COVID-19 atau dalam bahasa ilmiah dikenal sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-Cov-2) telah masuk di Kabupaten Luwu Utara, bahkan kini sesuai dengan rilis yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pada portal covid19.sulselprov.go.id tanggal 2 Mei 2020 menunjukkan bahwa Luwu Utara berada di urutan ke-5 dengan total terkonfirmasi positif sejumlah 20 orang.
PENULIS: Maharanny Puspaningrum*
Hal ini juga sejalan dengan rilis yang disampaikan oleh Jubir Pemerintah Kabupaten Luwu Utara untuk Penanganan Covid-19, Komang Krisna.
Mengapa berfokus pada Luwu Utara? Karena dari hasil rilis, 20 pasien positif di Luwu Utara atau tepatnya seluruh kasus positif merupakan santri yang berasal dari Pondok Pesantren di desa Temboro, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur.
Saat ini muncul pertanyaan besar, mengapa seluruh kasus terkonfirmasi berasal dari sumber daerah yang sama? Apakah tidak ada upaya preventif yang dilakukan baik oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten untuk mencegah adanya transmisi tersebut?
Pertanyaan ini dapat kita jawab dengan mengulas cikal bakal penularan. Berawal dari kesimpangsiuran informasi pemerintah tentang kepulangan seluruh santri. Beredar kabar bahwa pada awal peningkatan jumlah positif covid-19 di Indonesia, pemerintah melarang santri untuk pulang ke kampung halaman dan diimbau menetap di pondok guna memastikan keamanan dan memutus mata rantai penularan. Akan tetapi, muncul kebijakan baru bahwa para santri diminta untuk pulang ke kampung halaman masing-masing.
Selain kebijakan pemulangan para santri, kesalahan juga terjadi pada analisis strategi kebijakan isolasi mandiri yang diberlakukan kepada santri dengan hasil rapid test negatif. Setidaknya ada beberapa rasionalisasi mengapa kebijakan ini dianggap kurang tepat, pertama sudah ada warga yang terkonfirmasi positif di daerah Temboro dan menularkan pada santri yang langsung diberikan tindakan medis di rumah sakit, ini terjadi sebelum para santri diminta untuk pulang ke kampung masing-masing.
Kedua, kondisi pondok pesantren dengan silaturahmi yang kuat jelas memberikan risiko besar dalam hal transmisi virus. Ketiga, pemeriksaan yang dilakukan setibanya di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin hanya rapid test di mana menurut ahli molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo (dikutip dari kbr.id) tingkat akurasi rapid test sekitar 30%, itu artinya lebih besar kemungkinan terjadi kesalahan hasil tes, yakni kurang lebih 70%.
Berdasarkan rasionalisasi tersebut, rasanya kebijakan untuk isolasi mandiri memang sangat tidak tepat karena pada kenyataannya bahwa setelah berada di kampung halaman dan rumah masing-masing para santri baru terdeteksi positif covid-19. Dengan kondisi seperti ini kemungkinan adanya transmisi lokal sangat besar dan justru memberi kekhawatiran bagi masyarakat apalagi kebanyakan santri adalah OTG (Orang Tanpa Gejala).
Seharusnya, kebijakan yang diambil oleh pemerintah provinsi ataupun kabupaten adalah melakukan karantina kolektif bagi seluruh santri yang pulang dari pondok pesantren. Tentu tindakan yang diberikan bagi santri positif dan negatif akan berbeda, tetapi intinya adalah kebijakan karantina kolektif guna memastikan seluruh santri melewati masa inkubasi dan tidak menularkan kepada orang lain. Karantina kolektif juga memudahkan pemerintah dalam melakukan pengontrolan. Akan sangat bijaksana apabila pemerintah dapat mengambil contoh karantina kolektif yang dilakukan pada WNI dari Wuhan yang pulang ke Indonesia, begitu juga pada ABK Diamond Princess, dan karantina kolektif lainnya.
Jika sudah seperti ini, apakah pemerintah telah melakukan pendataan secara akurat terkait total santri yang telah tiba ke daerah masing-masing? Apakah akan ditunggu hingga muncul gejala dan positif baru dilakukan penjemputan serta karantina oleh pemerintah? Apakah pemerintah dapat memastikan bahwa tiap-tiap keluarga para santri dapat jujur dan mau melakukan protap karantina mandiri? Bagaimana jika telah terjadi transmisi lokal?
Itu setidaknya beberapa pertanyaan yang muncul setelah adanya klaster Temboro di Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Luwu Utara. Sekali lagi, pemerintah harusnya jeli dalam melakukan analisis strategis kebijakan utamanya di masa pandemic ini. Jadi, apakah klaster Temboro adalah suatu wujud kebobolan atau poor of strategic analysis oleh pemerintah? Silakan anda yang menyimpulkan. (*)
TENTANG PENULIS:
Nama: Maharanny Puspaningrum
Pekerjaan: Dosen
Alamat: Desa Mulyorejo, Kec. Sukamaju Selatan, Luwu Utara