Opini: Buruh Diabaikan, Pertanda Omnibus Law adalah Agenda Elite Belaka

420
ADVERTISEMENT

Baru tahun lalu unjuk rasa besar-besaran terjadi di Indonesia dengan tajuk #ReformasiDikorupsi.

Ribuan rakyat dan mahasiswa turun ke jalan menentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang baru dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hendak disahkan pemerintah-DPR di rapat paripurna akhir masa jabatan pada September 2019. Kedua aturan itu dianggap hanya menguntungkan kelompok elite.

ADVERTISEMENT

Kini masalah yang sama terulang ketika Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka/omnibus law) disepakati pemerintah dan DPR.

Sedikit publik yang mengetahui bahwa pembahasan revisi UU KPK berjalan di DPR kemudian disahkan begitu saja. Pembahasan itu juga berlangsung sangat cepat, kira-kira hanya 15 hari. Hitungan ini dimulai dari rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 3 September 2019, berbarengan dengan pembahasan usulan revisi untuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (biasa disebut UU MD3) sampai pada pengesahan UU KPK yang baru tanggal 17 September 2019.

ADVERTISEMENT

Revisi itu dilakukan tanpa melibatkan pihak terdampak, yakni KPK. Ketua KPK saat itu, Agus Rahardjo, mengakui tidak ada kontribusi dari pimpinan KPK terhadap poin-poin revisi tersebut.

Mahasiswa yang awalnya berniat menolak revisi tersebut merasa kecolongan. Mereka tidak menyangka bahwa pemerintah dan DPR benar-benar mengebut pembahasan dan tetap mengesahkan UU KPK yang baru tanpa mempertimbangkan aspirasi mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil.

“Kami kecolongan,” kata Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, Dinno Ardiansyah seperti dilansir Tempo. “Kami tak mengira DPR-Pemerintah seberani itu.”

Seperti déjà vu, pemerintah dan DPR sepakat terhadap pembahasan RUU omnibus law pada malam hari, Sabtu (3/10/2020). Tidak biasanya, pembahasan undang-undang dilakukan pada akhir pekan dan lebih dari batas waktu aktivitas yang ditentukan di Gedung DPR/MPR.

Biasanya kegiatan dibatasi sampai pukul 18.00, tapi rapat dimulai pukul 21.00. Baleg DPR mengaku tujuan pembahasan itu semata-mata untuk kepentingan rakyat.

Pemerintah dan DPR selangkah lagi berhasil mengesahkan aturan hukum yang menuai banyak kritik secara senyap dan kilat. Hasil kesepakatan dalam pembahasan ini akan dibawa ke paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.

Hanya ada dua partai yang menolak hasil pembahasan dari 9 fraksi partai di DPR. Mereka adalah Demokrat dan PKS.

Suara Elite Partai, Suara Investor
Jika UU KPK saat itu tidak melibatkan pihak terdampak, omnibus law berbeda. Untuk membahas klaster tenaga kerja, pemerintah dan DPR sudah mengakomodasi organ buruh dan pengusaha untuk memberi masukan dan mencari jalan tengah dalam omnibus law.

Namun KSPSI AGN, KSPI, dan FSP Kahutindo keluar dari tim teknis omnibus law di tengah pembahasan pada medio 2020. Presiden KSPI Said Iqbal memaparkan alasan mereka keluar lantaran tidak ada itikad baik dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ataupun Kamar Dagang Industri (Kadin) mencari titik temu kesepakatan.

“KSPI menolak sikap Apindo/Kadin dan pemerintah yang diwakili Kemenaker, karena tidak sesuai semangat yang diamanatkan Presiden Jokowi dan keinginan para buruh agar RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan tidak merugikan dan mengeksploitasi buruh,” jelas KSPI dalam rilis tertulisnya.

Pada Agustus 2020 DPR bertindak baik dengan mengusahakan tim perumus yang berisikan Panitia Kerja DPR dan serikat buruh yang keluar dari tim teknis. Menurut Said Iqbal, serikat yang bergabung dalam tim itu mencapai 32 organ.

Tim ini, menurut Said, lebih bagus daripada tim teknis pemerintah karena berisikan buruh yang bisa dengan bebas menyampaikan keberatan.

“Ini jauh lebih kuat dibandingkan tim teknis yang sudah diundang oleh pemerintah, yang libatkan beberapa serikat buruh juga, tetapi disana, hanya semacam alat legitimasi,” kata Said seusai rapat di DPR seperti dilansir BBC.

Kehadiran tim teknis ini sebenarnya baik sebagai bentuk usaha mendengarkan aspirasi dari seluruh kelompok masyarakat. Joko Riskiyono dalam Pengaruh Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Undang-undang: Telaah atas Pembentukan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu (2016, PDF) mencatat partisipasi masyarakat dalam pembuatan UU adalah salah satu bentuk pemerintahan yang baik.

Namun sering kali partisipasi itu sekadar untuk memenuhi tahapan pembuatan undang-undang atau menunjukkan maksud baik. Joko mengutip omongan anggota DPR periode 2009-2014, Ahmad Yani, bahwa “Pelibatan partisipasi masyarakat di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkesan hanya formalitas belaka.”

Dalam tulisannya yang lain bertajuk “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan” (2015), Joko, sebagai tenaga ahli DPR, memandang bahwa meski sudah ada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, aspirasi masyarakat masih dipandang sebelah mata.

Aturan hukum di atas seharusnya memberi jalan agar partisipasi masyarakat dilibatkan dalam pembuatan aturan. Pada praktiknya, “ketentuan ini hanya menjadi formalitas guna memenuhi prosedur pembentukan undang-undang.” Joko menyatakan, “[sepatutnya] aspirasi publik dalam pembentukan undang-undang bukanlah hanya sekedar formalitas, sehingga harus dilaksanakan oleh DPR dan Presiden.”

Sebagian orang memang menganggap partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang hanyalah jargon. Masyarakat bisa menyampaikan masukan, saran, keluhan, bahkan kepentingan mereka, tapi toh pengetok palunya adalah DPR.

Yang sulit dijawab adalah seberapa besar dan signifikan sesungguhnya aspirasi serta partisipasi masyarakat berpengaruh dalam proses pembahasan substansi rancangan undang-undang yang sedang dibahas?

Joko paham betul kendati partisipasi masyarakat sudah diberikan jalan, DPR sebagai perwakilan rakyat dari partai politik “tentu memiliki kepentingan” sebagai bagian lembaga legislatif. Keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat lebih sebagai pencitraan belaka. Kejadian di lapangan “partisipasi didominasi kepentingan politik dari partai politik atau golongannya, dibandingkan kepentingan masyarakat.”

Dalam omnibus law, kepentingan yang diakomodasi pemerintah dan DPR dalam pembentukan aturan ini jelas investor. Pemerintah dan DPR menginginkan ada pemangkasan sejumlah regulasi untuk mempermudah investasi di Indonesia. Dari situ barulah buruh mendapat manfaat. Salah satu hasil investasi itu adalah terbukanya lapangan pekerjaan.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum indonesia (YLBHI) Asfinawati sejak awal sudah gigih mendesak pemerintah dan DPR menghentikan—bukan menunda—pembahasan omnibus law. Selain karena minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam merumuskan masalah, tujuan pemerintah dalam pembuatan RUU ini bisa menyimpang dari kepentingan tenaga kerja.
“Betulkah masalah utamanya itu adalah soal tidak adanya lapangan kerja atau masalah investasi karena hiper regulasi? Atau pertanyaan turunan lagi, apakah RUU Omnibus Law ini betul-betul menghilangkan hiper regulasi? Padahal, kalau RUU Omnibus Law ini disahkan, akan ada ratusan, lima ratusan lebih peraturan turunan—ini bukannya hiper regulasi lagi?” kata Asfinawati seperti dilansir BBC.

Sedangkan Serikat buruh seperti KSPI dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) merasa kepentingan mereka tidak terwakili dalam omnibus law yang bakal disahkan DPR dalam rapat paripurna hari ini, Senin (5/10/2020). Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menganggap keberpihakan pemerintah dan DPR memang tidak kepada pekerja. Aspirasi mereka hanya menjadi saran, tapi jauh panggang dari kebijakan.

“Saat pembentukan tim kerja, perwakilan kami bertanya apakah nanti draft yang disusun bersama dengan kami nanti akan jadi rujukan dan pegangan sah di DPR, pemerintah bilang: tidak, ini hanya menampung saran. Jadi memang sudah setengah hati dan nggak niat,” kata Mirah seperti dicatat Tempo.

Beda dengan buruh, sampai hari ini, baik Kadin dan Apindo selaku pengusaha tidak ramai menunjukkan keberatan mereka pada omnibus law. Bagaimanapun, mereka, para pengusaha dan investor, adalah pelaku utama yang diakomodasi pemerintah dalam omnibus law.

Mengabaikan Aspirasi Buruh

Ada beberapa aturan yang menurut KSPI tak layak disahkan, antara lain: pesangon yang jumlahnya berkurang dari 32 kali menjadi 25 kali, dibayarkan oleh perusahaan dan pemerintah; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak diatur batas waktunya dalam omnibus law; dan penjabaran bidang-bidang kerja untuk outsourcing yang belum jelas—sebelumnya outsourcing hanya berlaku di 5 bidang pekerjaan, tapi omnibus law tidak tegas menyebut demikian.

Dalam rancangan omnibus law yang baru juga ditetapkan bahwa perusahaan boleh mematok hari kerja hingga 6 hari dengan syarat waktu kerja 7 jam dalam 6 hari dengan total 40 jam kerja. Cuti haid juga tidak diatur dalam omnibus law. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan hal itu nantinya akan mengikuti aturan di UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Namun ini tidak bisa jadi jaminan. Sebelumnya, pemerintah dan DPR menetapkan besaran maksimal uang penghargaan adalah 8 kali upah dalam omnibus law. Jika merunut pada UU Ketenagakerjaan, maka seharusnya maksimal 10 kali upah. Dalam revisi yang teranyar, DPR dan pemerintah memperbaiki poin ini seperti yang ada di UU Ketenagakerjaan. Kenihilan masalah cuti haid dan hamil dalam omnibus law bisa menjadi perkara lain ke depan karena bentroknya aturan hukum.

Poin yang masih menjadi masalah bagi buruh ini tak banyak dihiraukan DPR dan pemerintah. Selama kurang lebih 9 bulan, pemerintah sudah merampungkan pembahasan 10 klaster yang ada di omnibus law. Pembahasan klaster ketenagakerjaan menjadi yang paling buntut menilik perdebatan yang alot. Tapi ternyata, pembahasannya tidak sesulit itu bagi pemerintah dan DPR.

Sejak dimulainya pembahasan pada 25 September 2020, pemerintah dan DPR hanya butuh 9 hari untuk bisa menyelesaikan pembahasan. Meski menurut buruh masih banyak masalah, toh sebagian besar fraksi di DPR tak keberatan. Padahal Fraksi Partai Demokrat sudah mengingatkan pengesahan omnibus law terlalu buru-buru. Jika ditelaah satu per satu pasal dalam omnibus law, banyak ketentuan yang belum jelas tapi dilempar penyelesaiannya ke Peraturan Pemerintah daripada omnibus law.

“Fraksi Partai Demokrat menyatakan menolak RUU Cipta Kerja ini. Kami menilai banyak hal harus dibahas kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Kita tak perlu terburu-buru,” kata Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat Hinca Panjaitan.

Dari pembahasan sampai pengesahan, DPR hanya perlu mengambil waktu dua hari. Tepat hari ini, Senin (5/10/2020), DPR sudah menjadwalkan rapat paripurna untuk pengambilan keputusan soal omnibus law.

Ini baru bicara soal buruh saja. Masih ada perkara lain yang membelit omnibus law seperti masalah pertanahan dan lingkungan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto awalnya mengatakan bahwa masih ada waktu bagi PKS dan Demokrat untuk berdialog dengan pemerintah terkait omnibus law. Siapa sangka waktu dialog itu tak sampai 48 jam. Belum lagi jika menghitung hari Minggu seharusnya masuk hari libur.

Dengan paripurna hari ini, masyarakat, terkhusus organ buruh, memang kecolongan. Kebanyakan dari mereka baru melaksanakan aksi protes dan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020. Sebelum itu terjadi, pemerintah dan DPR sudah mengambil keputusan.

Sekeras apapun protes dan usaha buruh menolak omnibus law, jika pemerintah dan DPR sudah satu suara, omnibus law—dengan segala polemiknya—tetap akan berlaku. Sama seperti UU KPK dahulu. (*/iys)

*) Penulis: Felix Nathaniel pengamat politik, jurnalis, tinggal di Jakarta

ADVERTISEMENT