Pengakuan Darmawi, Warga Desa Radda yang 7 Anggota Keluarganya Meninggal Dunia dan 1 Masih Belum Ditemukan Akibat Banjir Bandang Luwu Utara

3491
ADVERTISEMENT

LUWU UTARA–Ada sepenggal kisah pilu, saat Tim KORAN SERUYA PEDULI menyalurkan bantuan tahap ketiga di Desa Radda, Baebunta, Luwu Utara, Sabtu 25 Juli 2020.

Darmawi, ayah 3 orang anak itu merasa sedih karena 8 orang anggota keluarganya menjadi korban ganasnya banjir bandang yang melanda desanya, Senin 13 Juli 2020 lalu.

ADVERTISEMENT

Saat ditemui di lokasi puing-puing rumahnya di bantaran Sungai Radda, Baebunta, ia mengaku jika dirinya sampai hari ini mengalami trauma akibat kejadian saat itu.

Darmawi memulai ceritanya, saat peristiwa Senin mencekam itu datang tiba-tiba meluluhlantakkan rumahnya di bantaran sungai.

ADVERTISEMENT

Rumahnya yang hanya berjarak sekira 20 meter dari bibir sungai habis diterjang banjir bandang.

“Alhamdulillah, Tuhan masih menyayangi saya. Biasanya, kalau pulang kerja dan sudah capek selepas sholat Isya saya sudah tidur. Tapi beruntung malam itu, saya masih bisa selamat. Lebih bersyukur lagi, anak saya yang paling kecil, yang masih bayi umur 2 tahun juga ikut selamat, kami sudah panik mendengar suara gemuruh dan kami semua terpencar, saya dan anak saya naik ke atas bukit di Meli,” ucap Darmawi sambil menunjuk ke arah rumahnya yang telah lenyap disapu air bah dan areal lahan yang ia lalui untuk menyelamatkan diri saat kejadian.

Darmawi kembali menuturkan, 8 orang anggota keluarganya tewas, termasuk 1 orang lagi yakni ibu mertuanya yang masih belum ditemukan hingga saat ini.

“Malam itu selepas Isya, biasanya masjid kami masih bunyi, tapi kok tidak ada suara, saat itu hujan turun, ada suara-suara gemuruh. Saya cek di sungai air sudah naik 2 meter. Ada batu-batu besar dari gunung terbawa air bah. Saya berpikir wah ini kayak sudah mau kiamat, saya selamatkan anak saya dan istri, saya masih sempat melihat dengan mata kepala saya sendiri, ibu mertua kami saat ingin lari terhantam kayu dan diseret arus air bah,” kenangnya.

Lanjut dia,”kami waktu itu hanya bernaung di bawah pohon kelapa, tidak ada tenda, pakaian kami basah semua, hujan masih turun, dan ada anak bayi kami umur 2 tahun, menyedihkan sekali, jika mengingat kembali kejadian saat itu,” ucap Darmawi lirih.

Kini, ia mengaku mengungsi di emperan rumah penduduk dekat Tugu Coklat, di Desa Radda.

Petani sawit itu berharap, ia dan keluarganya bisa memiliki hunian tetap untuk bisa melanjutkan kehidupannya dengan normal seperti sedia kala, sebelum petaka banjir bandang datang melanda desanya.

“Saya hanya bisa berharap kami dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal kami sekeluarga, rasanya kami sudah tak bisa lagi membangun rumah kami di tempat yang lama karena bantaran sungai sudah semakin meluas sehingga lahan pekarangan rumah kami sudah berubah menjadi sungai, itu saja harapan kami,” pungkas korban banjir di Desa Radda itu dengan raut wajah murung. (iys)

ADVERTISEMENT