar ide dan konsep terkait produk ALKES UMKM tidak hanya berhenti di tahap pemikiran. Kemudian, perancangan desain terperinci yang mengarahkan ide dan konsep ke dalam desain yang matang dan aplikatif. Terakhir, pembuatan prototipe fungsional yang memastikan ide tersebut diwujudkan dalam bentuk prototipe yang bisa diuji secara nyata.
Setelah tahap prototipe selesai, langkah selanjutnya adalah melalui proses trial & error yang berulang untuk menyempurnakan produk. Tahap ini krusial karena masukan dari berbagai pihak, terutama tenaga kesehatan (NAKES), akan menjadi indikator penerimaan produk di lapangan. Di sinilah kesenjangan antara uji laboratorium dan kondisi pemakaian di lapangan akan semakin terlihat.
Tahap berikutnya adalah market entry, yaitu menentukan segmen pasar dengan prospek penerimaan terbaik. Di sini, indikator yang perlu diperhatikan meliputi kemudahan menjangkau segmen pasar dan kelengkapan produk dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan alat kesehatan.
Pada tahap ini, kemampuan dalam membangun kesadaran merek (branding awareness) dan keterampilan dalam mempraktikkan strategi pemasaran menjadi sangat penting. Proses ini membutuhkan upaya yang intensif dan konsisten untuk memastikan keberhasilan dalam penetrasi pasar.
Lalu, Framework ini dirancang untuk memastikan setiap pihak yang terlibat—mulai dari mahasiswa magang, anggota proyek pendanaan hibah, hingga inovator profesional—memiliki kesadaran akan pentingnya inovasi berkelanjutan. Dengan framework yang terstruktur, diharapkan setiap tahapan pengembangan produk ALKES dapat berjalan lebih sistematis dan efektif.
Selanjutnya, Keberpihakan dalam konteks ini berfokus pada interpretasi kebutuhan mendasar dari masyarakat dan tenaga kesehatan (NAKES) dalam pemeriksaan kesehatan. Langkah-langkah strategis yang dibangun dari pemahaman ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi industri ALKES UMKM. Aspek penting dalam keberpihakan ini meliputi: penguatan penelitian dan pengembangan (R&D) produk, pembangunan jaringan yang kuat, dan peningkatan kesempatan pendanaan dan kewirausahaan.
Dalam diskusi dengan startup ATM Sehat (PT. Telesehat Indonesia) pada November 2024, terungkap bahwa banyak investor dan pemodal ventura lebih berfokus pada target penjualan dan pertumbuhan pasar tanpa mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk penguatan R&D produk ALKES UMKM. Akibatnya, banyak aspek penting dalam pengembangan produk sering diabaikan.
Salah satu isu yang mencuat terkait pendanaan adalah rencana peningkatan persyaratan TKT dalam program UI Incubate 2025. Persyaratan ini mencakup keharusan untuk menyelesaikan uji klinis serta memenuhi standar SNI dan ISO sebelum masuk tahap pendanaan. Persyaratan ini dinilai memberatkan, terutama bagi produk yang masih berada pada tahap awal pengembangan dan belum siap untuk memasuki tahap produksi industri.
Meski demikian, pendanaan hibah penelitian masih menjadi pilihan utama bagi banyak startup. Namun, daya tarik untuk mengikuti kembali UI Incubate 2025 terletak pada kesempatan untuk memperdalam keterampilan pengembangan kewirausahaan yang diperoleh melalui pelatihan intensif di UI Incubate 2024.
Membuka Akses Daerah 3T
Segenap daya upaya yang dilakukan memang pada akhirnya bermuara menuju kiprah melangsungkan kemandirian kesehatan secara proaktif. Visinya ialah menjangkau fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik dan puskesmas) kelas C ke bawah di daerah serta pelosok yang hampir pasti tidak memiliki peralatan medis diagnostik yang layak dan memadai untuk memeriksakan kesehatan pasien; utamanya di luar pulau Jawa dan Indonesia Timur. Termasuk juga menjangkan segmen pengguna rumah tangga di sana di mana kebanyakan di antaranya tak pernah terekspos dengan peralatan medis diagnostik dan belum mempunyai kesadaran akan pentingnya memeriksakan kesehatan. Lebih persisnya, tim di sini tengah berjuang mengejar sebuah visi berdampak: buka akses daerah 3T (termiskin, terpencil, dan tertinggal).
Dan supaya dapat menunjang pengerjaan visi berdampak dengan membuka akses terhadap daerah 3T tadi, dibangun pula kesadaran serta pendekatan (berproses) memberdayakan diri secara swadaya dan sukarela dalam semangat gotong-royong; terlebih soal strategi entrepreneurship development dan juga pengembangan SDM yang ada. Niscaya, kemandirian berproduksi ALKES UMKM bisa terpenuhi dengan optimal.
Harus senyatanya disampaikan bahwa inovasi berkelanjutan -tanpa terkecuali produk ALKES UMKM- memang mesti melalui proses bertahap yang butuh waktu tidak sebentar. Dan terkadang dalam penggarapannya bukan cuma perlu penguasaan teknis dan non-teknis, melainkan lebih mendalam lagi dari itu semua: keberanian memasuki, menghadapi, dan sampai menuntaskan setiap kesulitan yang ditemui. Inilah yang diperlukan dalam menjalankan kewirausahaan sejatinya. Begitulah pemaknaan konteks menbangun kultur inovasi berkelanjutan. (*)