OPINI : Kemanusiaan yang Tersinggung

124
ADVERTISEMENT

Catatan : Muhammad Nursaleh

“Aku khawatir, pekerjaan yang katanya demi kemanusiaan ini justru akan membunuh rasa kemanusiaanku”

ADVERTISEMENT

**
Gendang kemanusiaan tetiba ditabuh, mencipta bunyi-bunyi sedih, memilukan sekaligus memalukan yang berkelindan di antara amarah yang meraja.

Kemanusiaan harus kehilangan dirinya sendiri justru ketika bersanding kerja-kerja kemanusiaan itu sendiri. Keraguan yang jauh-jauh hari telah ditulis Agustinus Wibowo, seorang petualang, penulis dan fotograper. Dan keraguan itu terbukti, mewujud dalam laku seorang polisi pamong praja di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

ADVERTISEMENT

Mardani Hamdan kehilangan atmosfer kemanusiaannya, ia dibunuh oleh kemanusiaannya sendiri tatkala sedang memikul kerja-kerja kemanusiaan di pundaknya di tengah pusaran wabah. Saat sedang memikul (baca amanah), ia malah memukul. Realitanya begitu, menanggalkan spekulasi tak mungkin ada asap bila tak ada api. Biarlah ranah itu menjadi urusan aparat hukum, nanti.

Kerja yang sesungguhnya membutuhkan sentuhan cinta, pengertian, pemahaman di tengah wabah yang terus menggurita, Mardani dalam hitungan menit malah memarodikan raksasa riang yang sedang berhadapan manusia.

Parodi Mardani menyulut caci. Ia adalah apa yang pernah ditulis Pramoedya Ananta Toer ; bila membuat kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biar pun dia sarjana.

Kemanusiaan yang telah tersinggung ini seketika menjelma dalam berbagai kreativitas pelampiasan penghuni media sosial. Video pemukulan itu banjir di beranda, dibagi ratusan kali, tak terhitung hujatan dalam bentuk tulisan pendek maupun meme yang memajang foto Mardani dengan segala pernak-pernik marah yang dituang ke dalam kata. Video yang memarodikan ucapan Mardani “mana surat izinmu, saya satpol” memenuhi grup-grup WA. Itu lucu. Menjadi serpihan kemanusiaan yang telanjur tersinggung.

Nun dalam waktu yang tak jeda lama, di Lamongan, Jawa Timur video seorang polisi menertibkan pedagang secara santun menjadi viral. Dalam tayangan, polisi bernama Purnomo bertutur lembut, ia memahami tekanan psikis pedagang yang hari-harinya berpacu kekhawatiran, pedagang yang telah dua tahun menyabari perih bernama tunggu tanpa kepastian waktu. Epilog kemanusiaan yang berlangsung singkat itu ditutup dengan satu adegan mengharukan. Purnomo memberi uang sebagai pengganti dagangan yang tak sepenuhnya habis akibat pembatasan waktu jualan.

Sungguh berhasil mengaduk-aduk rasa kemanusiaan dalam muara kesepahaman yang secara jujur kita akan kompak memberi dua jempol. Pun bila perlu dua jempol kaki akan menyertai.

Kita menilainya sebagai laku humanis yang begitu manis. Polisi yang berhasil memikul, menaruh cinta berdampingan dengan kemanusiaan tanpa sekat kasta, disandara pakaian, jabatan dan agama. Jika seorang Mardani memikul berakhir memukul, polisi ini memikul pula merangkul. Mereka sama-sama telah memikul tanggung jawab tetapi jejak dari akhir kisah perjalanan misinya tergantung seberapa kuat hati mereka memijak pada apa yang melekat kuat pada diri setiap manusia. Cinta dan kemanusiaan.

Cinta dan kemanusiaan yang diibaratkan Buya Hamka laksana setetes embun yang turun dari langit. Ia bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah embun itu bersama kesombongan, angkuh, salah langkah. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, budi pekerti yang tinggi dan perangai yang terpuji.

Mardani terus dicaci. Purnomo banjir puji. Toh, pada akhirnya kita akan tahu. Kita bukan hakim terakhir. Di sana tuhan lebih tahu.

Belopa, 16 Juli 2021

ADVERTISEMENT