PERAN PENELITIAN KEMASYARAKATAN DALAM PENANGANAN ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM
Oleh: Rakhmat Kurnia
(Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Palopo)
Proses penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum telah diatur secara kompleks di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di dalam Undang-undang tersebut, peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang merupakan pejabat fungsional pemasyarakatan yang berkedudukan di Balai Pemasyarakatan cukup besar karena terlibat sejak proses praajudikasi, ajudikasi hingga pascaajudikasi. Salah satunya adalah melakukan penelitian kemasyarakatan, baik itu untuk keperluan Diversi maupun untuk keperluan proses siding pengadilan Anak.
Di dalam melakukan penelitian kemasyarakatan, seorang PK akan melakukan wawancara dan observasi terhadap Anak, orang tua / keluarga serta pihak-pihak yang terkait agar dapat menghimpun data pribadi, keluarga, latar belakang yang dibutuhkan dalam merumuskan sebuah rekomendasi yang termaktub di dalam kesimpulan dari penelitian tersebut. Hal ini juga dapat berguna untuk memberikan gambaran yang tepat tentang Anak bagi pihak-pihak yang terlibat dalam musyawarah Diversi atau bagi hakim yang menangani perkara Anak di pengadilan.
Proses penelitian kemasyarakatan terhadap Anak dilakukan sejak Anak masih di tingkat penyidikan di kepolisian, sehingga laporan hasil penelitian kemasyarakatan akan menjadi satu dengan berkas-berkas Anak yang lainnya yang secara bertahap akan dilimpahkan sesuai fase proses hukum yang dijalani hingga akhirnya akan dipelajari oleh hakim yang menangani perkara Anak sebelum proses persidangan di pengadilan.Mengingat ini sudah diatur secara jelas dalam UU, tidak heran jika dalam proses pelimpahan berkas perkara ada berkas yang dikembalikan jika tidak dilengkapi dengan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
Lebih lanjut diatur dalam pasal 60 UU SPPA, bahwa Hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara. Namun pada kenyataannya, pertimbangan hasil penelitian kemasyarakatan masih belum efektif digunakan. Hal ini bukan hanya menyimpang dari ketentuan SPPA, tetapi juga sangat merugikan hak-hak Anak dalam proses peradilan. Selanjutnya disebutkan bahwa jika hakim tidak mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan, maka putusan tersebut batal demi hukum. Dampak batal demi hukum sebenarnya adalah konsekuensi yang adil yang diberikan oleh undang-undang terhadap hakim Anak yang tidak mengikuti UU SPPA, namun pada kenyataannya masih banyak keluarga Anak yang berkonflik dengan hukum yang tidak paham prosedur yang sebenarnya, tidak mengerti hak yang diberikan oleh undang-undang kepadanya. Terlebih lagi jika Anak tersebut tidak didampingi oleh penasehat hukum. Oleh karena itu, menjadi salah satu tugas petugas pembimbing kemasyarakatan juga melakukan pendampingan bagi Anak dalam proses peradilan agar hak-hak Anak dapat tetap terpenuhi. (Tulisan tentang tugas pendampingan pembimbing kemasyarakatan juga telah terbit di media ini dengan judul “Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pusaran Penanganan ABH”).
Di dalam konvensi hak-hak Anak, kepentingan terbaik Anak harus menjadi pertimbangan utama dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, juga termasuk dalam proses peradilan. Oleh karena itu, dalam rekomendasi yang disusun dan dibacakan oleh pembimbing kemasyarakatan dihadapan persidangan akan selalu menjunjung tinggi asas kepentingan terbaik bagi Anak. Begitupun juga bagi hakim dalam mengadili dan menjatuhkan putusan terhadap Anak harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi Anak yang berorientasi kepada keadilan, bukan atas kekakuan hukum pidana atau hukum acara, seperti yang dikemukakan oleh Sartjipto Rahardjo bahwa hakim tidak boleh hanya berlindung dibelakang undang-undang, ia harus tampil dalam totalitas, termasuk dengan Nurani. Hukum dan undang-undang hanya kertas dengan tulisan umum dan abstrak, namun di tangan hakim, ia menjadi keadilan yang hidup.
Sebuah putusan peradilan anak tidak akan baik jika tidak dilengkapi dengan laporan hasil penelitian kemasyarakatan, karena dalam menjatuhkan keputusan, hakim harus dengan bijak memperhatikan latar belakang keluarga anak, kehidupan keluarga, faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan dan yang paling penting bagaimana kemampuan dan kesiapan Anak dan keluarga yang akan menanggung beban peminadaan / tindakan yang dijatuhkan. Di sisi lain, hakim juga harus memperhatikan keseimbangan dan tuntutan keadilan dari masyarakat yang terkena dampak kejahatan. Oleh karena itu, kompleksitas sebuah laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang disusun oleh pembimbing kemasyarakatan diharapkan dapat menjadi sebuah indicator penting bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara Anak seperti yang ditulis Sudarto dalam bukunya “Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Sistem Hukum Pidana Indonesia” bahwa setiap orang yang dihadapkan ke pengadilan harus atau sedapat mungkin disertai risalah pribadi pelaku tindak pidana yang bersangkutan yang dibuat oleh orang atau badan yang diberi wewenang untuk itu, agar hakim dapat memberikan keputusan yang tepat dan tidak hanya berpijak pada anggapan-anggapan yang mungkin sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. (***)