Menjaga akal (hipdu al-Aql)
Oleh : Nurdin
TULISAN saya di media ini (Selasa, 12 April 2022) mengulas tentang saudara Ade Armando yang dihajar segerombolan perusuh saat aksi demonstrasi mahasiswa di depan gedung DPR RI Jakarta. Mendapat tanggapan dari beberapa kawan.
Antara lain, mengatakan “Yang dipukul itu akademisi kampungan yang selalu cari sensasi dengan komentar provokatif, itu baru azab dunia belum di akhirat” Saya memahami kegelisahan (yang kalau tidak boleh dibilang kemarahan) kawan tersebut.
Komentar Ade Armando di medsos yang diduga provokatif dan bernuansa memecah belah persatuan, harusnya didebat dengan akal sehat, beretika dan secara berpengetahuan. Narasi sedapat mungkin dipatahkan dengan narasi.
Oleh karena, negara ini adalah negara hukum (vide pasal 1 ayat 3 hasil amandemen ke 3 UUD 1945). Sehingga jika terdapat ketidaksetujuan dan atau ketersinggungan dari kalimat, bukan hanya pada Ade Armando bahkan pada setiap orang, mekanismenya adalah menempuh jalur hukum.
Bukan menyelesaikannya dengan main hakim sendiri sebab kekerasan tidak hanya dilarang oleh norma hukum tapi juga kaidah agama. Agama apapun tidak membenarkan kekerasan, bahkan dalam Islam (yang saya yakini) dicontohkan bagaimana Raja Fir’aun yang pongah, sombong dan sudah mengakui dirinya Tuhan.
Akan tetapi Tuhan maha pengasih dan penyayang yang kemudian mengutus nabi Musa dan nabi Harun untuk menemui Raja Fir’aun yang pongah dan sombong itu untuk menyampaikan kalimat yang lemah lembut kepadanya agar kembali mengingat Allah Swt.
Kisah itu diabadikan dalam kitab suci Al-Quran pada surah at-Taha, 43-44. Allah ta’ala berfirman”Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Ayat di atas paling tidak memberitahu kepada kita jika orang seperti Fir’aun saja, yang angkuh dan sombong. Allah Swt masih mengutus Nabi Musa agar berkata yang lembut dan santun apalagi untuk mendakwahi selainnya, yang tidak lebih dari Fir’aun.
Penggunaan kekerasan umumnya hanya dilakoni atau digunakan oleh mereka yang frustasi, tidak mampu atau lemah dalam beradu argument secara beretika dan berpengetahuan, yang pada akhirnya mereka lebih memilih otot ketimbang otak.
Padahal, penggunaan (menjaga atau hipdu al-Aql) otak atau akal merupakan salah satu tujuan kita beragama, demikian kata Imam Al-Ghazali. Dan di sisi lain akal merupakan salah satu potensi manusia sekaligus sebagai pembeda antara makhluk-makhluk lain ciptaan Tuhan. Wallahu a’lam.
(*)